Pages

Rabu, 05 Februari 2014

Tragedi Sosial dan Indahnya Hukum Islam


Di India beberapa waktu lalu terjadi demonstrasi besar-besaran menentang maraknya pemerkosaan. Angka pemerkosaan sangat tinggi, bahkan saking kesalnya massa yang berunjuk rasa membawa poster yang menggambarkan mengerikannya pemerkosaan yang terjadi di negeri Shakhruk Khan itu, yang berbunyi “This is not Republic, This is Rape Public.”

Tahun lalu kita juga menyaksikkan bersama di media massa, seorang anak kecil kelas 5 SD menderita sakit, diopname akibat pemerkosaan hingga kemudian meninggal. Dalam benak kita mesti terngiang kata, “bejat!” Dan setelah diselidiki, tahulah kita siapa pelakunya, yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri!

Di sisi lain pergaulan bebas merajalela. Angka seks bebas, hamil di luar nikah, penyakit menular seksual dan akibat lainnya meningkat. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2009 pernah merilis perilaku seks bebas remaja dari penelitian di empat kota yakni Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya hasil yang didapat sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seksual pranikah. Survei terbaru Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyebutkan 63 persen remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah.

Sebentar lagi akan tiba hari yang biasa disebut hari kasih sayang, hari valentine. Budaya Barat ini asal-usulnya beragam versi, namun sampai pada satu titik temu, ini bukan ajaran Islam. Peringatan hari ini juga sarat kepentingan kapitalis dalam memasarkan produk mereka, mulai dari coklat, pernak-pernik dan lainnya. Tanpa mengindahkan aturan Islam, yang melarang perayaan budaya sarat akan tradisi kaum pagan ini, kapitalis berlomba memasang iklan, “beli produk kami special valentine”, “valentine lebih asyik dengan produk kami” dan semacamnya.

Menetapi


Matahari baru beranjak dari timur. Hitam berangsur menjadi biru kelabu untuk kemudian putih. Ia menyusuri jalan. Menyeksama keadaan. Bunga-bunga dicerabut dengan paksaan. Kelopaknya berhamburan. Bukit-bukit berlubang. Hijau dulu tinggi menjulang. Sekarang hilang ditebang secara serampangan. Anak-anak menjadi pengamen jalanan. Yang lain kelaparan. Jutaan terbunuh tertembus timah tajam. Pertarungan tak seimbang. Berdalih dengan berbagai alasan. Selalu ada meski tak logis untuk dipikirkan.

Ia tak peduli. Terus menyusuri jalan. Pemandangan kembali berulang. Semakin menjadi-jadi tanpa kompromi. Bergulir melindas siapa saja yang tak mampu bertahan. Ini hukum rimba. Tapi ini manusia. Inikah kehidupan? Dimana Tuhan?

Ia ditarik ke dalam sebuah ruang diskusi. Berbagai logika keapatisan dilucuti. Badai terjadi di otak. Ini bukan doktrin yang memaksanya untuk memberontak. Tersenyum. Inilah jawaban.Tak terbatas pada segelintir kalangan. Kesadaran. Perubahan hakiki. Revolusi.

Ia merasa baru kali ini bebas. Semua belenggu telah terlepas. Termasuk jerat-jerat rutinitas. Tak peduli dalam genggaman terasa panas. Bahkan berimplikasi keringat dan nanti darah, mengucur deras. Namun kali ini bebas. Dan ingin menjadi pembebas.

Matahari kembali pulang ke barat. Seakan tak bertanggung jawab menjadikan langit jingga untuk kemudian hitam. Segelas kopi dihidangkan. Menemani untuk kembali menyeksama keadaan. Malam itu menyiksa. Ia berpikir apa yang diusahakannya selama ini sia-sia. Semua tak sesuai dengan bayangan idealnya. Tak ada yang peduli dengan itu. Pun gerombolan yang tumpah ruah di jalan, berseliweran meramaikan malam. Menyaksikan mereka ia menjadi kasihan.

Sebentuk makhluk bernama sahabat mengingatkannya. Untuk tahu ia melakukan sesuatu sejatinya demi apa. Di titik itu ia kembali menemukan ketenangan. Bahwa ia harus terus tersenyum dan melawan. Bahwa akhir itu kelak akan lebih baik dibanding awal, jika manusia mengetahui.

.