Pages

Senin, 03 Januari 2011

Memulai Tanpa Harus di Awal

Tatkala lembaran kalender tersisa satu lagi yang terakhir, dan bilangan tanggal telah berkepala tiga. Kebanyakan saat ini menyikapi dengan perayaan pergantian tahun, motivasinya untuk meninggalkan segala kegagalan beserta perih duka selama dua belas bulan ini dan menyongsong tiga ratus enam lima hari berikutnya dengan penuh harapan. Atau merayakan tanpa mau tahu tujuannya untuk apa, yang terpikir hanyalah kesenangan sementara. Yang penting malam ini enjoy!

Yah, kita tahu pasti Rasulullah tak pernah mengajarkan hal yang demikian. Bahkan perhitungan tahun hijriyah saja dilakukan pada masa Umar bin Khattab, dan para sahabat dalam sejarah juga tak menyambut dengan istimewa pergantian tahun baru.

"Haaaahhh???" Si Bejo yang sudah siap menyulut kembang api bengong. "Tapi bukankah dengan memperingati pergantian tahun ini kita semakin termotivasi untuk berubah ke arah lebih baik pada tahun berikutnya?" Bejo protes.

Oh no, tidak kawan. Tanpa merayakan tahun baru pun kita sudah punya konsep dalam Islam bagaimana kita harus selalu lebih baik dari waktu sebelumnya. Rasulullah mengajarkannya dengan luar biasa. Bahkan tidak dalam hitungan tahun. Namun, hari! Beliau gambarkan betapa beruntungnya orang yang hari ini keadaannya lebih baik dari hari kemaren. Dan, kita tahu bagaimana Allah bersumpah atas nama waktu untuk menerangkan bahwa manusia pasti selalu merugi. Kecuali jika waktu dimanfaatkannya untuk beriman, beramal shalih, serta saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.

Yap, konsep-konsep inilah yang harusnya kita jadikan bagian bekal mengarungi kehidupan fana ini supaya kita selalu and always be better than sebelumnya. Bukan konsep di luar dari konteks aqidah kita, yah budaya barat itu maksudnya. Coba sejenak kita berkontemplasi. Betapa waktu berlalu begitu cepat dan semuanya terasa singkat. Rasanya baru beberapa saat lalu kita menyoraki kemenangan Spanyol atas Belanda di Afrika Selatan. Rasanya baru beberapa saat lalu kita mengenakan seragam putih abu-abu dan bolos upacara hari Senin. Sekarang adik kita tinggi tubuhnya hampir menyamai kita, padahal sepertinya baru kemarin dia menangis keras karena kita praktekkan jurus mengunci yang kita lihat di WWF Smackdown pada dirinya (makanya hati-hati dipengaruhi televisi, berbahaya).

Dan tanpa sadar, ketika kita bersorak menyaksikan parade kembang api di malam tahun baru, atau tertawa bahagia tatkala sahabat-sahabat mengucapkan selamat ulang tahun, malaikat maut telah berancang menemui kita (tentunya bukan untuk sekedar say hello, kan). Pertambahan bilangan tahun pada kalender, maupun angka usia kita tak berarti selain ajal dunia ini dan kita (tentunya) semakin dekat. Pastinya kita ingin berakhir dalam keadaan terbaik, kan?

Dan Bejo makin tertunduk dalam. Suasana hening sesaat, dan sejurus kemudian.. Duaaarrrr!!! Bejo menggelepar sambil berteriak kesakitan! Kembang api di tangan Bejo yang sudah tersulut sedari tadi ternyata meletus ke arah dirinya sendiri.. (Adegan berbahaya, kalo gak percaya silakan coba sendiri)

Perlindungan

Seperti menutupkan jas hujan pada sepeda motor, untuk melindunginya dari panas ataupun hujan. Jas hujan yang biasa ukurannya tidak sebesar ukuran motor, tentu takkan mampu menutup seluruh bagian sepeda motor itu. Ketika kita selubungkan tepat di tengah, bagian samping motor tersingkap. Rasa cemas muncul, bagaimana kalau hujan datang, tentu knalpot yang letaknya di samping kanan kehujanan dan kemasukkan air. Maka kita tarik jas hujan lebih ke sisi kanan untuk menutupi knalpot. Namun kita lihat mesin sisi kiri terbuka berikut gear dan rantainya. Bukankah jika kena hujan dan panas ia akan cepat karatan? Dan sekarang kita bingung lalu sadar, jas hujan tak cukup besar untuk melindungi motor ini secara keseluruhan dari cuaca yang berubah-ubah. Maka kita akan mencari perlindungan lain, yang lebih menjanjikan keamanan. Masukkan saja ke dalam garasi!

Mungkin begitu juga manusia. Sejatinya kita selalu menginginkan diri kita aman dan senantiasa terjaga dari segala hal yang mengganggu. Bukankah rasa aman yang membuahkan rasa tentram di hati, dan berbagai gangguan menghasilkan rasa gelisah? Kita akan tenang saat yakin diri kita mendapat perlindungan. Terkadang kita ingin berlindung kepada sesama manusia (atau makhluk lain, hehe) yang kita anggap lebih kuat dan mampu menjaga kita. Namun tetap saja perasaan takut tetap ada. Bagaimana jika pelindung kita ini melemah? Bagaimana kalau suatu ketika ada gangguan yang sangat besar ataupun musuh yang lebih kuat datang dan si pelindung ini tak mampu mengatasinya? Atau mungkin dalam kesempatan lain ia lengah? Atau bahkan pergi meninggalkan kita? Pertanyaan yang berkecamuk ini tentu akan membuat kita gelisah.

Maka dari itu, carilah pelindung yang lebih kuat, bahkan yang paling kuat! Yang Maha Perkasa, yang mustahil Dia lemah. Yang Maha Kuasa, segalanya di alam semesta ini, hewan buas, jin, manusia, planet yang berotasi dan berevolusi dengan teraturnya, tunduk dan takut dihadapan-Nya. Yang Maha Mengawasi, tak selembar pun daun gugur tanpa sepengetahuan-Nya. Ia selalu dekat dan ada, bahkan jaraknya lebih dekat dari urat nadi di lehermu. Hasbunallah wa ni'mal wakiil, ni'mal maula wa ni'man nashiir. Laa hawla walaa quwwata illaa biLlah.

White

Pernahkah kamu lihat dan amati fotomu pada masa kecil dulu, waktu masih seimut-imutnya? Ketika wajah kita masih bersih berseri. Dalam artian sebenarnya tentu saja. Ya iyalah, mungkin belum ada kerumunan jerawat di sana yang bikin wajah kita tak rata, hehe. Tapi bukan hanya dalam hal itu, melainkan juga dalam artian konotatif. Mungkin hanya perasaan saya, tapi saya baru sadar bahwa saya pernah memiliki wajah sepolos itu (memang tampang saya sekarang kayak apa?). Wajah yang masih memancarkan kekhasan anak-anak. Ada yang bilang wajah tanpa dosa. Jika tersenyum atau tertawa nampak sekali itu tulus dari dalam hati, bukan dibuat-buat. Membuat orang disekitarnya merasakan kegembiraan pula. Ingatkah saat kamu tertawa tanpa sebab jelas pada umur hitungan bulan, ibu bapakmu yang mengawasimu turut nyengir juga sambil bergumam, "Kenapa sih anak ini? Lucu sekali.."

Pada masa itu, kita memang hanya seperti kertas putih polos nan lembut. Indahnya warna kita pada awalnya adalah bentukan dari kedua orang tua kita (semoga Allah membalas kebaikan mereka). Beberapa tahun pertama, kita ingat bagaimana kita patuh terhadap segala arahan orangtua kita tanpa pernah banyak tanya. Dengan asumsi waktu itu 'pokoknya ikuti aja, apa kata bapak atau mama, itu pasti benar'.
Masihkah kamu ingat ketika pertama kali mereka memperkenalkan kita kepada Allah, dengan mengajak kita mengikuti gerakan shalat mereka? Atau ketika beliau menceritakan tentang kengerian siksa neraka yang membuat kita bergidik, lalu bertekad sebisa mungkin menghindarinya. Begitu juga pemaparan beliau tentang surga, dideskripsikan dengan bahasa sederhana yang menggugah, membuat kita berucap dengan penuh semangat, "wah, kalo gitu saya mau masuk ke sana!".

Hehe, benar-benar masa yang sangat indah ya? Masa yang di sana, salahnya tindakan kita dianggap lumrah. "Ah, itu karena dia masih kecil, belum tahu apa-apa." Lalu kita diberi pengajaran yang baik setelahnya. Kemudian, di saat kita melakukan kebaikan kecil saja seperti mematikan keran air yang terbuka sedari tadi atau bahkan hanya mengenakan baju sendiri, akan dibalas dengan ucapan "Wah sudah pintar si kecil ini rupanya."

Beranjaklah kita menuju dewasa, suatu takdir yang sebenarnya sangat indah dari Sang Rabb Maha Kuasa. Seharusnya akal kita yang makin sempurna ini turut menyempurnakan pula keindahan warna dasar yang dilukiskan orang tua kita sebelumnya. Akal akan membawa kita semakin mengenal tanda-tanda kebesaran-Nya, semakin tunduk pada-Nya, mengetahui tentang pahala dan dosa, benar dan salah beserta ganjarannya.

Sayangnya, seringkali akal malah berbalik dibutakan oleh hawa nafsu. Sehingga kita menjadi sombong. Kertas lembut berlukis warna dasar yang indah tadi terkotori dan menjadi kasar. Surga dan neraka dianggap seakan hanyalah dongeng yang diceritakan orang tua sebelum tidur, atau untuk menakut-nakuti supaya kita patuh dengan orang tua. Prasangka buruk yang salah, bahkan terhadap saudara sendiri, selalu menghantui pikiran. Seakan lupa dulu orang tua mengajarkan untuk tidak berbohong karena sekarang seringkali tidak jujur dalam ujian. Shalat lima waktu terabaikan. Diajak kepada kebaikan berpikir banyak dulu, anehnya melakukan maksiat tanpa pikir panjang sebelumnya. Nah, yang manakah kita?

Harus diakui, saya merindukan masa sewaktu saya masih kecil itu. Bukan karena pemanjaannya. Namun kepolosan saya waktu itu. Tatkala saya belum mengenal yang namanya hawa nafsu jahat dan kesombongan diri.

Namun, setelah dipikir lagi, bukankah kedewasaan juga merupakan proses yang luar biasa? Pada masa inilah seharusnya kita tahu arti keberadaan kita di dunia. Tak seperti anak-anak yang tak tahu nilai dari perbuatan yang dilakukan, sehingga juga tak merasa puas ketika selesai melakukan kebenaran, kecuali jika dipuji atau dikasih imbalan langsung. Sekarang ketika kita tahu suatu kebenaran dan melaksanakannya kita akan langsung merasa puas, tanpa melihat ada yang memuji atau bahkan mencaci. Karena kepuasan kita disebabkan oleh tahunya kita akan balasan kelak yang setimpal bahkan berkali lipat. Benar seperti itu?

.