Pages

Rabu, 21 Desember 2011

Dialog Terbatas: "Deradikalisasi untuk Kepentingan Siapa?"

Aula Hotel Batung Batulis Banjarbaru dipadati sekitar 60 orang yang terdiri dari tokoh masyarakat, asatidz dan alim ulama pada acara Dialog Terbatas yang digelar Minggu (19/12) malam oleh DPD II HTI Kalsel Banjarbaru. Dialog yang diadakan di penghujung tahun 2011 ini bertemakan “Deradikalisasi, untuk Kepentingan Siapa?”. Ini sebagai refleksi akhir tahun mengingat isu yang cukup dominan di sepanjang 2011 adalah isu deradikalisasi atau kontra terorisme. Acara sendiri dimulai oleh pembawa acara pada pukul 20.30 WITA.

Ketua DPD II HTI Kalsel, Ustadz Natsir menyampaikan dalam sambutannya bahwa acara yang mengumpulkan berbagai tokoh ini dimaksudkan agar memberikan penjelasan tentang apa yang menjadi tujuan sebenarnya dari isu deradikalisasi yang tengah gencar dilakukan, berdasarkan fakta-fakta yang ada di lapangan. Sehingga nantinya tokoh yang sudah hadir ikut memberi pemahaman kepada masyarakat dan mampu mengambil sikap serta tindakan yang benar dalam menanggapi isu ini. Jangan sampai masyarakat menelan mentah-mentah opini massif yang digiatkan oleh BNPT yang mengarahkan bahwa Khilafah adalah ide orang-orang radikal dan teroris yang menginginkan kekacauan. “Tidak mungkin Khilafah itu ide teroris. Selama Khilafah menerapkan syari’at Islam secara kaaffah di muka bumi, yang terwujud adalah kesejahteraan & kemakmuran umat manusia,” ucap Ustadz Natsir.

Tampil sebagai moderator dialog pada malam itu adalah Ustadz Mahali, aktivis HTI Banjarbaru. Sedang narasumber yang dihadirkan ialah Ustadz Harits Abu Ulya dari DPP HTI. Mengawali diskusi, Ustadz Harits memaparkan pengantar berupa presentasi yang berjudul “Deradikalisasi, Mudharat atau Manfaat Bagi Umat?”. Di sini beliau mengungkapkan, bahwa isu deradikalisasi di Indonesia tak lepas dari Global War on Terrorism (GWOT) yang dikomando oleh Amerika. Momentum GWOT ini adalah paska peristiwa 11 September di Amerika, sedangkan momentum di Indonesia adalah selepas kejadian bom Bali I satu tahun setelah WTC runtuh. Dampak dari GWOT ini sangat luar biasa bagi umat Islam yang dituduh sebagai pelaku terorisme tersebut. Padahal, Amerika sendirilah yang sejatinya adalah teroris. “Perang di Irak selama 8 tahun 8 bulan 26 hari tak menghasilkan apapun kecuali kehancuran total di seluruh sektor kehidupan warga Irak. Sekitar 170 ribu orang tewas. Perang yang biayanya sangat mahal ini alasannya tidak ada yang jelas. Awalnya adalah tuduhan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal. Buktinya sampai perang berakhir itu tidak ditemukan,” kata Ustadz Harits, memberikan contoh kebiadaban Amerika.

SIkap Indonesia terhadap GWOT, lanjut beliau, adalah mengikuti komando Amerika. Buktinya ketika menyikapi Bom Bali I muncul Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 dan pembentukan Densus 88 serta munculnya BNPT pada tahun 2010 lalu. Program ini disupport oleh Amerika. Di awal pembentukannya saja, Densus 88 sudah didanai AS sebesar 150 miliar.

“Ada dua strategi utama yang dijalankan dalam agenda kontraterorisme ini. Yang pertama hard power, melalui tangan Densus 88. Sampai saat ini sudah 60 orang tertuduh yang tewas karenanya. Saya sendiri pernah menanyai langsung seorang tersangka yang ditangkap, ia bilang perlakuan Densus itu sudah tindakan di luar batas kemanusiaan,” ucap ustadz yang datang dari Jakarta ini.

Strategi yang kedua, ungkap beliau lagi, adalah soft power atau dengan karakter lunak. Contohnya adalah deradikalisasi. Target deradikalisasi ini adalah umat Islam, seperti kelompok yang dianggap radikal, ormas, pelajar atau mahasiswa, remaja masjid, santri dan khalayak umum. Ini yang berbahaya karena deradikalisasi ini sendiri cacat secara paradigmatik. Definisi radikal itu kabur dan berdasarkan pasal karet. Label radikal yang disematkan tak jelas indikasinya, dan pelabelan ini tak lain adalah upaya penjajah untuk memecah belah umat Islam. Ustadz Harits menyebutkan, “ini seperti gaya Snouck Hurgonje dulu, yang mengelompokkan umat Islam menjadi Islam Abangan, yaitu yang hanya ikut-ikutan dan Islam Mutihan atau Islam yang lurus. Kalau sekarang kita dikotak-kotakkan menjadi Islam liberal, Islam moderat, Islam radikal dan Islam fundamental.”

Selain itu deradikalisasi ini berbahaya karena merupakan upaya menyimpangkan umat dari pemahaman Islam yang benar. Seperti makna jihad, yang secara syar’i adalah qital (berperang), dipersempit menjadi usaha yang bersungguh-sungguh. Jadi menafkahi keluarga pun sudah bisa disebut memenuhi kewajiban berjihad.

Dan ada berbagai kepentingan pada proyek deradikalisasi ini. “Dengan anggaran yang besar, makanya banyak yang menjadikan proyek deradikalisasi juga sebagai ajang mencari duit.”

Setelah presentasi moderator membuka sesi diskusi. Karena waktu yang terbatas, hanya ada beberapa orang yang sempat mengajukan pertanyaan. Salah satunya adalah Subhan, yang pada intinya menanyakan sejauh mana usaha HTI dalam melawan isu deradikalisasi. Ustadz Harits pun mengemukakan bahwa HTI dalam berbagai kesempatan terus berupaya menyadarkan umat, salah satunya melalui media yang diterbitkan oleh HTI maupun lewat berbagai acara seperti dialog ini. “Ini butuh kerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat, ulama dan asatidz yang mukhlis. Yang berani berkata jujur bahwa yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil,” tegas Ustadz Harits pada acara yang berakhir pukul 22.30 WITA itu. (aa)

Sabtu, 03 Desember 2011

If This Trip is the Last


Sobat, jika kamu tengah berkendara, memacu sepeda motormu ke sebuah tujuan yang cukup jauh apakah kamu biasa mendengar music favoritmu lewat headset untuk menghilangkan kebosanan? Sering seperti itu? Hmm, saya sendiri cukup sering.

Tentu banyak aktivitas lain yang bisa sambil kita lakukan saat memacu gas motor atau menyetir. Mungkin ada yang sambil berusaha mengingat hapalan kuliah atau al-Qur’an. Ada yang hanya berpikir, mengevaluasi apa saja yang telah dilakukannya hari itu. Ada yang sambil makan cemilan atau minum air kemasan yang ditaroh di kantung bajunya dengan sedotan panjang. Bahkan ada juga yang dengan antusias sibuk menjelajahi lorong hidungnya dengan telunjuk untuk mencari ‘harta karun’ yang masih tersisa. Yang unik, saya pernah dengar ada seorang ustadz yang ketika dibonceng dalam suatu perjalanan, beliau malah ngomong-ngomong sendiri. Kontan sang pembonceng bertanya-tanya, jangan-jangan sang ustadz kerasukan dan perlu diruqyah? Ternyata pas ditanya langsung ke orangnya, ustadz tadi sedang melatih retorika dakwahnya dengan praktek langsung, mumpung ada waktu, meski sedang berkendara, sayang tidak digunakan.

Sobat, kita tak pernah tahu pasti apakah aktivitas yang kita lakukan merupakan yang terakhir yang bisa kita kerjakan atau tidak. Dan berkendara, sepertinya hal yang cukup beresiko mengantarkan kita kepada akhir kehidupan. Maaf, bukan menakuti, tapi buktinya manusia sadar hal itu dan telah berusaha ‘memperkecil resiko kematian’ dengan memakai helm, sabuk pengaman, lampu lalu lintas, dan lainnya. Bukan berarti manusia menolak kematian, tapi itu adalah usaha yang juga diperintahkan oleh Sang Pemilik Kehidupan.

Rabu, 23 November 2011

Intermediate Islamic Leadership Training: Kami Siap Menjadi Pemimpin!

Aula Kampus II Bandiklatda Kalsel, Banjarbaru menjadi saksi atas pertamakalinya perhelatan Intermediate Islamic Leadership Training (IILT) diadakan di Kalimantan Selatan. Acara ini diikuti oleh sekitar 60 perwakilan aktivis dakwah seluruh kampus di Kota Banjarmasin dan Banjarbaru. Mereka terlihat sangat antusias mengikuti jalannya kegiatan yang diselenggarakan oleh BKLDK Korwil Kalsel tersebut. Tampak dari pekikan takbir penuh semangat yang sesekali diteriakan para peserta.

 

Senin, 07 November 2011

Sintesis, Metabolisme, dan Kerja Hormon Tiroid

Sintesis Hormon Tiroid
ORGANIFIKASI, COUPLING, STORAGE, RELEASE
Setelah iodida masuk ke tiroid, ia dijebak dan ditranspor menuju membrane apical dari sel folikular tiroid, dimana iodide akan dioksidasi dalam reaksi organifikasi yang melibatkan TPO dan hydrogen peroksida. Atom iodine reaktif ditambahkan ke residu tirosil tertentu di dalam Tg, sebuah protein dimerik besar yang terdiri dari 2769 asam amino. Iodotirosin di dalam Tg kemudian dipasangkan (proses coupling) melalui hubungan ether dalam sebuah reaksi yang juga dikatalisis oleh TPO. Baik T4 atau T3 dapat diproduksi lewat reaksi ini, tergantung jumlah atom iodine yang terdapat dalam iodotirosin. Setelah coupling, Tg dikembalikan ke dalam sel tiroid, dimana ia diproses di dalam lisosom untuk melepaskan T4 dan T3. Mono dan diiodotirosin (MIT, DIT) yang tidak berpasangan dideiodinasi oleh enzim dehalogenase, dengan demikian terjadi pengolahan kembali beberapa iodide yang tidak dikonversi menjadi hormone tiroid.

Gangguan sintesis hormon tiroid adalah penyebab langka hipotiroidisme kongenital. Sebagian besar gangguan ini disebabkan oleh mutasi resesif di TPO atau Tg, tetapi cacat juga telah diidentifikasi dalam TSH-R, NIS, pendrin, generasi hidrogen peroksida, dan dehalogenase. Karena cacat biosintesis, kelenjar tidak mampu mensintesis jumlah hormon yang cukup, yang menyebabkan TSH meningkat dan gondok besar.


Minggu, 06 November 2011

The Sacrifice

Bicara tentang ibadah qurban, tentu kita akan teringat peristiwa sakral yang telah sangat lama terjadi. Peristiwa yang mungkin sering diceritakan oleh bunda tercinta menjelang berangkatnya kita ke alam mimpi. Yaitu satu dari sekian banyak cerita para nabi dan rasul yang ibrahnya selalu dapat kita ambil dan terapkan dalam kehidupan nyata. Ya, ini tentang Nabi Ibrahim as dan puteranya yang bernama Ismail as

Kita ingat bagaimana Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putera tercintanya tersebut. Permintaan yang tentu teramat berat. Bayangkan saja jika kamu diperintahkan menyembelih anakmu satu-satunya, apakah kamu mau? Jika seseorang menyuruh dan memaksa seperti itu pasti kamu akan marah dan mungkin malah mengalihkan sasaran sembelihanmu itu menjadi orang tersebut. Tapi seandainya Allah, Sang Pencipta kita, yang meminta pengorbanan itu?

Ketika kita mengakui bahwa tiada sesembahan selain Allah sudah sepantasnya kita melakukan apapun yang diperintahkan-Nya hingga titik kulminasi kemampuan kita (kita bicara kondisi ideal kawan, bukan bicara kondisi sekarang yang bahkan banyak sekali aturan-Nya dipinggirkan). Maka bukanlah suatu kegilaan jika Ibrahim as memberitahu anaknya bahwa ia akan menyembelih si anak sebagai persembahan kepada Sang Maha Kuasa. Dan bukan berarti Isma’il as terganggu kondisi kejiwaannya tatkala ia berucap mantap “lakukanlah apa yang diperintahkan Rabbmu wahai ayah.”

Kamu pasti sudah tahu bagaimana happy ending sejarah ini kan? 


Senin, 31 Oktober 2011

Tulislah

Sepertinya saya sudah lama tidak menulis artikel yang bermutu menurut versi saya sendiri. Entah kenapa. Saat ini saya sedang menggandrungi tulisan-tulisan berbobot namun tak hanya itu, juga yang disertai diksi-diksi menawan di setiap untai kalimatnya. Saya menyukai tulisan Husain Matla hingga Divan Semesta. Namun anehnya ketika saya mencoba menulis supaya mampu sehebat mereka saya merasa kesulitan sendiri.

Lantas saya berpikir. Apakah niat saya untuk menulis dengan diksi yang indah itu, memang agar benar-benar mudah dipahami orang lain, menarik perhatian mereka hingga transfer ide yang saya lakukan berhasil? Tentu kita sangat tidak ingin menjadi seperti yang dikatakan oleh Fauzil Adhim, “Hari ini, ketika hampir seluruh hajat kita dikuasai oleh Yahudi, masihkah engkau sibuk bergenit-genit menulis hanya untuk mendapat tepuk tangan?”

Kalau mendompleng analoginya Dwi Condro Triono, tulisan itu -seperti halnya retorika- seperti senjata pemusnah massal, yang terdiri dari pelontar roket dan bahan peledaknya. Sehebat-hebatnya pelontar roket, bahkan hingga beribu kilometer ia mampu mengantarkan peledak, akan sia-sia jika peledak dalam roket itu kualitasnya hanya seperti petasan. Yah, paling banter juga bikin nenek-nenek jantungan pingsan. Tulisan seindah apapun diksinya, bagaimanapun nyastra­-nya, kalau ide yang disampaikan bukan ide yang revolusioner, cuma bakal jadi dongeng penghibur di kala senggang. Atau seperti petasan yang diledakkan teman-teman kecil saya dulu di mushala ketika tarawihan, kurang asem yah, tapi menghibur sekali bagi mereka!

Diksi memang penting, tapi ide lebih penting. Saya pikir berada pada level ‘bisa menulis’ kemudian anda mempropagandakan ide Islam ideologis lewat tulisan anda akan lebih benar dan baik daripada berada di level ‘hebat menulis’ namun anda tak mau menyampaikan ide yang berkualitas. Tentu, ‘hebat menulis ideologis’ adalah level yang lebih tinggi lagi. Di tengah jumudnya minat baca masyarakat kita, yang lebih menyenangi tulisan berkaliber ‘manga’ dan sastra cinta akan sangat bermanfaat jika kita bisa di level itu.
Dan bagi penulis muslim yang ingin terus mengasah kualitas tulisannya, ada sebuah saran yang mungkin akan bermanfaat. Saya mendapatkannya dari seorang wartawan senior salah satu media massa terbesar di provinsi. Beliau menyarankan agar para jurnalis membiasakan membaca karya sastra semacam novel. Saya kira untuk apa. Beliau bilang agar otak kanan jurnalis terasah sehingga mampu menghasilkan tulisan yang tidak monoton. Saya pikir ada benarnya, sebab dengan terbiasa bukankah kita akan bisa? Saya akan berusaha mempraktekkannya.

Tips lagi dari saya, bagi kamu yang sangat ingin menulis tapi belum berhasil, maka langkah yang sangat tepat adalah memulainya. Tulislah apa yang kamu pikirkan, hal yang membuatmu termotivasi, kejadian menarik di sekitarmu dan sebagainya. Klasik banget yah. Tapi bukankah benar, bagaimana kamu akan berhasil jika kamu sendiri belum memulainya! Tak usahlah menunggu si abang bernama ‘inspirasi’ itu. Inspirasi itu selalu ada. Bahkan saya menulis artikel ini, terinspirasi dari tidak adanya inspirasi yang datang! Inspirasinya, mungkin adalah besarnya keinginan untuk menulis karena rasanya gelisah kalau tidak menulis. Semoga kamu paham.

Oh ya, saya bukanlah seorang penulis yang telah berhasil menelurkan sebuah karya best seller sebagaimana Andrea Hirata. Boro-boro best seller, nulis satu buku saja belum selesai. Saya hanya penulis serabutan (istilah yang seenaknya saya sematkan kepada diri sendiri). Tapi biar begitu saya tetap tidak mengurungkan niat saya untuk mengubah dunia dengan segala upaya yang bisa dilakukan, termasuk tulisan. Tentunya bersama kalian juga yang terus bersemangat karena pemahaman Islam sebagai diin pembebasan ini.

Ideologi Islam akan segera tegak kembali dengan berdirinya lagi Khilafah, insya Allah takkan lama lagi. Para ideolognya mesti berupaya terus menyebarluaskan ide revolusionernya salah satunya melalui artikel-artikel berkualitas, tulisan yang dikirim ke media massa maupun yang dimuat di media yang mereka bikin sendiri, dengan terus mengasah kemampuan satu ini dan tidak melupakan aspek penting lainnya dalam upaya revolusi. Dan supaya tulisan ini tak berakhir dengan hampa, saya tutup dengan kalimat ini saja sampai disini.

Minggu, 04 September 2011

Pertandingan Belum Berakhir

Berbangga diri karena merasa telah berada di atas angin, merasa lebih dekat dengan kemenangan sementara hasil akhir belum ditentukan bukanlah hal yang baik. Hal itu berbeda dengan rasa optimis. Di salah satu laga pamungkas perebutan piala champion Eropa, klub bola sebesar AC Milan telah pernah merasakannya. Unggul 3-0 di babak pertama, entah kenapa di babak kedua pasukan merah yang dipimpin Steven Gerrard mampu menyamakan kedudukan dan, dengan dramatis ketika adu penalti usai dilangsungkan akhirnya malah pasukan Rossoneri lah yang meninggalkan lapangan dengan kepala tertunduk penuh sesal.

Begitu pun harusnya orang-orang yang tengah berjuang mengubah peradaban. Optimis adalah hal yang positif, ketika janji kemenangan itu niscaya dan peradaban musuh sedang merintih meregang nyawa. Namun ketika menetapi jalan yang tak biasa ini kita merasa lebih tinggi, bahkan tanpa berusaha terus memperbaiki dan meningkatkan kualitas plus kuantitas perjuangan -sebagai tuntutan kaidah kausalitas, yang juga tuntutan syara- maka akan sangat menyakitkan jika peringatan atau cobaan yang keras datang. Dan bisa jadi semangat yang berkobar di awal menjadi padam seketika.

Seperti juga halnya, ketika suatu saat si Bejo yang dikenal jidatnya hitam bukan karena sejenis dermatitis dan celetukannya tak jauh dari kata "Masya Allah, alhamduliLlah, astaghfiruLlah, dsb" terbersit dalam benaknya bahwa "hmm syukur gue kagak kayak si Bakri yang kerjanya cuma main game, gonta-ganti pacar en ngabisin waktu sia-sia..". Ternyata pas sudah di alam sana, malah Bakri yang selamat, sehingga dalam perjalanannya memasuki jannatu 'Adn Bakri melongo tatkala melihat nasib Bejo yang diseret paksa malaikat pegawai neraka. Bakri pun hanya bisa berucap "Kenapa sih lu jadi kayak gini jo?"

Oke, ada yang bilang kualitas cerita memang ditentukan dari akhirnya. Sayang kehidupan kita bukanlah sebuah cerpen yang kita karang, yang bisa kita perkirakan bahkan kita tentukan sendiri endingnya, sehingga di sana kita mampu menutup cerita dengan diksi dan cara yang luar biasa. Tak ada pilihan untuk mencapai keberhasilan dalam perjuangan dan hidup, selain mengkonstankan bahkan menggradasikan intensitas tindakan yang benar, hingga 'peluit panjang telah terdengar.'

Malaria Falciparum


Anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa orangtuanya ke rumah sakit dengan keluhan utama keringat dingin dan demam tinggi tiap hari selama 4 hari. Orangtuanya mengatakan ketika demam turun, pasien menjadi basah karena keringat dan merasa kehausan. Orangtuanya juga melaporkan adanya diare, mual, dan sakit perut. Saat pemeriksaan pasien didapatkan pasien mengalami letargi dan susah bangun. Kejang umum terjadi saat di unit gawat darurat.
Keluarga pasien berimigrasi ke Amerika Serikat dari Afrika Barat 3 minggu sebelum onset penyakit sekarang.

PEMERIKSAAN FISIK
-Suhu 40 C, denyut nadi 140/menit, nafas 28/menit, tekanan darah 82/40 mmHg
-Kurus, paling tidak masih responsif terhadap perintah verbal. Pupil reaktif dan leher lunglai. Konjungtiva pucat dan pemeriksaan abdomen menunjukkan adanya hepatosplenomegali.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Darah
Hematokrit: 18%
Leukosit: 16,3/µL
Diferensial: PMN 50%, Bands 20%, limfosit 15%
Platelet: 42.000/µL

IMAGING
CT scan normal

Kamis, 01 September 2011

Maaf

Mohon maaf lahir batin
Maaf atas segala khilaf baik disengaja ataupun tidak.

Dan maaf, karena kali ini saya sedang tak ingin diganggu. Biarlah saya beristirahat, menyelami dunia saya sendiri. Memperbanyak waktu untuk merenung yang bukan melamun. Mengumpulkan lagi pundi-pundi energi. Untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti.

Maaf, sekali lagi maaf.

Jumat, 26 Agustus 2011

Aneh

Ia buka pagar dan serta merta dilangkahkan kakinya keluar. Saat itu matahari tengah tinggi-tingginya dan begitu percaya diri menampakkan wajahnya, tak ada awan yang menutupi keangkuhannya barang sedikit saja. Tapi Bejo tetap berjalan. Bejo tak takut dengan matahari. Sebab matahari bukan tuhan. Ibrahim as telah menunjukkannya, sejarah itu tersimpan dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan.

Seruan kebesaran ar-Rahman berkumandang beberapa menit sebelum itu. Bejo hanya mencoba memenuhi panggilan mulia. Ajakan untuk mendirikan shalat serta meraih kemenangan.

Dalam perjalanannya Bejo sempat saja berkontemplasi. Mengapa orang yang sering ke masjid saat ini identik dengan orang alim dan ahli ibadah? Setidaknya itu persepsi kebanyakan orang sekarang. Padahal itu aneh. Bukankah orang yang ke masjid, mencoba mendekatkan diri kepada Rabbnya sebenarnya orang yang paling takut akan banyaknya dosa yang dimilikinya? Maka ia melobi Allah swt, agar proposal permintaan penghapusan dosa dan permohonan izin bertemu dengan-Nya di surga dapat diterima. Bejo kira orang yang jarang dan enggan ke masjid untuk beribadah sebenarnya dialah yang hebat. Karena mungkin dirinya merasa sudah bergelimang pahala sehingga berpikir tak perlu lagi berepot-repot menambah pundi-pundi amalnya. Entahlah, banyak faktor dan tak bisa disimpulkan begitu saja kan.

Beberapa saat kemudian masjid itu telah berdiri gagah dihadapan Bejo. Tentu bukan masjid yang mendatangi Bejo dengan sendirinya. Sebab ia tak bisa berjalan. Artinya Bejo sudah sampai ke tempat yang ingin dituju. Masa begitu saja kau tidak tahu.

Dan ada hal yang aneh lagi. Di halaman masjid itu tertanam tiang tinggi yang diujungnya terpasang selembar kain berwarna dua. Berkibar-kibar bendera itu disapa angin. Oh ya ini Agustus. Tapi tetap saja aneh. Masjid identik dengan Islam. Bendera identik dengan nasionalisme. Dan nasionalisme identik dengan terceraiberainya umat Islam. Aneh bukan? Dan lagi, apakah memasang benda itu bisa mendatangkan pahala?

Bejo ingat tak pernah terpancang kain itu di halaman rumahnya hingga kini, setelah beberapa hari lewat tanggal yang katanya hari kemerdekaan itu. “Syukurlah keluargaku di rumah tidak terlalu nasionalis. Begitu juga aku, apalagi.” Pikir Bejo.

Dan tak mau ambil pusing lebih lanjut Bejo mengambil air wudhu. Sehabis shalat berjamaah Bejo melaksanakan shalat sunnah ba'diyah dzuhur. Pada sujud terakhir ia berdoa, semoga rakyat Indonesia sadar dari rusaknya paham nasionalisme, sadar bahwa kemerdekaan yang dirayakan seringkali dengan ritual kerupuk dan karung itu hanyalah mitos saat ini, dan sadar untuk kembali kepada syari’at Allah serta memperjuangkan ideologi Islam sebagai ideologi pembebasan. Ideologi yang memerdekakan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia, menuju penyembahan kepada Gusti ALLAH semata.

Jumat, 12 Agustus 2011

Akankah Kita Menang

Di akhir bulan mulia ini apakah kemenangan yang ingin kita raih sementara tatkala menahan lapar dan dahaga demi tujuan mulia lisan kita masihberkata yang sia-sia dan dusta, melahap daging saudara kita dengan sengaja, dan berbagai umpatan serta makian pun tak luput terucap begitu saja?

Apakah kemenangan yang ingin kita capai, tatkala kita abai terhadap esensi puasa sebagai media
pelatih mengendalikan hawa nafsu, sebab di sore-sore harinya kita hamburkan uang kita di pasar Ramadhan, hingga kita tak sadar bahwasanya kita malah membeli dan memakan lebih banyak daripada saat bulan-bulan lainnya?

Sungguh-sungguhkah mengidamkan kemenangan, sementara dimana-mana diselenggarakan buka bersama yang menghabiskan banyak anggaran dan akhirnya banyak makanan yang tak terhabiskan.. sedangkan masih banyak mereka yang kelaparan dan harus merasakan berpuasa lebih dari 24 jam? Di mana maksud puasa sebagai sarana agar kita merasakan apa kaum kurang beruntung rasakan? Mengapa bukan mereka saja yang diajak untuk berbuka puasa bersama?

Kamis, 11 Agustus 2011

Maknyoss

Berawal dari malam tadi, ketika bada tarawihan sohib gue, yang dengan sangat romantisnya ditakdirkan sekontrakan dengan gue selama ini, nelpon karena ada satu hal yang pengen dia minta dari gue. Yang jelas yang dia minta bukan pertanggungjawaban karena gua telah menghamili kucing di kontrakan. Karena setahu gue tuh kucing bukan punya dia jadi buat apa dia meminta gue bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan miliknya. Lagipula buat apa gue menghamili kucing orang kayak gak ada kerjaan aja.

Sohib gue yang sekarang berada di Amuntai itu, minta tolong buat nganterin barangnya buat dititipin di satpam kampus, karena ada orang yang bakalan ngambil tuh barang nantinya. Okeh, tapi tolong diingatkan ane ya kalo lupa, gitu kata gue. Sip nanti pas sahur ane telpon lagi buat ngingetin, sahutnya. Maka gue yang sejak beberapa hari lalu ditinggal sendiri di kontrakan karena teman-teman sekontrakan pada pulkam, santai aja dan mulai nyusun rencana buat nanti sahur. Habis tadarusan gue bersiap pulang en salah satu saudara setadarussan nyeletuk, eh gak nginap di sini kah, yang artinya ngajakin gue 'i'tikaf' kayak malam-malam sebelumnya. Gak om, malam ini ane di rumah aja deh, jawab gue. Gue pikir walau gue gak tidur di masjid en sendirian aja di kontrakan, gue tetap bakal bisa bangun sahur (emang niat gue nginap di masjid selama ini cuma supaya bisa dibangunin sahur? O betapa mulianya). Karena rencananya temen gue yang terpisah puluhan kilometer itu yang bakal ngebangunin gue lewat telpon (owh co cuiit). Lagian gue masih ada job yang musti diselesaikan dengan cara berduaan dengan ‘isteri pertama’ gue, si lepi (panggilan sayang buat laptop gue).

Ternyata pas udah di rumah entah kenapa ngantuk gue makin menjadi. Setelah buka laptop sekitar 1 jam akhirnya gue pun tertidur pulas dengan si lepi di sebelah gue. Sebelumnya gue pasang alarm buat jaga-jaga bangun sahur, disamping keyakinan gue tadi bakal dibangunin lewat telpon. Namun apa dinyana, o sayang disayang, karena alarm dari hape gue tidak berhasil membangunkan gue pukul 4 subuh dan.. temen gue pun nyatanya gak ada nelpon-nelpon. Pas gue bangun, maknyoss…! Ternyata sudah jam 5 lewat 15 menitan! Artinya hampir azan subuh bo.

Kamis, 28 Juli 2011

Rekreasi Fisik dan Pikiran

Saya telah siap untuk berangkat, ketika ibu bertanya..
 
“Mau kemana?”

“Ada yang dicari, Ma,”

Jawaban singkat itu walau mungkin tak menjawab secara gamblang pertanyaan beliau, tetap menjadi penutup dialog singkat kami dan setelahnya saya pun memacu motor menuju tempat yang saya ingin mencari sesuatu di sana. Lantas, apa yang dicari? Sederhana, sedikit ketenangan yang lebih. Yang itu sepertinya bisa saya dapat, seperti sebelumnya, dengan menyaksikan sebagian dari keindahan alam. Menghirup udara sejuk di daerah yang sejauh mata memandang kebanyakan dihiasi warna hijau.

Akhir kuliah semester genap kedua selama menjadi mahasiswa telah saya lalui dengan perasaan yang campur aduk. Antara lega sebab libur panjang telah tiba, dan menyesal karena usaha semester ini dirasa belum maksimal sehingga hasil yang didapat pun tidak memuaskan. Bahkan sangat. Tapi penyesalan berlarut takkan menghasilkan solusi. Lebih baik memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk menebusnya, dan itu telah saya mulai. Di saat otak mulai kelelahan menyimpan serta menganalisa informasi, saya memutuskan untuk pergi.

Saya bertolak menuju tempat, yang sekitar 3 atau 4 tahun lalu, sempat beberapa kali rutin saya kunjungi. Bukan saja karena keindahan alamnya, namun di kompleks perumahan baru itu seorang sahabat, sekaligus tetangga saya, orang tuanya baru saja membeli sebuah rumah untuk disewakan. Saya dan beberapa teman akrab di komplek kami sering diajak ke sana sebelum rumah itu berpenghuni. Satu kali kami memancing dan menangguk ikan di kali belakang rumah, bermain air dan berenang di sungai kecil, hingga sedikit bertualang di pematang sawah dan mendapat ubi kayu yang besar-besar. Nostalgia masa lalu cukup menambah ketentraman hati saya ternyata.

Senin, 18 Juli 2011

Pria di Tengah Medan Perang

Suasana perang tak membuatnya hilang nyali untuk masuk ke sana. Justru ia tertantang untuk segera datang dan membantu saudara-saudara sesama Muslim. dr. Jose Rizal Jurnalis, siapa tak kenal dia? Semoga menginspirasi..

Siapa yang tidak takut masuk ke medang perang? Wajar jika rasa itu ada. Tapi dari pengalaman di Maluku, saya sudah membangun pandangan bahwa kematian itu hanya ditentukan oleh Allah SWT. Dan kematian yang paling mulia itu syahid. Itu besar faidahnya bagi kita dan keluarga kita. Tapi tentu jangan asal mau mati syahid tanpa ada persiapan dan tahu syariatnya.

Ketika pertama kali berangkat ke daerah konflik, istri saya sempat bicara macam-macam. Dia sangat khawatir dengan keselamatan saya. Tapi sekarang tidak lagi. Begitu saya mau berangkat, dia langsung membereskan pakaian dan segala kebutuhan. Tak lupa kita menyelesaikan segala utang piutang. Jangan sampai kalau 'lewat' istri dililit utang.

Mungkin banyak yang bertanya mengapa saya begitu bersemangat masuk ke medan konflik? Pertama, terus terang kita ini kan mendapat amanah seperti kecerdasan, kesehatan, keberuntungan sekolah di sekolah terbaik, dapat guru-guru yang hebat juga. Saya merasa ini kesempatan yang tidak semua orang punya. Alangkah sayangnya kalau amanah yang diberikan Allah itu tidak dimanfaatkan untuk hal-hal bukan hanya sekadar cari uang.

Kedua, saya merasakan ketika datang ke daerah-daerah tersebut untuk membantu orang yang membutuhkan bantuan medis, hidup ini lebih mudah. Saya merasa dunia ini lebih lega. Tidak sempit. Dan menurut Ustad Abu Bakar Basyir memang begitu. Jika engkau menolong agama Allah maka Allah akan memuliakan dan meneguhkan. Di sini kuncinya.

Minggu, 17 Juli 2011

Keterikatan untuk Kemuliaan

Mungkin mereka terlalu sering menengadah memandang burung yang terbang bebas menembus awan. Sembari membayangkan, kebebasan yang seperti itu terasa damai dan menyenangkan. Mereka -yang menamakan golongannya sebagai anarkis-, menginginkan kehidupan tanpa otoritas, tanpa ada lagi strata kasta dalam hidup manusia.

Anarki adalah perindu kebebasan martabat individu. Ia menolak segala bentuk penindasan. Jika penindas itu kebetulan pemerintah, ia memilih masyarakat tanpa pemerintah. Jadi, bumi anarki sejatinya bumi utopis yang dihuni individu-individu yang ogah memiliki pemerintahan. Anti hierarki.

Ya, sekilas ide anarki ini adalah ide yang menyenangkan. Tapi lebih jauh mereka mulai tidak sopan, tak hanya mengingkari otoritas penguasa di dalam kehidupan bernegara, mereka pun mencoba berontak melawan otoritas tertinggi -otoritas Tuhan-. Meski ada yang mengklaim anarki pun bisa religius, namun itu hal yang absurd.

***
Seperti juga kebanyakan yang lain, saya pernah mengalami masa muda tanpa kematangan pemikiran. Walaupun sebenarnya sekarang pun masih perlu dimatangkan karena baru sekitar tiga perempat matang. Dulu yang saya maksud, mungkin masih seperempat matang lah. Tapi saya bukan orang yang maniak eksistensi atau senang cari sensasi. Paling banter saya bolos tiap upacara 17-an dengan alasan yang tidak ideologis atau menjadikan main domino di mushalla sekolah sebagai ngabuburit di bulan Ramadhan hingga digrebek wakil kepala sekolah.

Rabu, 13 Juli 2011

Bukan Bolang Biasa

Kapan lagi kawan?
Kita kembali menyusuri jalan mendaki di antara pepohonan.
Menyisihkan rerumputan tinggi dengan tangan dan potongan dahan.
Melangkah tenang sementara saja tanpa ada beban pikiran.
Menengadah ke langit bersih dengan apungan awan-awan.
Bersenandung pelan beriring kicauan burung yang bertenggeran dan terbang pelan.
Memanjakan paru dengan partikel udara segar dan menyehatkan.
Melatih jasmani juga menentramkan rohani.
Menikmati karya seni bernilai tinggi,
berdecak kagum atas guratan kuas kuasa Sang Rabb di atas kanvas bernama bumi.

Ayolah, waktu masih panjang!

Jumat, 01 Juli 2011

BBM Subsidi

BBM BERSUBSIDI HANYA UNTUK ORANG YANG TIDAK MAMPU
-Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral-
Kalimat ini saya temukan terpampang di sebuah spanduk di pagar SPBU dekat rumah kontrakan saya saat lari pagi melewatinya. Waktu itu saya belum gosok gigi dan mandi (sudahlah, ini tidak penting). Yang saya bingung, seperti apa batasan 'orang yang tidak mampu' tersebut? Wah, artinya kalau saya masih membeli premium untuk minum Si Supri (panggilan sayang untuk Supra X saya), berarti saya masuk golongan tidak mampu dong?
Tapi, mengapa yang dipajang bukan tulisan "BBM HANYA UNTUK KEPENTINGAN RAKYAT"? Bukan kah ini sesuai juga dengan Pasal 33 UUD 1945? Apakah orang-orang yang mampu itu bukan rakyat??
Kemudian saya terhenyak tatkala mengetahui berita mengenai adanya rencana dari MUI untuk memfatwa-haramkan orang kaya membeli BBM bersubsidi. Tunggu dulu, ada yang aneh! Jika bbm subsidi difatwa haram bagi orang kaya.. maka Exxon, Chevron dan perusahaan asing lain juga harus difatwa haram mengambil BBM dari perut bumi negeri ini kan??

Kamis, 30 Juni 2011

Seruan Mesra untuk Revolusi

Sesungguhnya tegaknya Daulah Khilafah Islam merupakan kewajiban syariah yang mengikat atas seluruh kaum Muslim. Melalaikan kewajiban ini merupakan kemaksiatan yang akan mendapatkan azab yang pedih dari Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), ia mati seperti kematian Jahiliah (HR Muslim).

Baiat itu hanya kepada Imam yaitu Khalifah, bukan kepada yang lain. Maka kewajiban adanya baiat di atas pundak setiap Muslim hanya terjadi saat ada Khalifah.

Kewajiban menegakkan Khilafah ini menjadi penentu sempurnanya pelaksanaan berbagai hukum dan kewajiban lainnya. Tatkala Daulah Khilafah Islam tidak ada seperti saat ini, banyak hukum Islam dan kewajiban terlantar dan tidak bisa dilaksanakan. Padahal kita diperintahkan untuk menerima dan melaksanakan semua hukum islam secara kaffah (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 7, al-Maidah [5]: 47-49).

Selasa, 28 Juni 2011

Santai Saja!

Santainya nyawa...!

Yah, bagaimana lagi saya harus bersikap? Mungkin itu yang ingin saya katakan pada teman saya yang mengatakan kalimat di atas tadi. Ia mengatakan kalimat itu setelah mengetahui kondisi saya saat itu. Hari itu memang 'gokil'. Dompet saya, jatuh entah dimana. Klasik lah, di dalamnya ada KTP, SIM, STNK, uang seratus ribuan, KTM. Tak lama, satu insiden terjadi lagi: laptop saya monitornya mati mendadak pas dipakai ngetik. Saya utak-atik tombol on-offnya, gak mau nyala-nyala juga. Yah, padahal ini minggu-minggu ujian. Dimana laptop adalah seakan nyawa, semua materi-slide kuliah dosen ada di dalamnya. Seandainya flashdisk bisa dicolok ke tipi 14 in biasa di kontrakan, lalu menjalankan program Microsoft power point mungkin tidak terlalu masalah. Tapi kamu pun tahu mana bisa tipi biasa bisa. Begitu juga kompor minyak butut di dapur kami.

Dan saya katakan itu pada teman satu kontrakan saya. Jangan salah paham, kami bukan berarti kumpul kebo walau tinggal di bawah satu atap. Saya cowok, mereka juga cowok. Ih, mana mungkin eyke kayak gitu!

Saya menceritakannya dengan maksud, kalau-kalau teman saya itu ada liat tuh dompet. Ternyata tidak. Saya tertawa setelah sedikit berbasa-basi standar, "Gitu ya, wah gimana nih?", lalu rebahan. Keluarlah kata-katanya sebagaimana tadi. Saya ingin menampakkan kepanikan saya, tapi saya tak pandai akting. Ya, sebab saya memang merasa santai saja.

Ada yang pernah bilang ke saya, kalau saya ini terlalu gampang menyederhanakan sesuatu. Semuanya, atau kalau tidak, kebanyakan selalu saya hadapi dengan kata-kata 'santai saja'. Memang ada akhirnya beberapa ketidakprofesionalan dalam menjalani suatu proses, setelah saya bersikap seperti itu. Mungkin karena santai yang bukan pada tempatnya. Heh.

Masalah akan meraksasa tatkala kita ciut sebelum melawannya. Jadi buat apa saya bikin setan girang dengan kegelisahan saya, ah ini baru masalah biasaaaa...! Masalah di depan masih banyak yang harus diselesaikan tauk! Bahkan mungkin lebih berat! Dan lebih urgen. Makanya saya berani mereduksikan nilai masalah baru ini.

Beberapa jam kemudian, sms masuk. Tertera di LCD, Abah.
"Dompet kamu diantar orang di rumah di Banjarmasin, abah antar ke Banjarbaru kah?"

AlhamduliLlah.. Dan saya tak perlu merepotkan orangtua karena keteledoran saya sendiri.. Lebih syukur lagi, karena sebelumnya, teman saya yang tadi, nraktir saya makan siang setelah sebelumnya nyeletuk, "Membari maras nyawa nih, unda bayari makan nah.." Haha, whatever you say lah, tengkyu brad!

Kamis, 21 April 2011

Budaya, Agama dan Islam

Di sebuah perkuliahan kami tersentak dengan pertanyaan yang diluncurkan dari mulut dosen baru kami yang tak lebih dari hitungan jam kami mengenalnya. 
“Apakah agama itu merupakan bagian dari budaya?” 
Ini berangkat dari pertanyaan beliau sebelumnya mengenai apa itu budaya lalu dijawab oleh kawan-kawan bahwa budaya itu, intinya, adalah hasil dari pemikiran manusia sebagai makhluk yang berotak. Maka kalau dihubungkan dengan ini, pertanyaan mengejutkan yang saya tulis di awal tadi bisa diartikan sebagai ‘apakah agama merupakan hasil pemikiran manusia?’ Dan di benak saya lebih jauh saya terjemahkan sebagai ‘apakah Tuhan itu hasil pemikiran manusia?’ Karena agama secara umum merupakan ajaran yang datang dari Tuhan melalui utusan.
Dan itu pula jawaban yang coba diajukan kawan-kawan saya. Mereka menolak agama hasil pemikiran manusia dan lebih senang menuturkan agama itu berasal dari Tuhan. 
“Apa buktinya?” Dosen kami memancing lagi. 
“Al-Qur’an buktinya, Pak”. 
“Lalu.. apa bukti al-Qur’an berasal dari Tuhan?”

Jumat, 08 April 2011

The Messenger

when you feel your alone, cut off from this cruel world.
your instincts telling you to run.

listen to your heart, those angel faces.
they'll see to you they'll be your guide back home where life leaves us blind.
love keeps us kind, it keeps us kind

when you've suffered enough, and your spirit is breaking.
your growing desperate from the fight.

remember your love, and you always will be.
this melody will always bring you right back home with life

leaves us blind, love keeps us kind
when life leaves us blind, love keeps us kind. 


---

Lagu ini pas untuk suasana hati saya saat ini.

Kamis, 10 Maret 2011

Pengabdian


Di dunia ini manusia hidup. Mereka berbuat dan bergerak berdasarkan dorongan yang berasal dari dalam atau luar diri mereka. Entah itu lembaran-lembaran rupiah, tempat tinggal yang megah, kendaraan pribadi yang mewah. Sanjungan, kedudukan yang terhormat di mata orang. Ataupun rasa kemanusiaan, ketulusan hati yang bisa berujung pada altruisme mendalam. Ada yang lain?

***
Dokter itu, mengajar dengan santai namun tegas, dengan kata-kata yang kadang ngawur dan serampangan. Bagiku gelar yang panjang di belakang nama seseorang bukan sebagai ukuran untuk kita menilai sehebat apa orang tersebut. Bukankah banyak orang bergelar professor tapi tak memiliki ilmu serta sikap sepantasnya professor? Bagiku ketika sebuah pesan disampaikan dan itu membawa kebenaran sekaligus nilai yang baik, tak peduli siapa yang menyampaikannya, pedulilah pada yang disampaikannya. Sebuah paradigma yang tertanam dari nasihat Ali ra. Dan terus terang aku tak mengenal sang dokter lebih jauh kecuali lewat introduksi yang ia selipkan di penghujung perkuliahan.

Rabu, 02 Februari 2011

Insiden Tunisia-Mesir: Gelombang Revolusi?

Revolusi telah menjadi tren akhir-akhir ini? Kebosanan rakyat terhadap rezim yang berkuasa di negerinya telah terakumulasi sedemikian rupa. Dan berbagai pergerakan massa yang diklaim sebagai revolusi, menjadi kulminasinya. Rakyat telah muak, merasa realita yang ada sangat jauh dari kondisi ideal yang mereka harapkan. Satu dua mungkin nantinya tiga atau bahkan lebih Negara di Afrika-Timur Tengah sepertinya telah dan bakalan tersapu gelombang revolusi ini.

Di Tunisia, Negara Afrika Utara yang miskin, seorang pemuda penjual sayur telah memicu riak-riak revolusi. Dia seorang sarjana yang karena tak kunjung mendapat pekerjaan, dengan jiwa besarnya tak rela menjadi pengangguran biasa lalu mulai mendorong gerobak sayur berusaha mendapati penghasilan yang mungkin tak seberapa. Namun zalimnya pemerintah di sana, sudah tak menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, melalui kakitangannya yaitu petugas keamanan, merazia pula dengan paksa gerobak sayur si pemuda dengan alasan tak berizin. Sebagai rakyat kecil ia tak kuasa melawan, pasrah lalu kecewa berat. Ia tulis surat kepada ibunya, sebelum menyulut api kepada tubuhnya sendiri, yang mungkin tanpa ia sadari kematiannya setelah itu akan memantik pula api perlawanan rakyat yang juga sudah muak menyaksikan tingkah pongah penguasa.

Rezim Ben Ali dikenal sebagai rezim diktator yang dibeking oleh Prancis dan Amerika. Kebijakan-kebijakan represif semacam pelarangan jilbab pernah diterapkan oleh rezim ini. Korupsi merajalela di kalangan pemerintahan sementara harga pangan terus meninggi dan angka pengangguran makin meningkat. Presiden Ben Ali yang tak tahan tekanan akhirnya meletakkan jabatannya lalu kabur ke Arab Saudi.

Senin, 03 Januari 2011

Memulai Tanpa Harus di Awal

Tatkala lembaran kalender tersisa satu lagi yang terakhir, dan bilangan tanggal telah berkepala tiga. Kebanyakan saat ini menyikapi dengan perayaan pergantian tahun, motivasinya untuk meninggalkan segala kegagalan beserta perih duka selama dua belas bulan ini dan menyongsong tiga ratus enam lima hari berikutnya dengan penuh harapan. Atau merayakan tanpa mau tahu tujuannya untuk apa, yang terpikir hanyalah kesenangan sementara. Yang penting malam ini enjoy!

Yah, kita tahu pasti Rasulullah tak pernah mengajarkan hal yang demikian. Bahkan perhitungan tahun hijriyah saja dilakukan pada masa Umar bin Khattab, dan para sahabat dalam sejarah juga tak menyambut dengan istimewa pergantian tahun baru.

"Haaaahhh???" Si Bejo yang sudah siap menyulut kembang api bengong. "Tapi bukankah dengan memperingati pergantian tahun ini kita semakin termotivasi untuk berubah ke arah lebih baik pada tahun berikutnya?" Bejo protes.

Oh no, tidak kawan. Tanpa merayakan tahun baru pun kita sudah punya konsep dalam Islam bagaimana kita harus selalu lebih baik dari waktu sebelumnya. Rasulullah mengajarkannya dengan luar biasa. Bahkan tidak dalam hitungan tahun. Namun, hari! Beliau gambarkan betapa beruntungnya orang yang hari ini keadaannya lebih baik dari hari kemaren. Dan, kita tahu bagaimana Allah bersumpah atas nama waktu untuk menerangkan bahwa manusia pasti selalu merugi. Kecuali jika waktu dimanfaatkannya untuk beriman, beramal shalih, serta saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.

Yap, konsep-konsep inilah yang harusnya kita jadikan bagian bekal mengarungi kehidupan fana ini supaya kita selalu and always be better than sebelumnya. Bukan konsep di luar dari konteks aqidah kita, yah budaya barat itu maksudnya. Coba sejenak kita berkontemplasi. Betapa waktu berlalu begitu cepat dan semuanya terasa singkat. Rasanya baru beberapa saat lalu kita menyoraki kemenangan Spanyol atas Belanda di Afrika Selatan. Rasanya baru beberapa saat lalu kita mengenakan seragam putih abu-abu dan bolos upacara hari Senin. Sekarang adik kita tinggi tubuhnya hampir menyamai kita, padahal sepertinya baru kemarin dia menangis keras karena kita praktekkan jurus mengunci yang kita lihat di WWF Smackdown pada dirinya (makanya hati-hati dipengaruhi televisi, berbahaya).

Dan tanpa sadar, ketika kita bersorak menyaksikan parade kembang api di malam tahun baru, atau tertawa bahagia tatkala sahabat-sahabat mengucapkan selamat ulang tahun, malaikat maut telah berancang menemui kita (tentunya bukan untuk sekedar say hello, kan). Pertambahan bilangan tahun pada kalender, maupun angka usia kita tak berarti selain ajal dunia ini dan kita (tentunya) semakin dekat. Pastinya kita ingin berakhir dalam keadaan terbaik, kan?

Dan Bejo makin tertunduk dalam. Suasana hening sesaat, dan sejurus kemudian.. Duaaarrrr!!! Bejo menggelepar sambil berteriak kesakitan! Kembang api di tangan Bejo yang sudah tersulut sedari tadi ternyata meletus ke arah dirinya sendiri.. (Adegan berbahaya, kalo gak percaya silakan coba sendiri)

Perlindungan

Seperti menutupkan jas hujan pada sepeda motor, untuk melindunginya dari panas ataupun hujan. Jas hujan yang biasa ukurannya tidak sebesar ukuran motor, tentu takkan mampu menutup seluruh bagian sepeda motor itu. Ketika kita selubungkan tepat di tengah, bagian samping motor tersingkap. Rasa cemas muncul, bagaimana kalau hujan datang, tentu knalpot yang letaknya di samping kanan kehujanan dan kemasukkan air. Maka kita tarik jas hujan lebih ke sisi kanan untuk menutupi knalpot. Namun kita lihat mesin sisi kiri terbuka berikut gear dan rantainya. Bukankah jika kena hujan dan panas ia akan cepat karatan? Dan sekarang kita bingung lalu sadar, jas hujan tak cukup besar untuk melindungi motor ini secara keseluruhan dari cuaca yang berubah-ubah. Maka kita akan mencari perlindungan lain, yang lebih menjanjikan keamanan. Masukkan saja ke dalam garasi!

Mungkin begitu juga manusia. Sejatinya kita selalu menginginkan diri kita aman dan senantiasa terjaga dari segala hal yang mengganggu. Bukankah rasa aman yang membuahkan rasa tentram di hati, dan berbagai gangguan menghasilkan rasa gelisah? Kita akan tenang saat yakin diri kita mendapat perlindungan. Terkadang kita ingin berlindung kepada sesama manusia (atau makhluk lain, hehe) yang kita anggap lebih kuat dan mampu menjaga kita. Namun tetap saja perasaan takut tetap ada. Bagaimana jika pelindung kita ini melemah? Bagaimana kalau suatu ketika ada gangguan yang sangat besar ataupun musuh yang lebih kuat datang dan si pelindung ini tak mampu mengatasinya? Atau mungkin dalam kesempatan lain ia lengah? Atau bahkan pergi meninggalkan kita? Pertanyaan yang berkecamuk ini tentu akan membuat kita gelisah.

Maka dari itu, carilah pelindung yang lebih kuat, bahkan yang paling kuat! Yang Maha Perkasa, yang mustahil Dia lemah. Yang Maha Kuasa, segalanya di alam semesta ini, hewan buas, jin, manusia, planet yang berotasi dan berevolusi dengan teraturnya, tunduk dan takut dihadapan-Nya. Yang Maha Mengawasi, tak selembar pun daun gugur tanpa sepengetahuan-Nya. Ia selalu dekat dan ada, bahkan jaraknya lebih dekat dari urat nadi di lehermu. Hasbunallah wa ni'mal wakiil, ni'mal maula wa ni'man nashiir. Laa hawla walaa quwwata illaa biLlah.

White

Pernahkah kamu lihat dan amati fotomu pada masa kecil dulu, waktu masih seimut-imutnya? Ketika wajah kita masih bersih berseri. Dalam artian sebenarnya tentu saja. Ya iyalah, mungkin belum ada kerumunan jerawat di sana yang bikin wajah kita tak rata, hehe. Tapi bukan hanya dalam hal itu, melainkan juga dalam artian konotatif. Mungkin hanya perasaan saya, tapi saya baru sadar bahwa saya pernah memiliki wajah sepolos itu (memang tampang saya sekarang kayak apa?). Wajah yang masih memancarkan kekhasan anak-anak. Ada yang bilang wajah tanpa dosa. Jika tersenyum atau tertawa nampak sekali itu tulus dari dalam hati, bukan dibuat-buat. Membuat orang disekitarnya merasakan kegembiraan pula. Ingatkah saat kamu tertawa tanpa sebab jelas pada umur hitungan bulan, ibu bapakmu yang mengawasimu turut nyengir juga sambil bergumam, "Kenapa sih anak ini? Lucu sekali.."

Pada masa itu, kita memang hanya seperti kertas putih polos nan lembut. Indahnya warna kita pada awalnya adalah bentukan dari kedua orang tua kita (semoga Allah membalas kebaikan mereka). Beberapa tahun pertama, kita ingat bagaimana kita patuh terhadap segala arahan orangtua kita tanpa pernah banyak tanya. Dengan asumsi waktu itu 'pokoknya ikuti aja, apa kata bapak atau mama, itu pasti benar'.
Masihkah kamu ingat ketika pertama kali mereka memperkenalkan kita kepada Allah, dengan mengajak kita mengikuti gerakan shalat mereka? Atau ketika beliau menceritakan tentang kengerian siksa neraka yang membuat kita bergidik, lalu bertekad sebisa mungkin menghindarinya. Begitu juga pemaparan beliau tentang surga, dideskripsikan dengan bahasa sederhana yang menggugah, membuat kita berucap dengan penuh semangat, "wah, kalo gitu saya mau masuk ke sana!".

Hehe, benar-benar masa yang sangat indah ya? Masa yang di sana, salahnya tindakan kita dianggap lumrah. "Ah, itu karena dia masih kecil, belum tahu apa-apa." Lalu kita diberi pengajaran yang baik setelahnya. Kemudian, di saat kita melakukan kebaikan kecil saja seperti mematikan keran air yang terbuka sedari tadi atau bahkan hanya mengenakan baju sendiri, akan dibalas dengan ucapan "Wah sudah pintar si kecil ini rupanya."

Beranjaklah kita menuju dewasa, suatu takdir yang sebenarnya sangat indah dari Sang Rabb Maha Kuasa. Seharusnya akal kita yang makin sempurna ini turut menyempurnakan pula keindahan warna dasar yang dilukiskan orang tua kita sebelumnya. Akal akan membawa kita semakin mengenal tanda-tanda kebesaran-Nya, semakin tunduk pada-Nya, mengetahui tentang pahala dan dosa, benar dan salah beserta ganjarannya.

Sayangnya, seringkali akal malah berbalik dibutakan oleh hawa nafsu. Sehingga kita menjadi sombong. Kertas lembut berlukis warna dasar yang indah tadi terkotori dan menjadi kasar. Surga dan neraka dianggap seakan hanyalah dongeng yang diceritakan orang tua sebelum tidur, atau untuk menakut-nakuti supaya kita patuh dengan orang tua. Prasangka buruk yang salah, bahkan terhadap saudara sendiri, selalu menghantui pikiran. Seakan lupa dulu orang tua mengajarkan untuk tidak berbohong karena sekarang seringkali tidak jujur dalam ujian. Shalat lima waktu terabaikan. Diajak kepada kebaikan berpikir banyak dulu, anehnya melakukan maksiat tanpa pikir panjang sebelumnya. Nah, yang manakah kita?

Harus diakui, saya merindukan masa sewaktu saya masih kecil itu. Bukan karena pemanjaannya. Namun kepolosan saya waktu itu. Tatkala saya belum mengenal yang namanya hawa nafsu jahat dan kesombongan diri.

Namun, setelah dipikir lagi, bukankah kedewasaan juga merupakan proses yang luar biasa? Pada masa inilah seharusnya kita tahu arti keberadaan kita di dunia. Tak seperti anak-anak yang tak tahu nilai dari perbuatan yang dilakukan, sehingga juga tak merasa puas ketika selesai melakukan kebenaran, kecuali jika dipuji atau dikasih imbalan langsung. Sekarang ketika kita tahu suatu kebenaran dan melaksanakannya kita akan langsung merasa puas, tanpa melihat ada yang memuji atau bahkan mencaci. Karena kepuasan kita disebabkan oleh tahunya kita akan balasan kelak yang setimpal bahkan berkali lipat. Benar seperti itu?

.