Pages

Senin, 30 April 2012

Sejarah yang Menunjukkan


Pria sepuh itu telah berusia 70 tahun. Sisa-sisa rambut yang tertanam di kulit kepalanya telah memutih dan ia masih bersemangat menceritakan kepadaku sejarah. Maka aku kagum dengan daya ingatnya, dan dalam hati tersenyum kecut sebab banyak sudah kulupakan peristiwa yang terbilang penting di masa lalu itu.

“Kamu tahu, penyerangan pertama yang dipimpin oleh Pangeran Antasari diarahkan kemana? Ke benteng yang berada di sebuah pertambangan. Waktu itu sudah jaman industry, Belanda memerlukan sumber daya alam untuk modal perkebunan mereka di daerah jajahan.” Beliau menghela nafas, dan melanjutkan. “Sekarang benar-benar sangat aneh.. Dulu susah-susah para pejuang itu mengusir para kompeni yang merampas hak mereka.. Kebun, tambang, ladang. Sekarang, kita malah mengundang mereka untuk mengambil sumber daya alam. Kita membolehkan orang-orang asing itu menanam modal dan menguasai semuanya.”

“Contohnya Freeport?” Mungkin tak sopan, tapi tanpa sadar aku menyela.

“Bukan cuma itu kan? Masih banyak lagi yang lain. Aku ingat pernah mendengar langsung pidato Bung Karno dari radio. Beliau bilang apakah kita biarkan saja penjajah membangun megah kota mereka seperti Amsterdam dan Rotterdam, sementara modalnya berasal dari kekayaan kita yang mereka rampok?”


Di lain waktu beliau menceritakan sesuatu yang sedikit sama dengan apa yang kudengar di satu perkuliahan. Seorang dosen pernah mengatakan, bahwa istilah pahlawan atau pemberontak itu istilah yang relatif. Tergantung siapa yang menyebut. “Kalau Pangeran Hidayatullah bergelar pahlawan bagi masyarakat Banua, tidak untuk penjajah. Belanda menyebutnya kepala pemberontak.” “Hoofdopstandeling” lidah penjajah londo melafalkan.

Saya pernah memancing, “Kek, apa betul dulu Islam yang menjadi bentuk perlawanan yang ditakuti penjajah?” Beliau langsung mengiyakan, “Kamu pernah lihat Qanun Sultan Adam? Itu masih ada buktinya di Museum Banjarbaru (lagi-lagi malu, saya yang tinggal di kota itu belum pernah masuk ke sana). Isinya, bahwa kesultanan banjar menggunakan syariat Islam sebagai peraturan dan hukumnya. Nah, Belanda tidak suka itu, lalu mereka perangi kaum muslim, mereka masukkan perundang-undangan mereka dalam konstitusi kita. Itu seperti yang sudah dikabarkan dalam al-Qur’an, bahwa mereka senantiasa mencoba memadamkan cahaya Allah.”

Di usia sesenja ini, beliau yang masih bugar menambahkan kepada saya satu lagi motivasi tentang perjuangan. Dengan semangatnya beliau menceritakan itu semua, dan saya melihat memang kakek ingin saya, kita generasi kini tertular oleh apa yang dirasakan para pejuang ketika meneriakkan “Allahu Akbar” dihadapan moncong senjata Belanda. Dan saat itu saya bersemangat, bersamaan dengan rasa malu yang sangat. Malu dengan keadaan diri sendiri, atas kurangnya ilmu, kemalasan dalam menimbanya, dan masih sering tidak disiplin dalam berbagai tanggung jawab.

Guru sejarah saya di SMA pernah menekankan, bahwasanya sejarah penting untuk diketahui bukan sekedar agar kita terhibur dengan cerita-cerita yang kadang menarik dan heroik, akan tetapi agar kita mampu belajar darinya. Masa lalu perlu ditengok sesekali untuk kita melihat, apa kesalahan yang pernah generasi sebelum kita perbuat agar kita tak perlu mengulanginya kelak. Dan apa kunci keberhasilan para pemenang, supaya kita mampu membuka pintu kesuksesan sekarang dan akan datang.

***

Dulu ketika Belanda bercokol di Indonesia, perusahan swastanya Vereenigde Oostindische Compagnie berusaha memonopoli perdagangan dengan penuh keserakahan. Belanda dengan VOC-nya itu telah banyak mendapat perlawanan rakyat. Penduduk lokal disuruh kerja rodi di luar batas kemanusiaan, bahkan tanpa upah, menggarap perkebunan dan membangun jalan-jalan untuk kepentingan transportasi perdagangan penjajah.

Namun ironisnya VOC berhasil menggaet satu penguasa menjadi anteknya. Amangkurat I si Raja Mataram mau-maunya melindungi VOC karena disuapi keuntungan dari bisnis dan kekuasaan yang dijanjikan kompeni. Bahkan Amangkurat I malah bermusuhan dengan Kesultanan Banten dan Makassar yang bersama rakyat berupaya mengusir penjajah dari tanah pertiwi.

Saya kira ada benarnya kata-kata Hegel yang pernah dikutip seorang teman di dunia maya. "Sejarah telah mengajari kita bahwa manusia tidak pernah belajar dari sejarah." 


Saat ini, perusahaan multinasional asing, para kapitalis ‘berselingkuh’ dengan para penguasa sekuler. UU Penanaman Modal tahun 1967 disahkan rezim, membuat kapitalis asing pun girang bukan main. Sebab UU ini memudahkan perusahaan swasta menguasai sumberdaya alam Indonesia yang kaya raya. Mengeksploitasi kekayaan umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak. PT Freeport diperkenankan menguasai Grasberg surganya tembaga, perak dan emas dengan potensi kekayaan sebesar sekitar US$ 300 miliar. Sementara anak-anak dari negeri ini dijadikan sebagai karyawan dan buruh. Dan lainnya dibodohkan, dibiarkan tetap memakai koteka dan kelaparan.

Sejarah dulu juga pernah mengemukakan, bahwa umat manusia pernah menjadi spesies paling mulia dan beradab ketika aturan Islam diterapkan dalam seluruh sendi kehidupan. Namun saat ini, syari’ah Islam dianggap menakutkan dan kuno. Penguasa lebih senang menggunakan demokrasi yang sebenarnya jauh lebih kolot dan kuno. Sehingga hasilnya kemerosotan moral, kebodohan, kemiskinan, korupsi terus mengalami peningktan. Memperjuangkan penegakan Islam dalam bingkai negara dianggap sebagai suatu ancaman bagi keragaman. Padahal dulu juga beragam agama telah hidup dengan sentosa dalam naungan Khilafah Islam.

Ya, begitulah kawan, sejarah sepertinya selalu berulang dan manusia tak kadang tak mau belajar dari masa lalu. Ketika Muhammad SAW menyebarkan ajaran pembebasan ia dituduh pemecahbelah oleh para penyembah berhala. Dulu pejuang kemerdekaan dianggap pemberontak, mengusik keamanan bagi penjajah. Dan bila ada yang menisbatkan dirinya pada gerakan revolusioner Islam, siap-siap saja disematkan gelar teroris dan semacamnya.

Sirah Nabawiyyah mengungkapkan secara detail, bagaimana manusia mulia dengan perjuangan mulianya berhasil meraih kemenangan dengan tidak mudah. Saat itu dalam keterasingan beliau dan sedikit pengikutnya di awal, nyawa mereka terancam hilang dan jasad mereka tak luput dari siksa. Muhammad SAW pernah hampir ditimpa batu oleh Abu Jahal, rumahnya dilempari kotoran, dan berdarah-darah dihujani batu oleh penduduk Thaif.

Maka selayaknya jika kita belajar dari sejarah, dan tentunya percaya pada janji Allah, ketika cobaan menimpa, fitnah dan hinaan menerpa kita takkan menghentikan perlawanan. Bukankah yang kita emban adalah sama dengan yang diemban oleh Nabi tercinta kita?

Semoga saja kita mampu mempelajari sejarah dan meresapi energi di dalamnya, yang kemudian energi itu kita dapat gunakan dalam mengatasi segala kerusakan et causa kekufuran. Meskipun saya masih acapkali tersesat di jalan, karena lupa arah.

1 komentar:

dhoni mengatakan...

mantep bung !!! ^^d

Posting Komentar

.