Pages

Kamis, 18 November 2010

Mengenal Revolusi (Superficial)

Ketika sesuatu tak berfungsi dan tak berjalan sebagaimana kehendak kita, biasanya kita akan merasa tidak puas dan akan bergerak, melakukan hal yang berguna untuk mengubahnya kembali pada keadaan normal lagi. Tak percaya? Bayangkan seandainya kamu tak bisa kentut seharian saja, karena ada sumbatan di daerah ujung anusmu, bagaimana rasanya? Tentu itu bukan keadaan yang normal bukan? Kamu pasti sangat tersiksa, merasa gelisah bahkan tak bisa tidur memikirkan bagaimana caranya supaya fungsi kentutmu normal kembali. Sampai-sampai kamu kehilangan akal sehatmu, mengambil pisau dapur kemudian mencoloknya ke bagian ‘sana’, dan berteriak ‘auwawawaaw!’. Awalnya pasti sakit, terjadi bleeding dan sebagainya namun ketika sumbatan tadi berhasil dilubangi sehingga ada celah di sana yang membuatmu bisa kentut normal lagi, kamu bakalan merasa sangat lega. Aaahhh…!

Nah kawan, sebenarnya begitu juga keadaan kita sekarang di kehidupan nyata ini. Apakah kondisi kita sekarang sudah ideal bagi kita? Merasa nyamankah kita dengan realita yang ada? Kalau kita mau mengubur egoisme dan mau bersikap objektif terhadap fakta yang ada, tentu kita merasa bahwa kondisi kehidupan kita, manusia maksudnya, tengah berada di tingkat abnormalitas yang parah. Kecuali tadi, jika ada yang merasa bukan manusia, tapi primata lain atau bahkan anoa, maka ia akan merasa biasa-biasa saja.

Dengan menggunakan otak dan nurani, kita dapat berpikir dan merasa: bahwa jika katanya angka kemiskinan menurun namun kita menyaksikan banyak masyarakat menderita kelaparan, pasti ada suatu kelainan; bahwa jika kriminalitas makin menjadi-jadi, lalu hukum begitu mudahnya dipermainkan sehingga penjahat semacam Gayus dibiarkan enjoy nonton pertandingan tenis di Bali, ini merupakan kesalahan; bahwa jika pejabat wakil rakyat menghamburkan uang Negara untuk studi banding ke luar negeri dengan tujuan belajar etika sementara rakyatnya sangat menderita karena bencana tengah melanda, itu adalah sesuatu yang mengganggu; bahwa jika ada kepala Negara yang menyambut dengan penuh hormat presiden Negara pembantai saudaranya sementara penanggulangan korban Mentawai dan Merapi belum tuntas, itu benar-benar sangat tidak wajar.

Terlebih lagi bagi yang berikrarkan dua kalimat syahadat, mengimani bahwa tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad itu rasul-Nya. Keadaan sekarang sungguh sangat menyiksa. Karena keadaan sekarang betul-betul tidak sesuai dengan aturan yang telah digariskan Sang Pencipta. Sistem hidup berpatok pada materi, tak sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yang tertera di adz-Dzariyat ayat 56. Al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 diindahkan, manusia lebih senang coba-coba membuat aturan hidup dengan pemikiran mereka yang relatif. Maka kekacauanlah jadinya, ketika yang diciptakan merasa lebih tahu tentang aturan hidupnya ketimbang Yang Menciptakan. Lucu sekaligus menjengkelkan kan, ketika robot yang kita bikin tak mau menaati aturan yang sudah kita rancang.

Oke, sedikit intermezzo, uji keimanan buat kita: percaya adanya Tuhan? Yakin? Kan Dia gak kelihatan, gak bisa diraba dan diterawang? Oh, kamu punya buktinya ya kalau Tuhan itu ada. Lalu Tuhan mana yang benar? Allah? Yakin loe?! Tahu dari mana? Hah, al-Qur’an? Emang al-Qur’an itu bener? Coba buktikan! Lah, masih ngotot kalo al-Qur’an itu bener. Emang loe percaya kalo semua isi al-Qur’an itu bener dari Allah, Tuhan loe itu? Kalo loe bener-bener yakin 100%, loe percaya gak kalo di dalam Qur’an Allah nyuruh motong tangan pencuri, ngerajam penzina yang udah nikah, gak boleh makan riba dan lain sebagainya? Loe mau gak nerapin aturan Qur’an sama turunannya secara keseluruhan? Gak bisa? Apa? Karena Negara kita Negara HAM dan demokrasi? Loh, emangnya HAM sama demokrasi bikinan siapa? Itu cuman akal-akalannya manusia kan? Emang bagus aturan yang mana, aturannya Tuhan atau aturan bikinannya manusia sendiri? Loh, loh, loh, dasar gak konsisten lo hahahahaha!

Bagaimana, sudah gelisah ingin melakukan perubahan? Atau malah makin bingung?? Ya udah biarin ajah kebingungan loe ituh, hahay. Ruang ini terlalu terbatas untuk membahas aqidah sebagai pondasi keislaman kita, kawan. Lebih baik kita bahas dalam kesempatan lain, seperti diskusi melalui war_on_idea@yahoo.co.id.

Lebih baik kamu sepakat saja untuk melakukan perubahan. Karena selain tuntutan fakta ini juga merupakan tuntutan keimanan. Lalu perubahan seperti apa? Tentunya perubahan yang diridhai oleh-Nya, dengan kembali menerapkan aturan-Nya secara sistemik. Yakin 100% kan sama aturan-Nya Allah? Kan aturan ini sudah sempurna, buka lagi al-Maidah ayat 3, eh tapi itu pun kalau kamu percaya sama al-Qur’an.

Oya, perlu diingatkan sekali lagi, perubahan ini haruslah bersifat mendasar dan sistemik (menyeluruh), inilah yang namanya revolusi. Nah, sudah kenal kan sama om revolusi? Ingat, bukan reformasi loh. Meski revolusi dan reformasi sama-sama menuntut perubahan dengan cepat, reformasi sifatnya tidak mendasar dan tidak menyeluruh. Contohnya, reformasi 1998 yang hanya mengganti pemimpin saja, namun sistem/aturan dasar pemerintahannya tetap tidak diubah, yaitu masih mengesampingkan aturan-Nya Allah dan mempertahankan demokrasi-sekularisme. Makanya kondisi bangsa ini tetap amburadul kan.

Ingat, dalam dunia kedokteran kita diajarkan untuk mengobati penyakit dengan mengatasi etiologinya. Bukan cuma mengobati gejalanya saja. Contohnya seperti penyakit tak bisa kentut tadi. Kalau cuma sumbatannya dilubangi dengan pisau dapur saja, tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas walaupun awalnya bikin lega. Cari tahu dulu apa sumbatannya, bisa jadi itu adalah tumor ganas yang akan selalu tumbuh dengan tak terkendali. Sehingga dilubangi berapa kali pun tetap akan menyumbat juga nantinya. Penanganan paling tepat ya dengan operasi mengangkat tumornya secara keseluruhan.

Nah, lalu revolusinya seperti apa? Haruskah seperti revolusi Bastille yang mengawali Reinassancenya masyarakat Eropa atau revolusi Bolchevik yang menuntut kesetaraan di Rusia? Lah kembali ke aturan-Nya tadi dong. Kan Rasulullah sudah pernah mencontohkan kalau beliau pernah merevolusi masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat yang saking dahsyatnya sampai kemudian menaklukkan Romawi dan Persia. Revolusi yang diajarkan jelas bukan revolusi dengan kekerasan. Tapi dengan pemikiran, tantangan intelektual.

Bicara masalah revolusi tentu takkan habis cuma sampai di sini juga. Lagipula sungguh sayang kan kalau informasi mengenai revolusi yang begitu menggiurkan ini kita nikmati dengan sekali santap sekaligus. Jangan tergesa-gesa, pelan-pelan saja, perlu proses dan seni tersendiri kok untuk memahami revolusi sampai kamu sendiri tergila-gila dengannya. Mengutip kata-kata Divan Semesta, revolusi itu tergolong sesuatu yang seksi, menggairahkan bagi orang-orang yang mengenalnya. Jangan juga jadi lupa diri, ya. Tujuan kita kan cuma satu.

(Setelah baca ini coba dengarkan S.O.S nya Bondan Prakoso feat kawan2nya yang imut-imut, hayati liriknya, dijamin rasanya pasti beda)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

dit, ni blog ku yang baru..
yang blogspotjarang aktif...

Posting Komentar

.