Pages

Rabu, 21 Desember 2011

Dialog Terbatas: "Deradikalisasi untuk Kepentingan Siapa?"

Aula Hotel Batung Batulis Banjarbaru dipadati sekitar 60 orang yang terdiri dari tokoh masyarakat, asatidz dan alim ulama pada acara Dialog Terbatas yang digelar Minggu (19/12) malam oleh DPD II HTI Kalsel Banjarbaru. Dialog yang diadakan di penghujung tahun 2011 ini bertemakan “Deradikalisasi, untuk Kepentingan Siapa?”. Ini sebagai refleksi akhir tahun mengingat isu yang cukup dominan di sepanjang 2011 adalah isu deradikalisasi atau kontra terorisme. Acara sendiri dimulai oleh pembawa acara pada pukul 20.30 WITA.

Ketua DPD II HTI Kalsel, Ustadz Natsir menyampaikan dalam sambutannya bahwa acara yang mengumpulkan berbagai tokoh ini dimaksudkan agar memberikan penjelasan tentang apa yang menjadi tujuan sebenarnya dari isu deradikalisasi yang tengah gencar dilakukan, berdasarkan fakta-fakta yang ada di lapangan. Sehingga nantinya tokoh yang sudah hadir ikut memberi pemahaman kepada masyarakat dan mampu mengambil sikap serta tindakan yang benar dalam menanggapi isu ini. Jangan sampai masyarakat menelan mentah-mentah opini massif yang digiatkan oleh BNPT yang mengarahkan bahwa Khilafah adalah ide orang-orang radikal dan teroris yang menginginkan kekacauan. “Tidak mungkin Khilafah itu ide teroris. Selama Khilafah menerapkan syari’at Islam secara kaaffah di muka bumi, yang terwujud adalah kesejahteraan & kemakmuran umat manusia,” ucap Ustadz Natsir.

Tampil sebagai moderator dialog pada malam itu adalah Ustadz Mahali, aktivis HTI Banjarbaru. Sedang narasumber yang dihadirkan ialah Ustadz Harits Abu Ulya dari DPP HTI. Mengawali diskusi, Ustadz Harits memaparkan pengantar berupa presentasi yang berjudul “Deradikalisasi, Mudharat atau Manfaat Bagi Umat?”. Di sini beliau mengungkapkan, bahwa isu deradikalisasi di Indonesia tak lepas dari Global War on Terrorism (GWOT) yang dikomando oleh Amerika. Momentum GWOT ini adalah paska peristiwa 11 September di Amerika, sedangkan momentum di Indonesia adalah selepas kejadian bom Bali I satu tahun setelah WTC runtuh. Dampak dari GWOT ini sangat luar biasa bagi umat Islam yang dituduh sebagai pelaku terorisme tersebut. Padahal, Amerika sendirilah yang sejatinya adalah teroris. “Perang di Irak selama 8 tahun 8 bulan 26 hari tak menghasilkan apapun kecuali kehancuran total di seluruh sektor kehidupan warga Irak. Sekitar 170 ribu orang tewas. Perang yang biayanya sangat mahal ini alasannya tidak ada yang jelas. Awalnya adalah tuduhan bahwa Irak memiliki senjata pemusnah masal. Buktinya sampai perang berakhir itu tidak ditemukan,” kata Ustadz Harits, memberikan contoh kebiadaban Amerika.

SIkap Indonesia terhadap GWOT, lanjut beliau, adalah mengikuti komando Amerika. Buktinya ketika menyikapi Bom Bali I muncul Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 dan pembentukan Densus 88 serta munculnya BNPT pada tahun 2010 lalu. Program ini disupport oleh Amerika. Di awal pembentukannya saja, Densus 88 sudah didanai AS sebesar 150 miliar.

“Ada dua strategi utama yang dijalankan dalam agenda kontraterorisme ini. Yang pertama hard power, melalui tangan Densus 88. Sampai saat ini sudah 60 orang tertuduh yang tewas karenanya. Saya sendiri pernah menanyai langsung seorang tersangka yang ditangkap, ia bilang perlakuan Densus itu sudah tindakan di luar batas kemanusiaan,” ucap ustadz yang datang dari Jakarta ini.

Strategi yang kedua, ungkap beliau lagi, adalah soft power atau dengan karakter lunak. Contohnya adalah deradikalisasi. Target deradikalisasi ini adalah umat Islam, seperti kelompok yang dianggap radikal, ormas, pelajar atau mahasiswa, remaja masjid, santri dan khalayak umum. Ini yang berbahaya karena deradikalisasi ini sendiri cacat secara paradigmatik. Definisi radikal itu kabur dan berdasarkan pasal karet. Label radikal yang disematkan tak jelas indikasinya, dan pelabelan ini tak lain adalah upaya penjajah untuk memecah belah umat Islam. Ustadz Harits menyebutkan, “ini seperti gaya Snouck Hurgonje dulu, yang mengelompokkan umat Islam menjadi Islam Abangan, yaitu yang hanya ikut-ikutan dan Islam Mutihan atau Islam yang lurus. Kalau sekarang kita dikotak-kotakkan menjadi Islam liberal, Islam moderat, Islam radikal dan Islam fundamental.”

Selain itu deradikalisasi ini berbahaya karena merupakan upaya menyimpangkan umat dari pemahaman Islam yang benar. Seperti makna jihad, yang secara syar’i adalah qital (berperang), dipersempit menjadi usaha yang bersungguh-sungguh. Jadi menafkahi keluarga pun sudah bisa disebut memenuhi kewajiban berjihad.

Dan ada berbagai kepentingan pada proyek deradikalisasi ini. “Dengan anggaran yang besar, makanya banyak yang menjadikan proyek deradikalisasi juga sebagai ajang mencari duit.”

Setelah presentasi moderator membuka sesi diskusi. Karena waktu yang terbatas, hanya ada beberapa orang yang sempat mengajukan pertanyaan. Salah satunya adalah Subhan, yang pada intinya menanyakan sejauh mana usaha HTI dalam melawan isu deradikalisasi. Ustadz Harits pun mengemukakan bahwa HTI dalam berbagai kesempatan terus berupaya menyadarkan umat, salah satunya melalui media yang diterbitkan oleh HTI maupun lewat berbagai acara seperti dialog ini. “Ini butuh kerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat, ulama dan asatidz yang mukhlis. Yang berani berkata jujur bahwa yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil,” tegas Ustadz Harits pada acara yang berakhir pukul 22.30 WITA itu. (aa)

0 komentar:

Posting Komentar

.