Pages

Jumat, 05 Desember 2014

Mengarahkan Kebencian

Segala sesuatu diciptakan berpasangan, atau berlawanan. Ada rasa cinta, ada benci. Adalah naif tatkala kita mengakui eksistensi cinta, lalu menghiraukan perasaan benci. Sebab konsekuensi mencintai sesuatu sepertinya membenci apa2 yang merusak, mencelakai, bertentangan dgn apa yg kita cintai.

Jika kita mencintai kebenaran, konsekuensinya kita akan membenci kesalahan yang nyata. Namun apakah layak kita membenci sesama manusia yg telah melakukan kesalahan, sementara manusia merupakan tempatnya salah & khilaf?

Ada yg bilang saat kita menyaksikan seseorang melakukan kesalahan maka bencilah perbuatannya, bukan orangnya. Ya, dengan paradigma itu sebenarnya kita tengah mengarahkan kebencian kita dengan tepat. Kita akan mengingatkan orang yg kita cintai -atas dasar kesamaan akidah Islam- agar ia meninggalkan kesalahan yg kita benci.

Namun ada kriteria2 yg mengharuskan kita membenci seseorang, sebagaimana yg Nabi saw sampaikan: 'sesungguhnya orang yg paling dibenci Allah adalah org yg suka menentang (mendebat) perintah Allah' (HR Muttafaq'alaih). Juga, 'sesungguhnya Allah sangat membenci orang yg berbicara dgn hal2 yg tidak menyenangkan pendengarnya dan berbuat keji' (HR at Tirmidzi). Umar bin al Khathab pernah berkhutbah dan berkata: 'barangsiapa di antara kalian menampakkan suatu keburukan, maka kami pun akan mengiranya berperilaku buruk, dan kami akan membencinya karena kejahatan itu.'

Rasulullah saw benar2 teladan yg luar biasa, yg mengajarkan kepada kita bagaimana menyikapi kebencian. Rasul saw pernah berkata kepada Yahudi Khaibar, 'wahai kaum Yahudi! Kalian adalah makhluk Allah yg paling aku benci. Kalian telah membunuh para Nabi dan telah mendustakan Allah. Tapi kebencianku kepada kalian tidak akan mendorongku utk berlaku sewenang-wenang kepada kalian' (HR Ahmad). Begitulah, kebencian harusnya tdk menghalangi kita dari bersikap adil kepada siapapun. Dan adil adalah menempatkan segala sesuatu sesuai timbangan syariah Islam.

Kita juga ingat cerita mengenai jiwa besar Ali ra dalam sebuah perang. Saat itu ia berhasil memojokkan seorang musuh. Ali pun sudah menghunus pedangnya utk mengantarkan nyawa musuhnya itu namun apa yg terjadi? Sang musuh yg sebentar lagi sepertinya akan menghadap maut itu sontak meludahi Ali, dan yg dilakukan Ali pun juga di luar perkiraan. Sepupu rasulullah saw itu terhenyak, menyarungkan pedangnya lalu malah berbalik meninggalkan musuh yg sudah tdk berdaya. Alasannya membatalkan memenggal musuhnya adalah, ia tak ingin niatnya berjihad terkotori oleh kebencian pribadi.

Dan jika ada yg menuding bahwa Islam agama yg mengajarkan kebencian, saya akan mengatakan "ya! Islam telah mengajarkan kepada sy utk membenci pengingkaran terhadap keberadaan & ke-Mahakuasaan Allah.. Islam mengajarkan utk membenci penyembahan manusia kepada sesama manusia, mengajarkan utk membenci kesemena-menaan penguasa trhdp rakyat yg harusnya jd tanggungannya, mengajarkan utk membenci kezaliman, penindasan, keserakahan, dan pelbagai kondisi & sifat yg menafikan aspek manusiawi manusia..! Islam inilah yg membuat sy bangga menjadi pemeluknya, dan sy bangga menjadi fanatik terhadapnya..!"

Selasa, 25 November 2014

Kesendirian yang Diperlukan

Ada waktu untuk sendiri
Tapi tidak lama
Di luar lingkaran hiruk pikuk kota
Menuju guratan lain yang hijau dan penuh estetika
Yang dihiasi orkestra para penghuninya

Ada waktu untuk sendiri
Tapi tidak lama
Kala partikel2 air mulai menyusun embun
Saat hitam bertambah gelap utk kemudian terang
Ketika ayam jantan mulai berdehem menyiapkan kokoknya

Ada waktu utk sendiri
Tapi tidak lama
Dan sungguh sebenarnya tdk ada kesendirian
Selain ada Dia yang selalu memperhatikan

Ada waktu untuk sendiri
Tapi tak lama
Karena ketenangan diperlukan
Dan keheningan dapat menentramkan
Serta pinta butuh khusyu utk dihaturkan

Ada waktu untuk sendiri
Tapi tidak lama
Sebab barisan yg kokoh lebih disukai
Utk menggenggam kemenangan

Sabtu, 22 November 2014

Agama Adalah Candu

Ketika dalil-dalil agama menjadi legitimasi untuk membenarkan kelemahan pemeluknya, sehingga mereka merasa senang untuk tetap diam meski kezaliman melanda mereka, maka tak ada yang salah dengan pernyataan 'agama adalah candu'.Ya, candu. Terasa menyenangkan dan menentramkan padahal sesungguhnya merusak.

Apakah Islam seperti itu? Sepertinya akan menjadi iya, jika kita menerapkannya hanya secara parsial. Seperti, ketika harga BBM dinaikkan pemerintah muncul alasan, "rezeki dari Allah", "ini sudah takdir", "sabar disayang tuhan".

Atau malah mengokohkan kezaliman penguasa, mencari pembenaran atas diamnya diri, dan mencela mereka yang bergerak (menyadarkan bahwa ada hal yang salah & melakukan perubahan). Munculah pembenaran dengan ayat2 suci hingga hadist nabi: "taatilah ulil amri", "dilarang suudzon terhadap penguasa", "haram memberontak", dsb.

Sayang sekali, saya berharap mereka yang menyuarakan itu tidak bermaksud mengebiri ajaran Islam tentang kewajiban mengingatkan penguasa ketika mereka salah. Saya juga berharap mereka tidak sedang melegitimasi kemalasan mereka untuk bergerak mencegah kemungkaran. Dan saya tentu sangat berharap, mereka tidak sedang berusaha (seperti yg sy tulis sebelumnya) untuk mengokohkan penguasa serta sistem yg zalim ini.

Sy memang masih belajar, berusaha dengan keras di tengah compang-campingnya amal2 sy, untuk memahami Islam. Tapi sungguh dalam lubuk hati yang terdalam sy tidak rela jika Islam yg mulia ini, yg seharusnya menjadi sumber kekuatan kita, malah direduksi ajarannya hingga menjadi seperti candu. Bukankah candu itu adalah bentuk pelarian dari kelemahan & ketidakpercayaan diri, yg membuat pemakainya merasa lebih tenang?

“Pemimpin para syuhada di sisi Allah, kelak di hari Kiamat adalah Hamzah bin ‘Abdul Muthalib, dan seorang laki-laki yang berdiri di depan penguasa dzalim atau fasiq, kemudian ia memerintah dan melarangnya, lalu penguasa itu membunuhnya”. [HR. Imam Al Hakim dan Thabaraniy]

Rabu, 15 Oktober 2014

Biarkan Hingga Saatnya Tiba



Biarkan jarak ini tetap ada
Bukan karena aku membencimu
Dan tak ingin berada di sampingmu
Untuk dapat menjagamu
Namun dengan jarak inilah
Aku ingin menjagamu

Biarkan aku tak mau menatapmu
Dan hanya menunduk saat bertemu
Bukan karena aku merendahkanmu
Dan tidak mengagumimu
Aku mencintaimu, tak kupungkiri hal itu
Namun dengan menundukkan pandanganku
Itulah caraku menghormatimu

Biarkan aku tak bicara banyak padamu
Hanya sekadarnya saja saat aku perlu
Bukan berarti aku bosan, tak pedulikan kamu
Namun dengan banyak berdiam
Dan meski rindu ini akan selalu terpendam
Dengan begitu perasaan ini akan tetap suci
Takkan pernah terkotori

Hingga saatnya tiba
Apakah aku masih memiliki peluang
Untuk menjemputmu, bidadariku
Pada saat itulah
Aku akan selalu di sampingmu
Agar dapat menemanimu, melindungimu
Hingga mati memisahkan
Pada saat itulah
Aku akan selalu mengawasimu
Dan kau juga, kuharap kita saling mengingatkan
Dan pada saat itu
Segala ungkapan cintaku padamu
Akan dapat kusampaikan dengan gamblang

Rabu, 05 Februari 2014

Tragedi Sosial dan Indahnya Hukum Islam


Di India beberapa waktu lalu terjadi demonstrasi besar-besaran menentang maraknya pemerkosaan. Angka pemerkosaan sangat tinggi, bahkan saking kesalnya massa yang berunjuk rasa membawa poster yang menggambarkan mengerikannya pemerkosaan yang terjadi di negeri Shakhruk Khan itu, yang berbunyi “This is not Republic, This is Rape Public.”

Tahun lalu kita juga menyaksikkan bersama di media massa, seorang anak kecil kelas 5 SD menderita sakit, diopname akibat pemerkosaan hingga kemudian meninggal. Dalam benak kita mesti terngiang kata, “bejat!” Dan setelah diselidiki, tahulah kita siapa pelakunya, yang tak lain adalah ayah kandungnya sendiri!

Di sisi lain pergaulan bebas merajalela. Angka seks bebas, hamil di luar nikah, penyakit menular seksual dan akibat lainnya meningkat. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2009 pernah merilis perilaku seks bebas remaja dari penelitian di empat kota yakni Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya hasil yang didapat sebanyak 35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Bahkan, 6,9 persen responden telah melakukan hubungan seksual pranikah. Survei terbaru Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menyebutkan 63 persen remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah.

Sebentar lagi akan tiba hari yang biasa disebut hari kasih sayang, hari valentine. Budaya Barat ini asal-usulnya beragam versi, namun sampai pada satu titik temu, ini bukan ajaran Islam. Peringatan hari ini juga sarat kepentingan kapitalis dalam memasarkan produk mereka, mulai dari coklat, pernak-pernik dan lainnya. Tanpa mengindahkan aturan Islam, yang melarang perayaan budaya sarat akan tradisi kaum pagan ini, kapitalis berlomba memasang iklan, “beli produk kami special valentine”, “valentine lebih asyik dengan produk kami” dan semacamnya.

Menetapi


Matahari baru beranjak dari timur. Hitam berangsur menjadi biru kelabu untuk kemudian putih. Ia menyusuri jalan. Menyeksama keadaan. Bunga-bunga dicerabut dengan paksaan. Kelopaknya berhamburan. Bukit-bukit berlubang. Hijau dulu tinggi menjulang. Sekarang hilang ditebang secara serampangan. Anak-anak menjadi pengamen jalanan. Yang lain kelaparan. Jutaan terbunuh tertembus timah tajam. Pertarungan tak seimbang. Berdalih dengan berbagai alasan. Selalu ada meski tak logis untuk dipikirkan.

Ia tak peduli. Terus menyusuri jalan. Pemandangan kembali berulang. Semakin menjadi-jadi tanpa kompromi. Bergulir melindas siapa saja yang tak mampu bertahan. Ini hukum rimba. Tapi ini manusia. Inikah kehidupan? Dimana Tuhan?

Ia ditarik ke dalam sebuah ruang diskusi. Berbagai logika keapatisan dilucuti. Badai terjadi di otak. Ini bukan doktrin yang memaksanya untuk memberontak. Tersenyum. Inilah jawaban.Tak terbatas pada segelintir kalangan. Kesadaran. Perubahan hakiki. Revolusi.

Ia merasa baru kali ini bebas. Semua belenggu telah terlepas. Termasuk jerat-jerat rutinitas. Tak peduli dalam genggaman terasa panas. Bahkan berimplikasi keringat dan nanti darah, mengucur deras. Namun kali ini bebas. Dan ingin menjadi pembebas.

Matahari kembali pulang ke barat. Seakan tak bertanggung jawab menjadikan langit jingga untuk kemudian hitam. Segelas kopi dihidangkan. Menemani untuk kembali menyeksama keadaan. Malam itu menyiksa. Ia berpikir apa yang diusahakannya selama ini sia-sia. Semua tak sesuai dengan bayangan idealnya. Tak ada yang peduli dengan itu. Pun gerombolan yang tumpah ruah di jalan, berseliweran meramaikan malam. Menyaksikan mereka ia menjadi kasihan.

Sebentuk makhluk bernama sahabat mengingatkannya. Untuk tahu ia melakukan sesuatu sejatinya demi apa. Di titik itu ia kembali menemukan ketenangan. Bahwa ia harus terus tersenyum dan melawan. Bahwa akhir itu kelak akan lebih baik dibanding awal, jika manusia mengetahui.

Selasa, 14 Januari 2014

Kerinduan

Ada banyak hal yang dirindukan dalam kehidupan. Saya rindu tempat, yakni 2 kota besar Makkah dan Madinah. Saya merindukannya, ketika mengelilingi Ka'bah, bergerombol bersama jumlah besar manusia yang bertawaf dari berbagai ras dan bangsa, yang berkulit merah hingga hitam. Saya merindukan, ketika berkunjung ke Masjid nabawi, mengenang dengan lebih syahdu beliau saw. Yang mengajarkan banyak hal tanpa harus sosoknya membersamai. Yang dulu dikatai sahirun aw majnun -penyihir bahkan gila- tatkala mengemban al haqq, yang mencintai umatnya hingga selepas hayat. Ya Allah sempatkanlah dalam kala sisa hembusan nafas untuk mampu ke sana.

Saya rindu waktu, di saat aturan Allah Swt diberlakukan seutuhnya dalam menata kehidupan. Saya merindukannya, tatkala diturunkan berkah dari pintu langit dan bumi yang dibuka oleh-Nya. Saya rindu itu, kala umat ini menjadi mercusuar dunia, mencapai keemasan peradaban. Saya merindukannya, nuansa persaudaraan tanpa syak wasangka, dipondasikan oleh aqidah dalam suasana ketaatan. Ketika hidup murni hanya untuk ibadah tak hanya sekedar wacana namun paradigma dalam segala kesempatan. Ketika ketaatan dikondisikan sehingga keshalihan menjadi mainstream tanpa tentangan.

Lalu ya Allah, Engkau yang telah menjadikan segala yang dirindui itu, bahkan yang menjadikan rasa rindu itu sendiri. Bagaimana lagi harus menggambarkan rindu padaMu dalam untaian kata-kata yang serba terbatas?

Kebanggaan

Saya terlalu bangga dengan Islam. Bukan cuma karena Islam memiliki banyak pahlawan yang mengagumkan, manusia-manusia dengan keteladanan begitu agung, dan peradaban-peradaban yang menyejarah. Tapi karena Islam memiliki jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar nan penting. Jawaban yang memuaskan akal, menentramkan perasaan (an nabhani menambahkan, sesuai dengan fitrah manusia).

Dalam diskusi santai dengan beberapa orang yang saya anggap adik, kami menyimpulkan bahwa proses berpikir memainkan peranan penting agar seseorang dapat tercerahkan dengan Islam (tentu naif jika kami menafikan kemurahan Allah yang Maha Pemurah). Seorang di antara mereka ternyata mengalami pengembaraan pemikiran yang belum pernah saya lakukan, menurut saya jika itu benar maka cukup menakjubkan untuk seusianya.
 

Menyaksikkan berbagai fakta di sekitarnya, ia berpikir bahwa ada yang mulai tidak beres dengan dunia ini. Ia mencari jawaban, pertama kali ia lahap buku yang membahas nazi & pemikiran Hitler yang menurutnya menarik. Ada titik dimana ia tidak puas, maka ia kembali mengembara hingga sampai pada sosialisme, dan kemudian di penghujung sekolah menengah ia terperangah dengan konsep neoliberalisme. Saat ini ia mengakui, dalam pandangan saya ia mengakui dengan tulus bahwa jawaban dari Islam adalah yang paling menentramkannya.

Lain kisah, semoga benar apa yang disampaikan sahabat saya ini, mengenai perubahan seseorang yang pernah saya berinteraksi dengannya. Waktu itu di sebuah forum ia mengajak kami berpikir apakah agama bagian dari budaya atau tidak. Sosok yang saya hormati, yang sempat mengaku sering dijuluki neomarxist itu menghentikan suara saya saat berusaha menerangkan bukti bahwa Qur'an berasal dari Allah secara logis. 2-3 tahun berselang, bapak itu mengakui bahwa Islam adalah jawaban paling tepat atas segala permasalahan, jauh di atas berbagai ideologi maupun konsep lain. Beliau sering tersentuh akhir-akhir ini dalam merenungi ayat-ayat Qur'an, mencintainya, mengaku belajar mengaji & selalu membawa-bawa buku ajar tajwid.

Saya memang bukan seperti orang-orang hebat ini. Tapi saya tetap bersyukur menemukan Islam lebih dulu sebelum tamasya pikiran menyinggahi berbagai konsep bisa jadi akan membuat saya tercantol lebih dulu di dalamnya. Kebanggaan saya terhadap Islam, setelah mengenal berbagai konsep lain, bukannya berkurang namun semakin bertambah. Meski saya bukan kutu buku yang senang menggerogoti buku-buku induk sosialisme & kapitalisme, sehingga belum bisa dibilang saya memahami keduanya secara menyeluruh, tapi entah kenapa saya yakin, bilapun saya memahaminya, tetap saja kebanggaan ini takkan pudar.
 

Tapi tentu Islam bukan sekedar untuk dibangga-banggakan seperti halnya barang mewah yang jika dipamer-pamerkan membuat pemiliknya merasa hebat. Islam harus diterapkan, untuk diri sendiri, orang lain & masyarakat. Jika tidak kebanggaan hanyalah omong kosong. Saat ini, saya memang sangat bangga dengan Islam. Namun bagi sesiapa yang belum merasakan kebanggaan ini, janganlah menghakimi Islam dengan melihat banyaknya ketidaksempurnaan pada diri pemeluknya termasuk saya. Karena kebenaran suatu ajaran dilihat dari apa yang diajarkannya bukan dari siapa yang memeluknya.

Minggu, 12 Januari 2014

Takdir & Doa

Seorang anak laki-laki berusia 14 tahun dirawat di rumah sakit, bangsal anak, dengan diagnosis malaria serebral disertai black water fever. Pasien ini datang dengan kesadaran yang sudah menurun setelah kejang di rumah, tubuhnya berwarna pucat kekuningan akibat hancurnya secara masif sel darah merah yang dihinggapi si parasit malaria, yang itu juga menyebabkan kencingnya kecokelatan karena sisa-sisa penghancuran sel darah tersebut dikeluarkan lewat urine.

Secara teoritis dengan berbagai indikator yakni hasil lab & keterlibatan organ vital, diperkirakan prognosisnya buruk. Beberapa konsulen juga berpendapat demikian mengacu dari pengalaman. Malam dimana kami menerima pasien itu di bangsal, kami meminta doa kepada teman-teman sejawat melalui grup jejaring agar Allah berkenan menyembuhkan. Dokter spesialis mengarahkan untuk memberi terapi sesuai protap.

AlhamduliLlah terjadi perbaikan signifikan dan sekitar 1 minggu lebih pasien diperbolehkan pulang. Yang bisa diambil dari pengalaman ini?


Mutlak hanya Allah yang menyembuhkan. Dokter berusaha sesuai kaidah kausalitas, dengan keilmuannya menggunakan segala bahan yang telah ditakdirkan Allah memiliki manfaat khusus, sebagaimana api berkhasiat membakar maka artemisinin (dan golongannya dalam hal ini artemeter) berkhasiat membunuh parasit malaria.

Lalu seperti makna dari sebuah hadist (yang karena keterbatasan ilmu saya lupa lebih spesifik teks lengkap beserta perawinya), muslim yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan saudaranya itu, doanya akan memiliki peluang jauh lebih besar untuk dikabulkan.

Dan terus berusaha saat kemampuan masih mumpuni selalu diperlukan. Karena menyerah seakan-akan bisa mendahului takdir itu tidak sopan. 

Konsekuensi

mengetahui kekurangan sendiri adalah satu langkah lebih maju utk menuju perbaikan diri

tahu bahwa diri lemah. malas. cengeng. pelupa. egois. bodoh. dan sebagainya.

namun apakah cukup membiarkan diri kita tahu saja tentang kekurangan itu? dan menjadi legitimasi/pembenaran untuk menolak suatu tanggungjawab?

padahal kita bagaimanapun kelak akan diberikan tanggungjawab tersebut, sesuai pilihan jalan hidup yang kita ambil ini.

bukankah ada kesempatan untuk kita mengubah diri kita? kita tidak bisa terus menerus menjadi cengeng, lemah, malas, bodoh, egois, sementara pilihan jalan hidup kita menuntut untuk menyingkirkan, minimal meminimalisir hal-hal tersebut. kita berusaha semaksimal mungkin sembari memelas kepada Allah agar memudahkan usaha kita dan mengampuni kita.

setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. namun jika kita memilih untuk mengemban tanggungjawab yg besar, cita-cita yang memerlukan pengorbanan, konsekuensinya kita harus siap. ya harus siap.

Persiapan

Di sebuah jalan yang siang itu aspalnya digilas oleh motor saya, terdapat satu kerumunan di pinggiran jalan. Tertera papan pengumuman undangan resepsi pernikahan. Dimulailah hidup baru bagi kedua pasangan.

Sementara tak jauh kemudian. Bendera hijau berkibar terpasang di depan gang. Satu papan kecil di mana satu nama terpampang. Berakhirlah kehidupan, penanda dimulai pula kehidupan baru bagi yang berpulang.

Pertanyaannya bukan (cuma) kapan tapi apa yang sudah dipersiapkan.

The War

Kata adalah senjata. Maka suara adalah badik, megaphone menjadi meriam dan mimbar bebas itu pentas seni yang radikal. Pena bisa jadi pedang, media massa mungkin setara C4 dan buku-buku itu gudang mesiu rintisan peradaban. Pemikiran adalah jenderal yang menggerakan kesemuanya. Manusia boleh mati, tapi lantangnya orasi dan hangatnya diskusi akan terus terngiang terpatri dalam pikiran dan hati. Jasad boleh terkubur di perut bumi namun karya akan membuat batas usia terlampaui. 

Perang pemikiran adalah medannya. Menghadiri halqah dan majlis-majlis ilmu itu upaya mengokang pelurunya. Musuh ganas menghadang, mata liarnya mengintai, bibir berdesis menyeringai dan pilihannya kita membunuh atau terbunuh. Dan sosialisme telah menyatu dengan tanah dan kapitalisme sudah terluka parah. Dan Allah SWT akan menolong mereka yang menolong diinNya. Dan Allah SWT akan menyempurnakan cahayaNya meski orang-orang musyrik tak menyukai.

Kebaikan sekecil apapun akan dibalas, pun keburukan. Maka WS Rendra menyahut bahwa perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Dan Allah SWT memurkai perkataan yang tak sejalan dengan tindakan. Dan Allah SWT Maha Benar yang kekuasaanNya meliputi segala sesuatu.

(Mencoba menulis di blog kembali, sedikit-sedikit boleh kan daripada nggak sama sekali :D)

.