Pages

Minggu, 06 November 2011

The Sacrifice

Bicara tentang ibadah qurban, tentu kita akan teringat peristiwa sakral yang telah sangat lama terjadi. Peristiwa yang mungkin sering diceritakan oleh bunda tercinta menjelang berangkatnya kita ke alam mimpi. Yaitu satu dari sekian banyak cerita para nabi dan rasul yang ibrahnya selalu dapat kita ambil dan terapkan dalam kehidupan nyata. Ya, ini tentang Nabi Ibrahim as dan puteranya yang bernama Ismail as

Kita ingat bagaimana Allah SWT memerintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putera tercintanya tersebut. Permintaan yang tentu teramat berat. Bayangkan saja jika kamu diperintahkan menyembelih anakmu satu-satunya, apakah kamu mau? Jika seseorang menyuruh dan memaksa seperti itu pasti kamu akan marah dan mungkin malah mengalihkan sasaran sembelihanmu itu menjadi orang tersebut. Tapi seandainya Allah, Sang Pencipta kita, yang meminta pengorbanan itu?

Ketika kita mengakui bahwa tiada sesembahan selain Allah sudah sepantasnya kita melakukan apapun yang diperintahkan-Nya hingga titik kulminasi kemampuan kita (kita bicara kondisi ideal kawan, bukan bicara kondisi sekarang yang bahkan banyak sekali aturan-Nya dipinggirkan). Maka bukanlah suatu kegilaan jika Ibrahim as memberitahu anaknya bahwa ia akan menyembelih si anak sebagai persembahan kepada Sang Maha Kuasa. Dan bukan berarti Isma’il as terganggu kondisi kejiwaannya tatkala ia berucap mantap “lakukanlah apa yang diperintahkan Rabbmu wahai ayah.”

Kamu pasti sudah tahu bagaimana happy ending sejarah ini kan? 


Allah swt kemudian menetapkan umat Islam disunnahkan menjalankan ibadah qurban bagi mereka yang memiliki kemampuan. Dan ibadah qurban adalah ibadah yang sangat luar biasa pahalanya. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban.” (HR. At Tirmidzi). Bahkan bagi orang yang mampu berqurban tapi tak mau berqurban hukumnya adalah makruh.

Merayakan hari ibadah qurban harusnya dapat membuat umat Islam bertambah semangat pengorbanannya. Sebagaimana orang yang berqurban yang mengorbankan sebagian hartanya untuk membelikan hewan qurban yang dagingnya dibagi-bagikan kepada masyarakat. Sebagaimana juga pengorbanan Nabi Isma’il yang rela saja dipotong lehernya demi memenuhi perintah Allah SWT, walaupun tak jadi juga. Atau sebagaimana pengorbanan sapi dan kambing yang dianya tak pernah protes ketika digorok manusia untuk dimakan. Buktinya, hampir rasa-rasanya tak pernah ada di antara mereka yang sebelum diqurbankan berteriak-teriak, “Ampun, tolong jangan saya yang disembelih, Pak.. Saya belum kawin, saya belum kawin!!!”

Pengorbanan harusnya kita praktekkan kapan saja dan dimana saja. Mulai dari hal yang termudah-terkecil hingga yang terbesar sesuai kemampuan. Tentunya pengorbanan yang positif dan dibenarkan dalam Islam, kawan. Dalam keseharian manifestasinya bisa bermacam-macam.

Seperti pengorbanan yang terdapat pada altruisme Bang Ucok, penjual bakso gerobak yang merelakan sedikit penghasilannya terpotong dengan memberikan semangkuk bakso kepada seorang pengemis wanita beserta bayi yang digendongnya. Atau pengorbanan yang terpancar dari sosok anak SMA yang memungutkan sampah di tengah jalan, lalu ia tetap tersenyum dengan santainya ketika malah dikatai sok aktivis lingkungan. Pengorbanan juga dilakukan oleh mahasiswa yang bertanya perihal pelajaran yang belum dipahaminya kepada dosen yang tengah mengajar di kelasnya. Karena dengan menekan rasa gengsi dan mungkin rasa malu, secara tidak langsung ia telah mengajarkan ilmu  tersebut kepada teman sekelasnya yang lain. Banyak contoh lain tentunya.

Yang paling penting dan harus diingat, pengorbanan mestinya senantiasa muncul sebagai konsekuensi keimanan kita kepada Yang Maha Kuasa. Kita harus taat kepada Allah SWT, apapun yang Dia perintahkan, yang tentunya itu butuh pengorbanan bagi kita. Sebagaimana Isma’il as yang bersedia dengan ikhlas dijadikan qurban begitu mengetahui itu adalah perintah-Nya, tanpa banyak tanya lagi.

Perintah mendirikan shalat menuntut kita mengorbankan sebagian waktu kesibukan entah itu waktu kuliah ataupun kerja. Perintah puasa menuntut pengorbanan untuk menahan diri dari makanan dan minuman seharian. Larangan mendekati zina menuntut kita menahan nafsu sesaat dan mengalihkannya ke hal lain seperti berpuasa. Begitu juga ibadah qurban ini pun menuntut pengorbanan kita mengeluarkan harta untuk membeli hewan yang akan dikurbankan. Dan iya pula perintah-Nya yang lain secara keseluruhan. Baik dalam tataran individu hingga masyarakat-negara.

Sayangnya dalam sistem kehidupan sekarang, pengorbanan menjadi hal yang lebaynya seperti jarum dalam tumpukan rambut anak punk (halah). Karena dengan kebebasan hampir tak berbatas merebaklah individualisme atau keegoisan. Contohlah ketika seorang cewek berpakaian seksoy yang ketika dinasihati agar berpakaian sesuai aturan semestinya, ia malah berkata “Terserah saya lah. Wong ini bodi saya juga kok, mau buka-bukaan juga urusan saya tuh.” Lah, nggak takut dosa mbak? “Yang bikin dosa juga saya kan, ngapain sok ngurusin saya??” Padahal bukankah akibat kelakuannya itu nantinya akan timbul sesuatu yang diinginkan? Maaf, maksudnya tidak diinginkan?? Seperti pemerkosaan dan sebagainya yang merusak tatanan sosial. Belum lagi hal itu akan membuat orang yang konsisten berusaha menjaga keimanannya merasa terganggu.

Sehingga sebenarnya, acapkali menahan diri dari maksiat merupakan suatu pengorbanan juga, agar orang lain tidak mendapat dampak dari kemaksiatan yang kita lakukan. Bisa dikatakan orang yang bermaksiat, melanggar aturan tanpa merasa bersalah adalah orang yang telah hilang rasa pengorbanan dalam dirinya. Baik pengorbanan kepada Allah maupun untuk kepentingan umum.

Sekarang juga banyak dikalangan kaum muslim sendiri yang meninggalkan perintah Allah SWT yang dianggap memberatkan dan tidak perlu. Padahal logikanya Allah sebagai pencipta kita pasti paling tahu apa yang paling baik untuk kita, sehingga rasanya tidak mungkin Allah memerintahkan hal yang tak ada gunanya untuk manusia. Orang yang beriman pasti dan seharusnya meyakini itu.

Pertanyaannya sekarang, sudah sebesar apa pengorbanan kita untuk ketaatan di jalan Allah? Bagaimana dengan kewajiban yang telah nyata diperintahkan kepada kita, mulai dari shalat hingga da’wah dan lain sebagainya, sudahkah kita ikhlas berkorban untuk melaksanakannya? Bagaimana dengan syari’at-Nya yang lain? Jangan-jangan seringkali kita menunda-nunda melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut atau malah tak jarang meninggalkannya dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Jika memang seperti itu, dan kita tak mau mengubahnya, itu berarti ada masalah dengan keimanan kita, kan. Wallahu a’lam.

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. al-Baqarah: 207)

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh." Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. an-Nuur: 51)

0 komentar:

Posting Komentar

.