Pages

Sabtu, 28 April 2012

Surat untuk Teman

Teman,
adalah kekecewaan yang berkecamuk di dalam dadaku, ketika kamu meluncurkan seperangkat kalimat ini ke telingaku: “Untuk apa sih kamu melawan? Apa sih yang kamu harapkan dari pergerakan-pergerakanmu itu? Sudahlah, lebih baik kamu memikirkan hidupmu dan keluargamu. Pikirkanlah masa depanmu. Berfikir tentang 'makan apa kita nanti?' lebih baik ketimbang berpikir tentang rencana-rencana perlawananmu, yang menurutku hanyalah sebuah perbuatan yang membuang-buang waktu. Rasional-lah sedikit. Bekerjalah dengan giat dan carilah uang untuk membuatmu survive dalam menjalani kehidupan ini. Jangan melawan melulu. Mau sampai kapan kamu menjadi pemberontak seperti itu?”.

Teman,
saat itu aku memang hanya membisu. Sebenarnya aku bisa saja langsung menghardikmu atau membakar mulutmu dengan korek api yang bersemayam di dalam saku jaketku. Sebab, jujur saja, aku sakit hati akan perkataanmu itu. Tapi aku tidak akan melakukannya. Meskipun kebencian mampu menimbulkan energi untuk menghancurkan, tapi aku masih memiliki perasaan untuk bisa memaafkanmu. Perasaanku lah yang selalu menuntutku untuk bisa memaklumimu. Ya, semua perkataanmu tentu bukan berasal dari dalam dirimu semata, melainkan juga ada campur tangan dari sesuatu yang berada di luar dirimu. Kenyataan hidup yang lumayan brengsek ini telah membentuk pemikiranmu menjadi seperti itu. Adalah bodoh jika aku hanya menyalahkanmu.

Teman,
Tak ada sesuatu hal yang percuma dan sia-sia, begitu pula dengan pergerakanku. Ketika kamu menyuruhku untuk bersikap rasional, aku bertanya dalam hati: Apakah dengan aku melakukan perlawanan, aku berhak untuk dianggap tidak rasional?. Sebenarnya, salah satu alasan aku dalam melakukan perlawanan ini adalah karena aku juga memikirkan hidupku dan keluargaku. Aku melakukan pergerakan ini karena aku juga memikirkan masa depanku. Sistem kapitalisme ini telah membuat segalanya menjadi mencret. Banyak orang yang menjadi korban. Sudah banyak orang yang tertindas dan termarjinalkan. Banyak orang yang tadinya begitu semangat dalam melakukan perlawanan, namun langsung menjadi lembek dan kompromis ketika di gampar oleh yang namanya
kenyataan. Tapi aku tidak seperti itu. Justru karena kenyataanlah yang membuat aku semakin cadas dalam melakukan perlawanan ini. Semakin mencret kenyataan menyapa, semakin kuat alasanku untuk tidak pernah berhenti melawan. Kamu menyuruhku untuk bekerja dan mencari uang untuk membuatku survive dalam menjalani hidup ini. Kenyataan saat ini memang menuntut kita untuk selalu mencari uang. Uang menjadi begitu penting. Uang memang penting, tapi bukan segala-galanya. Uang memang bukan segalagalanya, tapi penting. Aku akui itu dengan segenap kesadaranku, bahwa aku memang membutuhkan uang. Itu tidak aku pungkiri. Itu sebabnya aku bekerja. Tapi semua problematika kehidupan yang di ciptakan oleh kapitalisme ini tidak akan pernah selesai jika kita hanya bekerja, bekerja, dan hanya bekerja. Kita juga harus melakukan sebuah perlawanan demi sebuah perubahan. Kita harus tetap terus melawan terhadap segala bentuk kemapanan kapitalisme yang sudah semakin mengglobal.

Teman,
mungkin kamu masih tidak akan pernah mau memahami jalan pikiranku. Tapi, asal kamu tahu, aku melakukan perlawanan ini juga karena aku memikirkan agamaku, hidupku, keluargaku, dan juga masa depanku.

Salam,
rex

0 komentar:

Posting Komentar

.