Pages

Senin, 20 Agustus 2012

Senyuman

Siang itu, selepas kuliah, entah apa yang sedang Bejo pikirkan dan rasakan, ia sudah lupa persis. Yang jelas seperti rutinitas sebelumnya ia memacu motor bebeknya yang canggih itu, melewati jalan Unlam memintas pulang menuju kontrakan.

Di tengah jalan, Bejo berpapasan dengan seorang senior di organisasi pergerakan kampus. Sebenarnya Bejo hampir tidak sempat mengenalinya, tapi sepintas Bejo melihatnya dan berupaya menyapanya. Dan dalam momen yang hanya beberapa detik itu, ketika mereka saling bertatapan, dengan reflex seperti halnya Iker Casillas memblok pinalti Sugeng Wahyudi (pemain Barito Putera-red), sodara Bejo tersebut mengembangkan sebuah senyuman.

Efek senyuman yang ikhlas mungkin seperti efek umpan balik positif sistem endokrin. Ketika Anda dengan ikhlas menyunggingkan senyuman kepada saudara anda, maka saudara anda akan tersugesti untuk harus membalasnya dengan tulus pula. Lalu kau yang melihat balasan yang indah dari saudaramu tersebut akan merasa semakin bahagia dan bermultiplikasilah semangat untuk menjalani hari itu.

Dan benarlah, sabda seseorang yang kita cintai lebih dari diri kita sendiri, bahwasanya jangan meremehkan sedikitpun tentang makruf meskipun hanya menjumpai kawan dengan berwajah ceria, atau tersenyum. Hadits riwayat Muslim.


***

Di waktu yang lain.. Bejo melakoni perjalanan dinaungi terik matahari siang yang khas panasnya, dengan latar jalan protokol Banjarmasin yang seperti biasa dipenuhi kendaraan berseliweran. Laju motor yang dipacu Bejo harus tunduk terhenti oleh lampu lalu lintas yang menyatakan merah dengan tegas. Ah, berhenti di tengah terik begini memang cukup menyiksa. Apalagi debu berterbangan di atas jalan aspal yang tandus. Di samping Bejo seorang pria berkumis yang juga mengendarai motor menghisap dalam-dalam rokok yang terselip di bibirnya. Lalu menghembuskan asap ‘berhala’ lima senti itu lewat hidung dan mulutnya. Tentu ini membuat Bejo semakin keki.

Adalah di depannya seorang bocah perempuan yang menyapu kaca mobil dengan kemoceng tanpa diminta. Tak jauh dari situ ada pula anak laki-laki yang mendendangkan lagu disertai musik perkusi dari temannya yang terlihat lebih tua. Satu lagi, bocah yang bermahkotakan topi hitam usang, yang paruhnya dibalik ke belakang, sedang menawarkan kepada pengguna jalan koran.

“Koran, om?” tawarnya kepada Bejo, menyadarkan dari lamunannya sekilas. Bocah itu tersenyum. Dan tanpa sadar sebelum menjawab, senyum Bejo pun refleks mengembang.

“Oh ya, boleh. **** post ada?”

“Oke, ini om” bocah itu menyerahkan koran yang Bejo inginkan. Sementara itu Bejo berpikir, bukankah waktu saat ini seharusnya adalah jam sekolah? Waktu di mana bocah ini mestinya berada di dalam kelas, bercengkerama dengan teman sebangkunya sembari menunggu sang guru masuk ke dalam kelas.

“Kamu gak sekolah dek?” tanya Bejo, terlontar hampir tanpa sadar setelah menaksir kiranya ini bocah sudah berada di bangku SMP.

“Gak om, gak ada waktu lagi buat mikirin yang kayak gituan. Ibu saya juga maunya sih nyuruh sekolah. Tapi saya kasian sama ibu. Yah, mending nyari duit aja.” sang bocah bertutur, dengan senyumnya yang masih belum luntur. Terbersit sebuah perasaan di benak Bejo. Ia rogoh selembar uang di saku bajunya sembari berkata, “oo, gitu.” Tepat ketika lampu lalu lintas berwarna hijau, Bejo serahkan uang tadi ke sang bocah. Uang yang juga berwarna hijau.

“Tunggu bentar om kembaliannya,” bocah itu membuka resleting tas pinggangnya. “Gak usah repot-repot, itu anggap aja hadiah,” Bejo tersenyum, ia sempat memandang sekilas ekspresi keheranan sang bocah, sebelum memacu maju lagi motornya.

Di jalan, pikiran bejo kembali menerawang. Melihat nasib bocah loper koran tadi juga teman-teman senasibnya yang lain, yang mestinya sedang menerima pengajaran dari guru di sekolah, hatinya miris. “Anak sekecil itu, berkelahi dengan waktu,” sepenggal lirik dari Iwan Fals hadir dalam kepalanya. Bejo lalu teringat dengan berita pagi tadi yang dibacanya di internet. Lagi-lagi kasus korupsi, terampoklah uang negara puluhan milyar. Dan terbayang wajah tersangka koruptor kasus lain, di mana ia hanya senyum-senyum saja ketika mendengar vonis pengadilan hanya beberapa tahun menghukumnya penjara.

Membandingkan koruptor itu dengan bocah-bocah lusuh di jalanan tadi, Bejo menganggap para bocah itu jauh lebih mulia. Mereka berpanas-panas ria, dalam kondisi kesusahan mereka tak mau hina dengan mengemis, meminta-minta. Apalagi mencuri.

Kegeraman Bejo tak berhenti sampai di situ. Ia menyadari bahwasanya berbagai kerusakan di negeri ini dan belahan dunia lain terjadi tak lepas akibat ulah tangan manusia itu sendiri. Dan ini erat kaitannya dengan tak diterapkannya hukum-hukum Allah SWT yang termaktub dalam ayat-ayat suci. Bukankah sudah dijanjikan, jika penduduk negeri beriman dan bertaqwa pasti akan Dia limpahkan berkah dari langit dan bumi? Dan saat fakta bisa dilihat saat ini, “wa laa kin kadzdzabuu” sebagaimana firman Allah, namun mereka mendustakan ayat-ayat Kami.

Dunia saat ini dicengkeram oleh hegemoni kapitalisme. Dengan topengnya demokrasi yang berasal dari induk yang sama, sekularisme. Sebagaimana kebencian penduduk AS sendiri, yang mengungkapkannya dalam gerakan “Occupy Wall Street”, Bejo pun menganggap kapitalisme ini mesti dihabisi. Menjelang akhir perjalanannya, Bejo menguatkan tekadnya untuk terus bersama mereka yang lain, dalam upaya perlawanan terhadap sistem yang dianggap “menyejahterakan 1% penduduk dan menyengsarakan 99% lainnya.”

Bejo juga teringat bahwa berbagai fakta menunjukkan masyarakat dunia menginginkan perubahan. Belum lagi hasil analisis National Intellegence Council (NIC) di Amerika bahwa tahun 2020 terdapat beberapa kemungkinan konstelasi politik di dunia ini. Salah satunya kembali tegaknya a new caliphate, Khilafah Islam yang akan menyatukan kembali kaum muslim. Dibarengi perasaan optimis, Bejo tersenyum.

***

Sementara itu di Syria, salah satu dari bagian bumi Syam. Seorang pria memanggul senjata berpamitan kepada keluarganya, dan berkata kepada seorang saudaranya. “Tolong jaga anakku, aku pergi berjuang untuk kebebasan mereka,” Pria itu tersenyum. Ia pun berbalik setelah mengucapkan salam, pergi meninggalkan rumah.

Beberapa hari kemudian, sang pria pulang ke rumah. Namun dalam keadaan tak bernyawa sudah. Anak laki-lakinya menatap jasad sang ayah dengan pandangan yang nanar. Kekejaman rezim Bashar al Assad, yang menjajah dan membunuhi sendiri rakyatnya masih berlanjut. Berlanjut pula perlawanan kaum muslim yang berperang demi mendapat kemuliaan memasuki syurga tanpa mengalami hisab. Entah sampai kapan.

Di antara mereka yang insya Allah telah syahid itu, terpancar senyum. Jasad itu, terbujur kaku dalam keadaan tersenyum. Dan ketika melihat foto yang mengabadikan hal tersebut, aku pun turut tersenyum.

0 komentar:

Posting Komentar

.