Pages

Jumat, 20 Januari 2017

Peperangan adalah Keniscayaan



Ada dialog yang menarik dalam sebuah scene film serial Sherlock Holmes, antara Sherlock dengan sahabatnya yang seorang dokter, John Watson. John yang merupakan veteran perang mengalami gangguan psikologis pasca kembali ke kehidupan damainya di London. Ia sering gelisah dan memiliki gangguan tidur sehingga rutin konsultasi ke psikolog yang mengiranya terkena semacam sindrom pasca traumatik akibat peristiwa mengerikan yang pernah dialaminya dalam peperangan. Hingga suatu hari, John bertemu Sherlock yang berhasil memunculkan suasana ‘peperangan’ baru dalam hidupnya, John kembali ‘sehat’ sehingga Sherlock menyimpulkan padanya, “Kau bukannya trauma terhadap peperangan.. kau merindukannya.”

Di kehidupan nyata, apakah peperangan merupakan hal yang paling dihindari manusia? Atau justru sebaliknya, dinantikan segelintir atau bahkan banyak orang?

Konflik adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia dan manifestasi terbesarnya adalah perang. Maka, peperangan adalah keniscayaan yang senantiasa mengiringi sejarah manusia. Sehingga, bisa jadi orang-orang yang melulu bicara kedamaian dan menafikan peperangan sama sekali, mereka adalah orang yang naïf. Meski tentu saja tidak semua konflik harus diselesaikan dengan kekerasan.

Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah pun mengakui, bahwasanya “Perang dan berbagai macam pertempuran tidak berhenti terjadi pada manusia sejak Allah menciptakannya... Perang adalah hal biasa pada manusia, yang tak satu pun bangsa atau generasi terhindar darinya.”

Kalau kita menilik kicauan Nietzsche dalam Sabda Zarathustra, naluri peperangan sebagai bagian tak terpisahkan dari diri manusia disampaikannya secara lebih radikal lagi. Seolah-olah Nietzsche menyatakan bahwa kita memang harus selalu hidup dalam kondisi berperang.
“Kalian akan mencintai perdamaian sebagai jalan menuju perang yang baru – dan lebih baik perdamaian yang pendek daripada yang panjang… Orang bisa duduk diam dan tenang ketika ada panah dan busur di tangan; jika tidak, kalian akan beradu mulut dan bertengkar. Jadikan perdamaianmu sebuah kemenangan! Kalian berkata, tujuan baik akan mensucikan sebuah perang! Aku katakan kepadamu, sesungguhnya perang yang baiklah yang mensucikan semua tujuan. Perang dan keberanian telah melaksanakan lebih banyak hal besar daripada cinta sesama. Bukan belas kasihanmu, tapi keberanianmulah yang menyelamatkan para korban.”

Pada dasarnya manusia memiliki fitrah berupa naluri mempertahankan diri untuk melindungi eksistensinya. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengistilahkannya dengan gharizatul baqa. Oleh karena itu sebagian dari kita berpotensi menentang bahkan membenci peperangan sebab kita sudah melihat betapa kejamnya peperangan yang di dalamnya terdapat saling bunuh, menumpahkan darah sesama manusia.

Allah SWT sendiri yang memerintahkan berjihad, sudah mewanti-wanti dalam surah Al-Baqarah Ayat 216: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Naluri mempertahankan eksistensi sebenarnya juga dapat memicu terjadinya peperangan. Perluasan dari gharizatul baqa sepertinya adalah keinginan menguasai, mendapatkan yang sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya untuk kepentingan dirinya atau kelompoknya. Kita tentu ingat dengan motivasi penjajah Barat dulu dalam mengekspansi wilayah dunia yakni gold, glory disamping gospel.

Tentu saja ada yang menguasai, berarti ada yang dikuasai. Inilah yang tampaknya memunculkan penjajahan, penjajah dan pihak yang dijajah. Naluri mempertahankan diri yang dimiliki pihak yang akan dikuasai takkan membiarkan serta merta dirinya dijajah. Maka terjadilah konflik: peperangan.
Ibnu Khaldun memaparkan bahwa asal mula terjadinya perang adalah adanya keinginan sebagian manusia untuk menghancurkan sebagian yang lain. Penyebab keinginan menghancurkan tersebut kebanyakan berupa empat hal, yaitu: ketersinggungan atau persaingan, penganiayaan, kemarahan karena Allah dan agama-Nya, atau kemarahan demi membela kekuasaan dan usaha untuk mempertahankannya.

Jika memang peperangan adalah keniscayaan, Islam sebagai ideologi yang sempurna tidak hanya memerintahkannya namun juga mengaturnya. Islam tidaklah menjadikan penganutnya sebagai penggila perang yang mencari-cari musuh untuk sekadar memuaskan naluri belaka.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani jihad didefinisikan secara syar’i sebagai mencurahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah secara langsung, atau dengan bantuan harta, pemikiran, memperbanyak perbekalan, dan lain sebagainya. Maka berperang untuk sekedar memuaskan keserakahan demi meraih kekuasaan, harta ataupun materi lainnya bukanlah jihad.

Pada dasarnya Islam sangat menghormati nyawa manusia. Memelihara kehidupan seorang manusia adalah seakan-akan memelihara kehidupan semua manusia dan sebaliknya, membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan syara adalah seakan-akan membunuh semua manusia (Al Maidah [5]: 32).  Ancaman neraka dan laknat Allah ditujukan bagi pembunuh orang yang tak bersalah secara sengaja (An-Nisaa [4]: 93). Hukuman yang layak di dunia bagi pembunuh adalah balas dibunuh sesuai hukum qishosh. Inilah ketegasan hukum Islam dalam memelihara jiwa, untuk menimbulkan efek jera agar tidak bermain-main dengan nyawa.

Kondisi yang mewajibkan umat Islam untuk berperang adalah ketika dakwah Islam yang disampaikan dengan cara baik-baik dirintangi secara fisik, yakni terdapat pasukan musuh yang mengancam akan memerangi kaum muslim (An-Nisaa [4]: 91). Kondisi lain adalah perang melawan orang-orang murtad, pemberontak atau pengacau keamanan yang merongrong negara Islam, perang dalam mempertahankan kemuliaan umum maupun khusus, perang melawan kezaliman penguasa kafir, dan melawan perampas kekuasaan Khalifah yang sah. Perang dalam konteks tersebut dapat terlaksana secara optimal ketika negara Islam (Khilafah) sudah tegak, sehingga ada Khalifah yang memimpin kaum muslim untuk mengatur segala hal penting terkait peperangan.

Etika peperangan dalam Islam setidaknya tergambar dari khutbah Muhammad al-Fatih saat menaklukkan Konstantinopel. Beliau mengatakan, “…wajib bagi setiap pasukan, menjadikan syariat selalu di depan matanya dan jangan sampai ada diantara mereka yang melanggar syariat yang mulia ini. Hendaknya mereka tidak mengusik tempat-tempat peribadatan dan gereja-gereja. Hendaknya mereka jangan mengganggu para pendeta dan orang-orang lemah tak berdaya yang tidak ikut terjun dalam pertempuran.”

Saat belum dituntut untuk mengangkat senjata mempertaruhkan nyawa, setidaknya kita pun tengah menghadapi peperangan sengit yang juga membuat tegang urat di dahi, yakni perang pemikiran sebagai bagian dari konflik antar peradaban. Sebagaimana tesis Samuel Huntington dalam “Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia”, hegemoni dan arogansi Barat dalam menyebarkan ideologi liberalismenya mendapat tantangan (salah satunya) dari Islam, selepas kolapsnya sosialisme Uni Sovyet.

Perang ide bukan sekedar wacana karena kita dapat menyaksikannya langsung dalam perdebatan di media sosial, propaganda media massa, mimbar-mimbar politik atau seminar hingga melalui tayangan hiburan sinetron, film, stand up comedy atau video klip dan lirik musik. Mungkin bagi kita yang menafikannya sendiri tak sadar, bahwa melalui itu semua kita direcoki dengan pemikiran liberal seperti pengakuan terhadap hak-hak LGBT, persetujuan peredaran miras, kebebasan berbusana, pelaziman terhadap seks bebas dan sebagainya.

Yang tak kalah penting, kita tak boleh mengabaikan peperangan yang terdekat dari diri kita. Sesungguhnya pertarungan terbesar adalah pertarungan melawan monster dalam diri, mengendalikan hawa nafsu yang seringkali membutakan kita akan tujuan akhir diciptakannya manusia di dunia.

0 komentar:

Posting Komentar

.