Pages

Sabtu, 25 Februari 2012

Bibit-Bibit Korupsi


Semua orang di negeri ini, dari masyarakat sampai pejabat bahkan yang panuan sekalipun, pasti sepakat kalau korupsi yang tengah melanda Indonesia sudah sangat kronis. Stadium akhir malah, karena telah bermetastasis ke organ vital bangsa seperti DPR, lembaga peradilan, hingga penegak hukum. Dan kalau dulu di orde baru korupsi sifatnya sentralistik, artinya hanya muter-muter di pemerintah pusat saja, sekarang di bagian-bagian perifer penjuru Indonesia korupsi sudah menjadi fakta yang akrab.

Badan pemerintahan, koperasi, rumah sakit, wisma atlet, puskesmas, sekolah, universitas dan berbagai kedinasan serta badan organisasi lain pun menjadi sasaran, kecuali warung kopi (entahlah). Banyak pula kasus-kasus yang masih mengambang belum terselesaikan, dan belum lagi tenggelam muncul lagi kasus-kasus baru yang menggemaskan.

Lantas, bagaimana prognosisnya? Apakah kita hanya bisa berpasrah pada keadaan, menunggu saja hingga bangsa ini hancur digerogoti keganasan bernama korupsi itu? Atau kita cuma duduk menongkrongi dagelan semisal Indonesia Lawyers Club (yang bagi saya terkadang lebih lucu daripada overa van java itu), sembari menyeruput teh dan tersenyum kecut? Atau kita apatis saja, dan malah mengasyikkan diri dengan berbagai konser musik dan lomba futsal daripada ikut pusing? Yeah mahasiswa!

Hmm, kalau kita memilih opsi yang lain, yaitu coba mengeradikasi tuntas masalah ini, semoga Allah SWT memberkahi kita dan melihat usaha kita, kemudian memberikan jalan keluarnya. Saya teringat dengan puisi Adhie Massardi. Penggalannya saya kutiplah (dengan sedikit perubahan),

Maka bila negerimu dikuasai para koruptor
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

Maka bila negerimu dikuasai para koruptor
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi,
Dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Ya, mari kita mulai dengan diskusi dulu, setidaknya melalui tulisan ini. Uhuy!

Ketika seorang dokter ingin mengobati pasiennya, ia harus mendiagnosis terlebih dulu penyakit pasien tersebut dan mengetahui etiologinya apa. Begitu juga, mewabahnya korupsi perlu dideteksi dulu apa penyebabnya, dan berbagai faktor resikonya sehingga kita mampu melakukan terapi adekuat dan pencegahan yang tepat.

Menurut penelitian saya yang bersifat deskriptif analitik ngacoistik (sumpah, saya tidak menggunakan metode cohort study apalagi metaanalisis), ternyata korupsi memiliki relasi yang erat dengan contek menyontek. Mengapa bisa begitu? Begini. Korupsi dan menyontek itu walau spesiesnya berbeda, keduanya berada dalam lingkup genus yang sama, yaitu kecurangan. Spesies lain yang juga termasuk dalam genus ini di antaranya adalah mengurangi takaran dan pengaturan skor suatu pertandingan. Selain itu, korupsi dan menyontek juga sama-sama bertujuan untuk memuaskan kepentingan pribadi. Dan keduanya dilakukan ketika tak ada lagi kesadaran bahwa Allah SWT yang Maha Melihat itu selalu mengawasi.

Gilanya, kita tahu contek menyontek sudah dianggap kegiatan yang wajar, seperti wajarnya mengupil sambil nonton tipi. Jika menyontek sudah dibiasakan sejak bangku pendidikan, maka artinya bibit-bibit korupsi sudah dari awal dibiasakan. Bayangkan saja jika pelajar atau mahasiswa yang sudah biasa melakukan kecurangan ini ke depannya ditaruh di suatu jabatan strategis.

Ada yang ngeles, “ah, mencontek kan hanya kecurangan skala kecil, sedangkan korupsi sudah kecurangan berskala besar”. Jawabnya, percayalah, hal buruk yang ‘nikmat’ itu seringkali menimbulkan kecanduan. Seperti narkoba misalnya, awalnya hanya berniat mencoba sekali dengan dosis kecil, kemudian malah keterusan dan nambahlah dosis serta frekuensinya. Begitu juga, kalau biasanya kita beranggapan menyontek itu, “ah, kan cuma kali ini supaya lulus ujian, nggak jujur sekali-sekali demi masa depan kan gak papa”, seterusnya kita akan ketagihan dan terbiasa curang dalam segala hal. Hingga nantinya, “ah korupsi sedikit aja kan gak papa. Sekali-sekali buat anak bini kok.” Hmph, bukankah sekali ditambah sekali menjadi dua kali?

Seringkali kita mendengar bahwa solusi korupsi itu adalah dengan memperbaiki akhlak para pejabat. Lantas bagaimana jika akhlaknya sudah terbiasa melakukan kecurangan bahkan sejak bangku SD? Bila keadaannya demikian tentu bukanlah hal yang mudah. Seperti menyuruh saya berhenti makan nasi, mungkin orang yang biasa melakukan kecurangan sejak dini akan sangat susah untuk disadarkan dari kebiasaannya.

Maka salah satu cara pencegahannya adalah dengan sedini-dininya, yaitu menghentikan kebiasaan mencontek dan perilaku curang lainnya sejak bangku pendidikan. Bahkan mulai dari keluarga. Nah, masalahnya (lagi), contek menyontek ini pun sudah begitu parah bahkan tersistem (seperti saat ujian nasional, bahkan ada oknum guru dan dinas pendidikan sendiri yang terlibat).

Lantas kenapa bibit-bibit korupsi, yaitu menyontek ini bisa tumbuh dengan sangat pesat? Bisa kita amati sendiri, ini karena bibit tersebut ditumbuhkembangkan di lahan yang memang subur yaitu sistem pendidikan sekuler, yang memisahkan agama dengan kehidupan dunia. Mata pelajaran agama saja contohnya, hanya diberi porsi dua jam dalam seminggu sementara mata pelajaran lain atau ilmu pengetahuan yang sifatnya keduniaan diajarkan setiap harinya dengan waktu jauh lebih banyak. Padahal ilmu Islam merupakan hal yang wajib dikaji sedangkan ilmu yang sifatnya keduniaan bersifat wajib kifayah.

Kalau sudah begitu, bagaimana bisa terbentuk SDM yang beraqidah kuat? Sementara, aqidah yang kokoh akan membangun kesadaran akan hubungan kita dengan Allah SWT (idrak silah biLlah), yang dengannya kita yakin 100% bahwa Allah SWT akan mengadili segala perbuatan baik-buruk, jujur-curang di akhirat kelak. Dengan itu seorang anak takkan mau menyontek barang sedikit saja, karena berpikiran siapa tahu kecurangan itulah yang akan memberatkan timbangan dosanya, yang berakibat ia dipanggang di neraka, dijadikan daging asap tanpa merica dan garam.

Sistem pendidikan Islamlah yang akan menanamkan pondasi aqidah yang kuat, dan tentu takkan membiarkan bibit-bibit korupsi (pastinya juga kecurangan serta pelbagai kemaksiatan lain) tumbuh subur. Dan sistem pendidikan Islam hanya akan mampu terwujud dengan optimal di bawah negara yang menerapkan aturan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.

Saat ini jika banyak mahasiswa membenci korupsi dan bersuara lantang anti korupsi, satu hal yang bisa dimulai dari dirinya sendiri adalah berlaku jujur, membenci dan berhenti dari aktivitas contek-menyontek (termasuk menyontekkan). Mungkin tidak berlebihan, jika pelaku menyontek dikatakan memiliki faktor resiko lebih besar untuk menjadi koruptor.

Dan dari sini kita pun bisa menilai bahwa permasalahan korupsi ini memang permasalahan yang sistemik, dengan penyebab utamanya sistem kehidupan saat ini yang dirancang tidak berbasiskan aturan Allah SWT secara komprehensif. Sehingga jangan lupa untuk terus memperjuangkan perubahan yang sistemik pula. Perubahan yang sering dikata orang, sebagai revolusi itu. Oh yeah.

Recommended gan:
http://faizatulrosyidahblog.blogspot.com/2011/03/politik-pendidikan-dalam-bingkai-sistem.html
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/12/06/jubir-hti-berantas-korupsi-dengan-syariah-bernilai-ibadah/
http://hizbut-tahrir.or.id/2011/06/01/demokrasi-akar-masalah-korupsi-dan-kolusi/

0 komentar:

Posting Komentar

.