Pages

Minggu, 24 Mei 2015

Penyakit Hirschprung

Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan perkembangan sistem saraf usus dengan karakteristik ketiadaan sel-sel ganglion pada kolon distal sehingga menyebabkan obstruksi fungsional.1 Pada tahun 1888 Hirschsprung melaporkan dua kasus bayi meninggal dengan perut yang menggembung karena kolon yang sangat melebar dan penuh massa feses. Penyakit ini disebut megakolon kongenital dan merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi pada neonatus. Pada penyakit ini pleksus mienterik tidak ada, sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Setelah penemuan kelainan histologik ini barulah muncul teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.2
Walaupun kondisi ini telah dideskripsikan oleh Ruysch pada tahun 1691 dan dipopulerkan oleh Hirschprung pada tahun 1888, patofisiologi penyakit ini belum terlalu jelas hingga pertengahan abad ke-20. Saat itu Whitehouse dan Kernohan mendeskripsikan aganglionosis usus distal sebagai penyebab obstruksi pada beberapa pasien.3
Penyakit Hirschsprung juga merupakan kelainan kongenital gastrointestinal yang cukup sering ditemui. Studi potong lintang retrospektif dengan penelusuran rekam medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr.Zainoel Abidin Banda Aceh sejak bulan Januari 2010-Desember 2011 mendapatkan 79 pasien dengan kelainan kongenital anomali gastrointestinal yang terdiri atas bayi laki-laki 74,7% dan bayi perempuan 25,3%. Jenis penyakit kongenital anomali gastrointestinal yang didapat adalah atresia esofagus (2,5%), atresia duodenum (1,3%), atresia yeyunum (2,5%), penyakit Hirschsprung (29,1%), omfalokel (10,1%), gastroskisis (6,3%), volvulus (2,5%), dan malformasi anorektal (45,6%).4

A.    Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung merupakan penyebab obstruksi kolon pada neonatus paling banyak dan lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 3,8:1. Penyebab penyakit Hirschsprung adalah multifaktorial dan penyakit ini dapat diturunkan secara familial atau berkembang secara spontan.5 Sekitar sepertiga dari semua obstruksi neonatal disebabkan oleh penyakit ini.6 Angka kejadian di seluruh dunia tidak diketahui secara pasti, meskipun penelitian internasional melaporkan angka mulai dari sekitar 1 kasus dari 1.500 bayi yang baru lahir sampai 1 kasus dari 7000 bayi baru lahir.7
Sekitar 3-5% saudara kandung laki-laki dan 1% saudara kandung wanita dari anak dengan penyakit segmen pendek juga menderita penyakit ini. Risiko akan semakin tinggi (12,4-33%) pada saudara kandung dari anak yang menderita keterlibatan kolon total.8
Penyakit Hirschsprung juga dapat dihubungkan dengan abnormalitas neurologis, kardiovaskular, urologis, dan gastrointestinal. Sindrom Down (trisomi 21) adalah abnormalitas kromosomal tersering yang berkaitan dengan penyakit ini, terhitung sekitar 10% pasien. Kondisi lain yang telah dihubungkan dengan penyakit Hirschsprung meliputi ketulian kongenital, hidrosefalus, divertikulum buli, divertikulum Meckel, anus imperforate, defek septum ventrikel, agenesis renal, kriptokirdisme, sindrom Waardenburg (defek pigmen terkait ketulian), neuroblastoma, dan penyakit Ondine (hipoventilasi alveolar primer).8
Pada sekitar 20% kasus, diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan setelah melewati periode neonatal. Anak-anak ini menderita konstipasi berat, yang biasanya telah diterapi dengan laksatif dan enema. Distensi abdomen dan gagal tumbuh juga dapat muncul saat diagnosis ditegakkan.9

B.     Etiologi dan Patogenesis
Sistem saraf enterik (SSE) merupakan derivasi dari krista neural, struktur embrionik sementara pada tepi dorsolateral lempeng neural yang terbentuk dari tabung saraf. Sel-sel krista neural diinduksi menuruni sepanjang lipatan saraf, menyusuri daerah transisi antara epitel ke mesenkim, melapisi tabung saraf dan bermigrasi secara aktif melewati rute yang tepat untuk memberikan pertumbuhan terhadap banyak struktur derivatif mesenkimal dan neural termasuk SSE. Krista neural vagal yang berasal dari somit 1 sampai 7 memberi kontribusi besar pada SSE dengan berkolonisasi pada seluruh usus. Krista trunkus rostral (somit 6 dan 7) berkolonisasi pada esofagus dan sebagian lambung dan krista neural sakral yang berasal dari bagian posterior sampai somit 28 berkolonisasi pada usus postumbilikal. Sel-sel krista neural vagal bermigrasi ke bagian mesenkim usus depan (foregut) dan dengan kemampuan kunci untuk bertahan, berproliferasi ekstensif, berdiferensiasi, dan bermigrasi baik searah rostrokaudal dan aksial, sel-sel tersebut berkolonisasi pada keseluruhan panjang usus untuk membentuk komplek SSE. Pada manusia, proses kolonisasi tersebut selesai pada masa gestasi minggu ke 7,5. Pada penyakit Hirschsprung, sel-sel krista neural gagal bermigrasi secara rostrokaudal, menyebabkan aganglionosis dari berbagai segmen usus terminal.10
Selama perkembangan normal, neuroblas akan ditemukan pada usus halus selama minggu ketujuh masa gestasi dan akan mencapai kolon selama minggu keduabelas kehamilan.11 Satu etiologi yang mungkin dari penyakit Hirschprung adalah defek pada proses migrasi neuroblas tersebut saat menyusuri jalurnya menuju usus distal. Migrasi normal dapat terjadi dengan kegagalan neuroblas untuk bertahan, berproliferasi, atau berdiferensiasi pada segmen distal yang tidak memiliki ganglion. Distribusi abnormal komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan neuronal pada usus yang sakit seperti fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM) dan faktor-faktor neurotropik mungkin berperan dalam teori ini.12
Delapan genom telah dihubungkan dengan penyakit Hirschsprung namun kebanyakan kasus tidak tergolong familial. Penelitian saat ini terfokus pada protoonkogen RET pada kromosom 10q11.2. Penyakit Hirschsprung yang terkait dengan gen ini memiliki hubungan dengan neoplasia endokrin multipel tipe IIA (misalnya karsinoma medular tiroid dan tumor adrenal).8
Gen paired-like homeobox 2b (PHOX2B) merupakan faktor kunci yang terlibat dalam regulasi transkripsi dari RET, gen utama untuk penyakit Hirschsprung. Gen ini mengode faktor transkripsi yang terlibat dalam perkembangan beberapa populasi neuron noradrenergik pada tikus. PHOX2B memainkan fungsi penting dalam perkembangan derivatif krista neural (neural crest) dan mutasi heterozigot menyebabkan disotonomia kompleks yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung, sindrom hipoventilasi pusat kongenital dan neuroblastoma (NB).13
Penelitian lain menunjukkan bahwa sel-sel otot polos usus aganglionik secara elektrik tidak aktif ketika menjalani studi elektrofisiologi. Hal ini mengindikasikan keterlibatan komponen miogenik dalam perkembangan penyakit Hirschsprung.14 Kelainan pada sel-sel interstisial Cajal, sel-sel pemacu yang menghubungkan saraf enterik dan otot polos usus, juga telah dipostulasikan sebagai faktor penting.15
Pada 75% kasus penyakit Hirschsprung didapatkan segmen aganglionik sepanjang rektum atau rektosigmoid. Sedangkan 15% lainnya kolon yang aganglionik terletak lebih ke proksimal sejauh fleksura hepatika, sementara pada 3% pasien tidak terdapat sel-sel ganglion pada seluruh kolon. Pada sebagian besar kasus juga ditemukan penebalan serabut-serabut saraf.6
Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.6
Pada morbus Hirschsprung segmen pendek, daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid. Keadaan ini disebut penyakit Hirschsprung klasik. Bila daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid maka disebut Hirschsprung segmen panjang. Bila aganglionosis mengenai seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila mengenai seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus disebut aganglionosis universal.2

C.    Manifestasi Klinis
Dalam sebuah penelitian terhadap 259 pasien berturut-turut, Menezes et al melaporkan bahwa 57% dari pasien mengalami obstruksi usus, 30% mengalami konstipasi, 11% mengalami enterokolitis, dan 2% mengalami perforasi usus.16 Obstruksi usus yang ditunjukkan melalui pemeriksaan USG prenatal jarang terjadi, kecuali pada kasus obstruksi yang melibatkan keseluruhan kolon.17
Pada neonatus, sekitar 94% penderita akan gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama dan 57% pada 48 jam pertama. Di samping itu penderita mengalami muntah-muntah, distensi abdomen, diare dan beberapa mengalami perforasi apendik atau kolon.5 Muntah dapat berwarna empedu bahkan keruh dan bayi dapat kehilangan berat badan serta mengalami dehidrasi. Diare merupakan gejala yang menonjol pada masa neonatal dan terjadi akibat adanya obstruksi usus. Hipoproteinemia dan edema dapat terjadi karena adanya enteropati hilang protein.6
Sekitar 10% anak dapat mengalami diare yang disebabkan oleh enterokolitis, yang diduga terkait dengan stasis dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Hal ini dapat berkembang menjadi perforasi kolon, menyebabkan sepsis yang mengancam jiwa.18 Serangan konstipasi dan diare terjadi berselang-seling dengan keadaan normal di antaranya. Episode konstipasi dan diare dapat berkembang menjadi enterokolitis fulminan yang menyebabkan dehidrasi berat dan syok serta kehilangan elektrolit ke dalam lumen usus, tanpa ditemukannya basil enteropatogen. Jika tidak ditangani dengan sungguh-sungguh keadaan tersebut cenderung berulang dan dapat berakibat fatal dalam kurun waktu 24 jam. Komplikasi ini tampaknya dipercepat oleh distensi kolon karena banyaknya tinja dan gas.5,6
Penyakit Hirschprung pada anak yang lebih besar menyebabkan konstipasi kronik dan distensi abdomen. Dari riwayat penyakit diketahui adanya peningkatan kesulitan dalam defekasi yang dimulai pada beberapa minggu pertama kehidupan. Suatu massa tinja yang besar (fekolit) teraba di perut bagian kiri bawah. Pada colok dubur, rektum tidak melebar dan biasanya tidak berisi tinja. Tinja yang keluar dapat berupa butiran-butiran kecil, seperti pita, atau cair. Tinja yang besar dan tinja seperti tanah yang disertai konstipasi fungsional tidak ditemukan. Pada kasus-kasus ringan, tidak terjadi gangguan gizi. Sedangkan pada kasus yang berat mungkin terdapat kehilangan jaringan subkutan dan gagal tumbuh. Anggota gerak yang kecil, perut yang besar dan membuncit merupakan penampilan yang khas. Keadaan ini dapat dikacaukan dengan beberapa sindrom malabsorbsi terutama jika terdapat diare. Mungkin terdapat anemia hipokrom.6
Serangan obstruksi usus yang hilang timbul (intermiten) karena tinja yang tertahan dapat disertai dengan nyeri dan demam. Keadaan tersebut harus dibedakan dari megakolon didapat seperti inersia kolon, konstipasi idiopatik kronik, obstipasi dan sebagainya.6
Megakolon bentuk lain yang jarang, biasanya ditemukan secara kebetulan seperti penyakit Hirschsprung segmen sangat pendek, dengan aganglionosis terbatas pada sfingter ani internus yang berbatasan langsung dengan saluran anus dan rektum. Pasien demikian dapat menderita enkopresis dan jika tidak dilakukan biopsi khusus rendah, ganglion mungkin dapat ditemukan dan pasien dianggap normal.6

Tabel 2.1. Perbandingan Antara Penyakit Hirschsprung dan Megakolon Didapat6

Penyakit Hirschsprung
Megakolon Didapat
Riwayat penyakit:
Dari lahir
Enterokolitis
Perdarahan rektum
Latihan usus paksa (coercive bowel training)
Enkopresis (tinja seperti tanah = fecal soiling)
Ukuran tinja

Pemeriksaan:
Kurang gizi
Distensi perut & sudut subkostal yang lebar
Teraba tinja di perut
Fisura ani
Tekanan anus
Tinja di dalam ampula rekti

Enema Barium:
Bagian rektum yang kosong
Fekolit di dalam ampula rektum
Keterlambatan pengeluaran barium

Biopsi:
Sel-sel ganglion di pleksus

selalu
mungkin
tidak

tidak ada

tidak pernah
normal, kecil


mungkin

biasa
biasa
tidak pernah
kuat
kosong


biasa

tidak ada

biasa

tidak ada


tidak ada

tidak pernah
tidak
mungkin

biasanya ada

selalu
sangat besar


tidak ada

tidak ada
sering
mungkin
kendor (patulous)
penuh dan padat


tidak ada

selalu ada

tidak ada

ada


ada


Catatan: Penyakit Hirschsprung segmen sangat pendek mempunyai gambaran klinis yang menyerupai megakolon didapat.

Akibat kompresi ureter beberapa pasien mengalami retensi urine, hidroureter dan hidronefrosis. Penyakit ini sering disertai kelainan kongenital lainnya seperti sindrom Down, mikrosefali, hernia inguinal, atresia duodenum, palatoskisis, tuli, stenosis rektum dan anus, atresia kolon, dan lain-lain.5
Pada pemeriksaan fisik, sekitar 83% penderita memperlihatkan distensi abdomen, saat pemeriksaan rektum dengan jari didapatkan rektum yang kosong (bila segmen yang aganglionik panjang), sedangkan bila segmen yang aganglionik pendek feses akan tertahan pada rektum. Setelah pemeriksaan rektal ini secara khas diikuti oleh pelepasan tinja dan gas secara eksplosif. Tidak ada bakteri spesifik yang ditemukan berhubungan dengan enterokolitis yang terjadi.5

D.    Diagnosis
Manifestasi klinis seperti di atas adalah indikasi untuk melakukan pemeriksaan radiologis, manometri anal, biopsi rektum dan pewarnaan asetilkolinesterase. Pada pemeriksaan radiologis anteroposterior tegak tampak ansa usus yang melebar, sedangkan pada posisi lateral tegak tidak tampak adanya udara rektum di daerah pra sakral atau pelvis. Pada enema barium ditemukan perubahan kaliber usus yang mendadak di antara usus berganglion dengan yang aganglionik, kontraksi-kontraksi “mata gergaji” tidak teratur pada segmen aganglionik, lipatan-lipatan melintang yang sejajar pada kolon proksimal yang mengalami dilatasi, kolon proksimal menebal, noduler dan edema (khas pada kehilangan protein enteropati), serta kegagalan untuk mengeluarkan barium. Pada bayi, hanya sejumlah kecil bahan kontras yang harus disuntikan secara perlahan-lahan melalui kateter kecil. Ujung kateter diletakkan sedikit di bawah fluoroskop. Perubahan dalam ukuran yang mendadak dan khas dapat terlewati apabila kolon bagian bawah terisi oleh barium yang terlalu banyak. Enema barium mempunyai ketepatan diagnosis lebih kurang 81%.5,6
Pada bayi baru lahir dengan obstruksi usus yang disebabkan oleh megakolon, enema barium tidak selalu memperlihatkan gambaran yang klasik dari penyakit tersebut. Keadaan ini disebabkan oleh belum cukupnya waktu untuk menimbulkan perbedaan ukuran antara kolon bagian proksimal yang dilatasi dengan usus bagian distal yang aganglionik dan kosong. Gambaran radiologik bahkan tidak begitu khas apabila seluruh kolon tidak mempunyai sel-sel ganglion, meskipun biasanya pengeluaran barium dari kolon terlambat pada pemeriksaan radiologik 24 jam.6
Manometri anorektal mendeteksi refleks relaksasi sfingter internal setelah distensi lumen rektal. Refleks inhibisi normal ini diperkirakan tidak ada pada pasien dengan penyakit Hirschsprung. Swenson adalah orang yang pertama kali menggunakan tes ini. Pada tahun 1960 pemeriksaan ini diperbaiki tapi tidak disukai karena banyaknya keterbatasan. Kondisi fisiologis yang normal diperlukan dan sedasi juga biasanya diperlukan. Meskipun beberapa penulis menemukan tes ini cukup berguna, hasil positif palsu telah dilaporkan hingga 62% kasus dan hasil negatif palsu telah dilaporkan hingga sebanyak 24% kasus. Karena keterbatasan tersebut dan reliabilitasnya dipertanyakan, manometri anorektal tidak umum digunakan di Amerika Serikat.19
Manometri anorektal diukur dengan distensi balon yang diletakkan di dalam ampula rektum. Hal ini akan menunjukkan kenaikan tekanan sfingter ani internus yang luar biasa dibanding orang normal. Metode ini dapat mendeteksi kira-kira 90-95% pasien dengan aganglionosis, namun kurang akurat pada bayi prematur.5,6
Untuk memastikan diagnosis dilakukan biopsi rektum dengan cara sedotan atau tusukan (punch). Tidak adanya sel-sel ganglion pada pleksus mienterikus (pleksus Auerbach) dan submukosa (pleksus Meissner) merupakan diagnosis pasti megakolon. Karena penurunan jumlah sel ganglion secara normal juga ditemukan pada rektum yang lebih distal dan saluran anus maka sebaiknya biopsi dilakukan tidak lebih dekat dari 2 cm di atas garis pektinatus.5,6
Belakangan ini pengecatan histokimia isapan rektum atau biopsi forsep untuk asetilkolinesterase lebih dapat dipercaya untuk mengonfirmasi penyakit megakolon kongenital. Pada pengecatan ini didapatkan 2 pola yaitu pola A bila pengecatannya prominen pada serat saraf di lamina propria dan muskularis mukosa dan pola B memperlihatkan pengecatan terutama pada muskularis mukosa, kemudian segera ke lamina propria yang berdekatan (terlihat pada neonatus).5,6
Baru-baru ini, imunohistokimia dengan kalretinin juga telah digunakan untuk pemeriksaan histologis usus aganglionik dan studi awal telah menunjukkan bahwa cara ini mungkin lebih akurat daripada pewarnaan asetilkolinesterase dalam mendeteksi aganglionosis.20
Guinard-Samuel et al mengevaluasi nilai diagnostik imunokimia kalretinin untuk penyakit Hirschsprung pada 131 biopsi rektal anak. Dari 131 biopsi, 130 didiagnosis secara akurat berdasarkan pewarnaan kalretinin. Ketika tambahan 12 kasus dianggap meragukan berdasarkan metode evaluasi standar, secara akurat kasus tersebut didiagnosis dengan imunokimia kalretinin. Para peneliti menyimpulkan bahwa kalretinin lebih unggul daripada pewarnaan asetilkolinesterase untuk pemeriksaan histologi.20

E.     Tatalaksana
Bila diagnosis pasti telah ditetapkan pada neonatus, maka terdapat indikasi melakukan bedah laparotomi. Laparotomi terbatas lebih disukai disertai biopsi multipel, dengan menempatkan suatu kolostomi pada kolon yang paling distal yang mempunyai sel-sel ganglion dalam batas normal.5 Beberapa ahli bedah melakukan suatu kolostomi melintang kanan (right transverse colostomy) pada bayi baru lahir tanpa biopsi ganda. Tindakan tersebut cocok untuk jenis penyakit yang biasa dengan segmen aganglionik meluas sampai ke perbatasan rektosigmoid. Akan tetapi apabila daerah peralihan terletak pada atau proksimal dari fleksura lienalis maka suatu kolostomi perlu dipertimbangkan dengan menarik kolon transversa ke bawah mencapai anus, sehingga menghindari eksisi di tengah-tengah kolon normal. Tersedia beberapa alat stoma bayi yang sekali pakai untuk mempermudah perawatan bayi dengan kolostomi. Penanganan non operatif dengan irigasi kolon berulang sampai mencapai ukuran yang mencukupi tidak dibenarkan, karena risiko enterokolitis yang dapat menyebabkan kematian.6
Bedah definitif dilakukan bila bayi berusia 6-12 bulan dengan berat badan kurang lebih 20 pond. Dilakukan pembedahan pull through  menggunakan prosedur Swenson, Duhamel, Soave, atau Boley. Tindakan ini pada intinya berupa eksisi segmen aganglionik dan menarik usus yang mengandung sel-sel ganglion ke bawah melewati rektum, kemudian menghubungkannya ke kanalis anus dengan jarak sekitar 2,5 cm dari garis pektinatus. Terapi medikamentosa bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit terutama bila terjadi enterokolitis.5
Pendekatan bedah klasik terdiri dari prosedur bertahap multipel. Ini termasuk kolostomi pada masa neonatus, diikuti dengan operasi pull-through definitif setelah berat badan anak lebih dari 10 kg. Ada tiga pilihan yang layak untuk prosedur pull-through definitif yang saat ini digunakan. Meskipun ahli bedah secara individu dapat memilih satu prosedur di atas yang lain, penelitian telah menunjukkan bahwa hasil setiap jenis operasi serupa. Untuk setiap prosedur ini, prinsip-prinsip pengobatan meliputi konfirmasi lokasi zona transisi antara ganglionik dan usus aganglionik, reseksi segmen aganglionik usus, dan melakukan anastomosis usus yang berganglion baik dengan anus atau mukosa rektum (Gambar 2.1).9
Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa prosedur pull-through primer dapat dilakukan dengan aman, bahkan pada masa neonatus. Pendekatan ini mengikuti prinsip-prinsip terapi yang sama sebagaimana prosedur ini biasa dilakukan dan menyelamatkan pasien dari prosedur bedah tambahan. Banyak ahli bedah melakukan pembedahan intra-abdominal menggunakan laparoskop. Pendekatan ini sangat berguna pada masa neonatus, karena hal ini memberikan visualisasi pelvis yang sangat baik. Pada anak-anak dengan distensi kolon signifikan, penting untuk melakukan dekompresi menggunakan tabung rektal jika satu tahap pull-through yang akan dilakukan. Pada anak yang lebih tua dengan distensi yang ekstrim dan hipertrofi kolon, mungkin lebih baik dilakukan kolostomi untuk memungkinkan usus didekompresi sebelum melakukan prosedur pull-through. Namun, harus ditekankan bahwa tidak ada batas usia atas untuk melakukan pull-through primer.9 
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan untuk penyakit Hirschsprung, yang pertama ditemukan adalah prosedur Swenson original. Pada operasi ini, rektum aganglionik dibedah dalam pelvis dan dilepas turun ke anus. Usus berganglion kemudian dianastomosis ke anus melalui pendekatan perineum. Pada prosedur Duhamel, diseksi luar rektum terbatas pada ruang retrorektal dan usus ganglionik dianastomosis secara posterior tepat di atas anus. Dinding anterior dari usus ganglionik dan dinding posterior rektum aganglionik dianastomosis menggunakan stapler. Meskipun kedua prosedur ini sangat efektif, keduanya dibatasi oleh kemungkinan rusaknya saraf parasimpatis yang berdekatan dengan rektum. Untuk menghindari masalah potensial ini, prosedur Soave melibatkan diseksi sepenuhnya dalam rektum. Mukosa rektum dilucuti dari lapisan berotot  dan usus ganglionik dibawa melalui lapisan ini dan dianastomosis ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Pada semua kasus, sangat penting untuk menentukan tingkat di mana usus ganglionik ada. Kebanyakan ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan minimal 5 cm dari titik di mana sel-sel ganglion dimulai. Hal ini dilakukan untuk menghindari melakukan pull-through di zona transisi yang berhubungan dengan tingginya insiden komplikasi akibat pengosongan yang tidak memadai dari segmen pull-through. Sepertiga dari jumlah pasien yang menjalani pull-through zona transisi akan memerlukan operasi ulang.9
Pendekatan laparoskopik dalam tatalaksana operasi penyakit Hirschsprung pertama kali dideskripsikan oleh Georgeson.21 Zona transisi diidentifikasi terlebih dahulu menggunakan laparoskop, diikuti oleh mobilisasi rektum di bawah refleksi peritoneum. Selanjutnya dilakukan diseksi mukosa transanal yang diikuti oleh prolaps rektum melewati anus dan anastomosis. Hasil fungsional tampaknya equivalen dengan teknik operasi terbuka berdasarkan hasil jangka pendek.21
Pull-through transanal tanpa diseksi abdomen terbuka juga telah dideskripsikan. Prosedur keseluruhannya dilakukan dari bawah, hampir mirip dengan rektosigmoidektomi perineal. Zona transisi diidentifikasi dan anastomosis dilakukan. Sebagaimana pendekatan laparoskopik, hasilnya hampir sama dengan pendekatan operasi terbuka satu tahap dan keuntungannya adalah analgesia minimal serta pendeknya masa rawat inap di rumah sakit.22
Dekompresi nasogastrik, cairan intravena, antibiotik, dan kumbah kolon juga dapat diperlukan pada pasien postoperatif yang mengalami komplikasi enterokolitis. Sodium kromoglikat, penstabil sel mast dilaporkan memiliki keuntungan pada pasien seperti ini.23 Irigasi kolon rutin dan terapi antibiotik profilaksis dikatakan dapat menurunkan risiko enterokolitis.24
Kemungkinan transplantasi sel stem ke dalam usus aganglionik dan reaktivasi sel stem dorman dalam usus untuk meregenerasi sistem saraf enterik sedang diteliti. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel multipoten yang sama dengan derivasi sel krista neural asli yang menyusun sistem saraf enterik (SSE) terdapat di dalam traktus gastrointestinal tidak hanya selama masa perkembangan janin tapi juga pada kehidupan postnatal awal. Isolasi dan pemanfaatan sel tersebut mampu membentuk sistem saraf enterik jika ditransplantasikan ke dalam usus yang aganglionik, yang kemungkinan memberikan kemampuan kuratif untuk penyakit Hirschsprung.10
Salah satu sumber sel stem SSE telah diidentifikasi pada tikus di masa embrionik dan postnatal pada usia 2 minggu. Pada penelitian tersebut, usus dipisahkan dan dikultur secara in vitro dalam kondisi yang didesain untuk mendukung pertumbuhan sel-sel prekursor krista neural. Setelah beberapa hari agregasi berbentuk bola dari sel-sel tersebut, yang diistilahkan sebagai neurosphere-like bodies (NLB), ditemukan dalam kultur.10
NLB mengandung sel-sel progenitor yang berproliferasi dengan kemampuan seperti sel stem, yaitu klonogenitas, multipotensialitas dan pembaharuan diri. Lebih lanjut lagi, ketika NLB ditanam di dalam usus tikus aganglionik pada masa embrio awal, sel-sel derivasi NLB donor mampu berkolonisasi di usus dan berdiferensiasi menjadi fenotip enterik yang cocok pada lokasi yang sesuai. Lebih penting lagi, penelitian menunjukkan  bahwa sel stem SSE dapat secara mirip diisolasi dari bagian ganglionik usus mirip Hirschsprung dari seekor model tikus Hirschsprung, yaitu mutasi miRet51. Pada mutan tersebut hanya isoform Ret51 yang diekspresikan pada hewan yang memiliki fenotip Hirschsprung dengan aganglionosis kolon distal dan presentasi awal dengan obstruksi intestinal.10
Walaupun kemampuan diferensiasi selular dari sel-sel “Hirschsprung” tersebut telah menunjukkan ketidaknormalan dalam hal potensi perkembangannya, penelitian terbaru mengonfirmasi kemungkinan penyelamatan sel-sel tersebut secara fungsional dan genetik. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan biologis sel progenitor SSE/sel stem atau bahkan lingkungan dari usus resipien dapat dimanipulasi, sehingga mungkin memiliki implikasi yang sangat besar untuk inisiasi pretransplantasi sel stem SSE sebagaimana pengondisian lingkungan agar dapat menerimanya di dalam usus resipien yang aganglionik. Poin kuncinya adalah bahwa usus aganglionik target merupakan usus postnatal dan pasca pembentukan SSE, serta patogenesis kegagalan pembentukan SSE adalah akibat terjadinya kerusakan dalam lingkungan mesenkimal (contoh mutasi endotelin-3 pada Hiraschsprung).10
Walaupun semua penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa transplantasi sel stem SSE, baik alogenik maupun autolog, memiliki potensi untuk terapi Hirschsprung, lapangan penelitian perlu menunjukkan bahwa temuan tersebut dapat direkapitulasi menggunakan sel-sel stem SSE yang diderivasi dari usus manusia. Dalam hal ini data yang ada menjanjikan. Percobaan terbaru  menunjukkan bahwa sel stem SSE yang mengandung NLB dapat dikembangkan dari usus manusia postnatal menggunakan spesimen reseksi usus tebal penuh. Penting untuk dicatat bahwa sel-sel tersebut dapat dikembangkan dari usus dengan baik selama periode neonatal, termasuk bagian ganglionik dari usus Hirschsprung. Sel stem SSE yang mengandung NLB mampu berkolonisasi pada usus resipien yang aganglionik untuk membentuk SSE yang baru. Namun meski mampu menghasilkan konsep untuk derivasi dan penggunaan sel stem SSE, penelitian tersebut gagal untuk menyimpulkan isu kunci untuk mengatasi rintangan dalam mengimplementasikan secara praktis terapi sel stem SSE pada penyakit Hirschsprung.10
Salah satu masalah tersebut adalah kemungkinan yang meragukan bahwa reseksi tebal penuh usus yang diperoleh sewaktu operasi dapat memenuhi kebutuhan untuk mengulang penanaman jaringan usus demi menumbuhkan sel stem SSE. Penelitian terbaru menemukan bahwa biopsi mukosa usus yang didapat dari prosedur endoskopi rutin dapat digunakan sebagai sumber sel-sel stem terapeutik. Tidak hanya itu, NLB juga mampu ditumbuhkan dalam kultur yang mengandung sel-sel yang berproliferasi yang mampu untuk memperbaharui diri dan mengembangkan sejumlah besar klon sel berisikan komponen SSE. Ketika ditransplantasikan dalam bagian jaringan usus aganglionik, termasuk usus manusia penderita penyakit Hirschsprung secara in vitro, sel-sel derivasi NLB dari mukosa usus manusia mampu berkolonisasi pada usus resipien dengan baik dan membentuk fenotip neuronal yang terdapat pada SSE matur dan fungsional. Saat ini sedang diteliti kemampuan fungsional (integritas dan kontraktilitas selular) usus yang telah ditransplantasikan sel stem tersebut.10

F.     Komplikasi dan Prognosis
Sekitar 20% bayi dengan penyakit Hirschsprung akan memiliki satu atau lebih kelainan yang melibatkan sistem neurologis, kardiovaskuler, urologis, atau pencernaan.25 Megakolon aganglionik yang tidak diobati pada bayi dapat menyebabkan tingkat kematian sebesar 80%. Angka kematian operatif untuk salah satu prosedur intervensi sangat rendah. Pada kasus-kasus penyakit Hirschsprung yang telah ditangani, angka kematian mungkin setinggi 30% sebagai akibat dari enterokolitis.26
Hasil penanganan penyakit Hirschsprung umumnya memuaskan dengan sebagian besar pasien mencapai kontinensia. Karena sebagian besar kasus didiagnosis dan ditangani pada masa neonatus, kontinensia segera pasca bedah tidak mungkin dinilai. Dengan bertambahnya waktu kebanyakan anak berkembang ke arah kontinensia. Loperamide sangat berguna dalam penanganan diare.6
Pada sebagian besar penderita, tindakan pembedahan dapat menahan pengeluaran tinja. Penderita dapat mengalami inkontinensia yang terputus-putus disertai diare selama beberapa tahun. Dengan kolostomi dini, mortalitas akibat enterokolitis sebesar sekitar 4% dibanding 33% jika kolostomi dilakukan setelah terjadi enterokolitis. Prosedur Soave mengakibatkan striktur anal dan enterokolitis lebih sering daripada prosedur Boley, dengan angka mortalitas yang sama yaitu sebesar 3,2%.5
Komplikasi utama dari semua prosedur meliputi enterokolitis pasca operasi, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti disebutkan, hasil jangka panjang dengan tiga prosedur sebanding dan umumnya sangat baik di tangan ahli bedah berpengalaman. Ketiga prosedur juga dapat diadaptasi untuk aganglionosis kolon total, ketika ileum digunakan untuk segmen pull-through.9
Komplikasi lain yang mungkin dari operasi termasuk kebocoran anastomosis (5%), striktur anastomosis (5-10%), obstruksi usus (5%), abses pelvis (5%), dan infeksi luka (10%). Komplikasi jangka panjang selain enterokolitis meliputi gejala obstruktif, inkontinensia, konstipasi kronis, dan kematian, kebanyakan terjadi pada pasien penyakit segmen panjang. Meskipun banyak pasien akan mengalami satu atau lebih masalah tersebut setelah operasi, studi tindak lanjut jangka panjang telah menunjukkan bahwa lebih 90% dari kebanyakan anak-anak mengalami perbaikan yang signifikan dan relatif akan membaik.26 Pasien dengan sindrom lain yang terkait dan pasien dengan penyakit segmen panjang memiliki prognosis yang lebih buruk.23

PENUTUP

Penyakit Hirschsprung atau megakolon kongenital merupakan kelainan kongenital saluran pencernaan yang cukup sering ditemui pada bayi baru lahir. Penyakit ini memiliki karakteristik tidak adanya sel-sel ganglion pada kolon sehingga usus tidak dapat berkontraksi dan proses defekasi terganggu, menyebabkan distensi kolon proksimal akibat tinja yang tertimbun, membentuk megakolon. Insidensi lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3,8:1. Patogenesis penyakit Hirschsprung melibatkan faktor genetik yang mengatur proses migrasi sel-sel krista neural ke usus selama proses perkembangan janin. Manifestasi klinis yang dapat muncul berupa tidak adanya pengeluaran mekonium dalam 24-48 jam pertama masa kehidupan, konstipasi, diare, distensi abdomen dan perforasi yang dapat menyebabkan sepsis hingga kematian. Selain itu dapat juga ditemukan gejala penyakit traktus urinarius akibat obstruksi dan gagal tumbuh pada anak yang lebih besar.

Diagnosis didapatkan dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen, enema barium, manometri anal, dan biopsi rektal. Diagnosis pasti diperoleh dari tidak adanya sel-sel ganglion pada pemeriksaan histologist biopsi rektal. Tatalaksana meliputi pembedahan kolostomi, pembedahan  definitif dengan berbagai variasi prosedur, terapi konservatif dan yang terbaru adalah penanaman sel stem pada usus aganglionik yang saat ini masih terus diteliti dan dikembangkan. Prognosis pada kasus yang tertangani dengan pembedahan definitif secara umum baik. Beberapa komplikasi dapat ditemukan, keparahannya dapat tergantung dari seberapa panjang segmen usus yang terlibat.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Heanue TA, Pachnis V. Enteric nervous system development and Hirschsprung's disease: advances in genetic and stem cell studies. Nat Rev Neurosci 2007;8(6):466-79.

2.      Hamami AH, Pleter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Penyakit Hirschsprung. Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, Ed. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Jakarta: EGC, 2005. h. 670-71.

3.      Whitehouse FR, Kernohan JW. The myenteric plexus in congenital megacolon. Arch Int Med 1948;82:75.

4.      Darussalam D. Hubungan kelainan kongenital anomali gastrointestinal pada neonatus dan kematian.Sari Pediatri 2013;14(6):341-4

5.      Suraatmaja S. Kapita selekta gastroenterologi anak. Jakarta: CV Sagung Seto, 2007.  h. 250-1.

6.      Sunoto. Megakolon kongenital (penyakit Hirschsprung). Dalam: Markum AH, Ismael S, Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan anak jilid I. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991. h. 443-6.

7.      Meza-Valencia BE, de Lorimier AJ, Person DA. Hirschsprung disease in the U.S. associated Pacific Islands: more common than expected. Hawaii Med J 2005;64(4):96-8, 100-1.

8.      Kessman J. Hirschsprung disease: diagnosis and management. Am Fam Physician 2006;74:1319-22

9.      Newman K, Hackam DJ, Ford HR. Pediatric surgery. Dalam: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, Ed. Ebook Schwartz principles of surgery eighth edition. New York: McGraw-Hill, 2007.

10.  Thapar N. New frontiers in the treatment of hirschsprung disease. JPGN 2009;48:S92–S94.

11.  Okamoto EU. Embryogenesis of intramural ganglia of the gut and its relation to Hirschsprung's disease. J Pediatr Surg 1967;2:437-43.
12.  Langer JC, Betti PA, Blennerhassett MG. Smooth muscle from aganglionic bowel in Hirschsprung's disease impairs neuronal development in vitro. Cell Tissue Res 1994;276(1):181-6.

13.  Fernandez RM, Mathieu Y, Luzon-Toro B, Nunez-Torres R, Gonzales-Meneses A, Antinolo G, et al. Contributions of PHOX2B in the pathogenesis of Hirschsprung disease. PLoS One 2013;8(1):e54043 1-6.

14.  Ryan ET, Ecker JL, Christakis NA, et al. Hirschsprung's disease: associated abnormalities and demography. J Pediatr Surg 1992;27(1):76-81.

15.  Ward SM, Sanders KM. Physiology and pathophysiology of the interstitial cell of Cajal: from bench to bedside. I. Functional development and plasticity of interstitial cells of Cajal networks. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol 2001;281(3):G602-11.

16.  Menezes M, Corbally M, Puri P. Long-term results of bowel function after treatment for Hirschsprung's disease: a 29-year review. Pediatr Surg Int 2006;22(12):987-90.

17.  Belin B, Corteville JE, Langer JC. How accurate is prenatal sonography for the diagnosis of imperforate anus and Hirschsprung's disease? Pediatr Surg Int 1995;10:30-2.

18.  Teitelbaum DH, Caniano DA, Qualman SJ. The pathophysiology of Hirschsprung's-associated enterocolitis: importance of histologic correlates. J Pediatr Surg 1989;24(12):1271-7.

19.  Pensabene L, Youssef NN, Griffiths JM, et al. Colonic manometry in children with defecatory disorders. Role in diagnosis and management. Am J Gastroenterol 2003;98(5):1052-7.

20.  Guinard-Samuel V, Bonnard A, De Lagausie P, et al. Calretinin immunohistochemistry: a simple and efficient tool to diagnose Hirschsprung disease. Mod Pathol 2009;22(10):1379-84.

21.  Georgeson KE, Cohen RD, Hebra A, et al. Primary laparoscopic-assisted endorectal colon pull-through for Hirschsprung's disease: a new gold standard. Ann Surg 1999;229(5):678-82; discussion 682-3.

22.  De la Torre L, Ortega A. Transanal versus open endorectal pull-through for Hirschsprung's disease. J Pediatr Surg 2000;35(11):1630-2.
23.  Rintala RJ, Lindahl H. Sodium cromoglycate in the management of chronic or recurrent enterocolitis in patients with Hirschsprung's disease. J Pediatr Surg 2001;36(7):1032-5.

24.  Marty TL, Seo T, Sullivan JJ, et al. Rectal irrigations for the prevention of postoperative enterocolitis in Hirschsprung's disease. J Pediatr Surg 1995;30(5):652-4.

25.  Ryan ET, Ecker JL, Christakis NA, et al. Hirschsprung's disease: associated abnormalities and demography. J Pediatr Surg 1992;27(1):76-81.

26.  Yanchar NL, Soucy P. Long-term outcome after Hirschsprung's disease: patients' perspectives. J Pediatr Surg 1999;34(7):1152-60.

0 komentar:

Posting Komentar

.