Pages

Kamis, 21 April 2011

Budaya, Agama dan Islam

Di sebuah perkuliahan kami tersentak dengan pertanyaan yang diluncurkan dari mulut dosen baru kami yang tak lebih dari hitungan jam kami mengenalnya. 
“Apakah agama itu merupakan bagian dari budaya?” 
Ini berangkat dari pertanyaan beliau sebelumnya mengenai apa itu budaya lalu dijawab oleh kawan-kawan bahwa budaya itu, intinya, adalah hasil dari pemikiran manusia sebagai makhluk yang berotak. Maka kalau dihubungkan dengan ini, pertanyaan mengejutkan yang saya tulis di awal tadi bisa diartikan sebagai ‘apakah agama merupakan hasil pemikiran manusia?’ Dan di benak saya lebih jauh saya terjemahkan sebagai ‘apakah Tuhan itu hasil pemikiran manusia?’ Karena agama secara umum merupakan ajaran yang datang dari Tuhan melalui utusan.
Dan itu pula jawaban yang coba diajukan kawan-kawan saya. Mereka menolak agama hasil pemikiran manusia dan lebih senang menuturkan agama itu berasal dari Tuhan. 
“Apa buktinya?” Dosen kami memancing lagi. 
“Al-Qur’an buktinya, Pak”. 
“Lalu.. apa bukti al-Qur’an berasal dari Tuhan?”

Terbengong-bengonglah seisi kelas walaupun saya tahu diantara mereka ada yang bisa menjawab pertanyaan simpel namun perlu uraian yang logis dan panjang dalam menjawabnya. Saya yang sudah gatal untuk angkat bicara akhirnya mencoba menjawab, yang intinya adalah ada tiga kemungkinan oleh siapa al-Qur’an dibuat, yaitu dari manusia khususnya bangsa Arab, Muhammad saw selsaya pengajar al-Qur’an, dan terakhir Allah swt. Namun belum selesai saya menuntaskan jawaban sang dosen memotong jawaban saya dan berkata, 
‘sudah, stop, kalau jawaban seperti itu sih saya sudah tahu sejak kecil. Kalau kamu berpikiran begitu artinya mental kamu itu berarti mental yang terjajah oleh bangsa Arab’.
Saya coba melawan dengan terus melanjutkan ucapan saya namun sang dosen tak kalah ngotot menghentikan saya. Akhirnya saya berhenti, dengan sedikit rasa dongkol di hati karena selama ini kami diajarkan tentang etika bagaimana tidak memotong pembicaraan sebelum orang tersebut selesai bicara apalagi dalam sebuah forum. Namun rasa dongkol itu harus segera saya hilangkan karena saya sadar mungkin cara menyampaikan saya tadi memang ada kesalahan di dalamnya. Walaupun saya bingung, apa maksud beliau menghentikan penuturan saya, sementara kawan-kawan belum mengerti juga apa yang akan saya tuturkan. Apakah sebenarnya jawaban saya itu memang hanya untuk diri beliau? Atau jangan-jangan dosen saya itu takut dengan jawaban saya karena bisa ‘membahayakan’ kawan-kawan yang tak seakidah dengan saya? Haha, bisa jadi! Ingat, saya tetap menghargai mereka.
Terus saya perhatikan apa yang ia sampaikan, dan dari pertemuan pertama saya berkesimpulan bahwa ia seorang yang sepakat dengan ide-ide Marx. Kesimpulan yang terlalu dini mungkin.  Tapi salah satu manifestasinya bisa dilihat dari kata-katanya bahwa ideology itu adalah sebuah omong kosong. Di pertemuan berikutnya beliau muncul lagi dan lagi-lagi memunculkan pertanyaan dan pernyataan sensasional lainnya. Seperti ketidaksetujuan beliau akan poligami karena bagi beliau poligami syarat utamanya adalah keadilan, sementara tak ada manusia yang bisa adil di dunia ini, keadilan mutlak hanya milik Tuhan. Atau pertanyaan beliau tentang mengapa kalau kita berdoa tangan kita selalu ditadahkan ke atas, memangnya Tuhan itu benar-benar ada di atas? Dan lain sebagainya. Dan saya malas menanggapinya, mungkin karena saya juga tidak bisa menjawabnya, tapi juga lebih karena saya senang melihat kawan-kawansaya kebingungan sementara dosen kami tersebut terlihat puas membuat kami seperti itu. Sampai suatu ketika, entah kelepasan ngomong atau tidak, beliau mengaku sering dianggap oleh teman-temannya sebagai seorang neomarxist. Nah lo!
Tapi sungguh, saya senang sekali bisa menemui dosen seperti itu (tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada dosen-dosen luar biasa yang lain). Mengapa? Baru pertama kali saya menemui dosen unik seperti ini, yang memiliki pemikiran yang memberontak dari kelaziman yang sudah ada. Kadang pemikiran itu ada benarnya, dan tentu juga ada yang tidak benarnya. Semua itu bisa kita simpulkan dengan berpikir mencermati segala apa yang beliau sampaikan. Ya, inilah alasan mengapa saya gembira ditakdirkan bertemu dengannya. Karena beliau mengajak kami semua berpikir. Memikirkan apa yang seharusnya kami pikirkan. Terutama mengenai seperti apa yang beliau ucapkan di akhir pertemuan terakhir kami di kelas. “Saya tidak bermaksud membuat kalian murtad (saya tertawa mendengar ini). Tapi mengajak kita semua berpikir, apakah kita benar-benar pantas menjadi seorang hamba Allah.” Kamu paham kan kawan?
Saya berharap setelah pertemuan pertama yang menarik itu kawan-kawan saya berpikir keras mengenai pertanyaan dan pernyataan dosen kami itu, membuka berbagai literatur atau bertanya kepada orang lain, mencari jawabannya sampai dapat, memastikan apakah yang disampaikan sang dosen memang benar atau tidak. Apakah agama benar-benar bagian dari budaya, apakah Qur’an benar-benar bukan turun dari Allah dsb. Dan pertanyaan-pertanyaan seperti ini, bagi saya,  sebenarnya mengarah pada pertanyaan mengapa saya memilih Islam? Pertanyaan yang rasanya jarang atau malah tidak pernah ditanyakan di pembelajaran kita di sekolah bahkan di mata pelajaran pendidikan agama sekalipun. Padahal ini adalah pertanyaan krusial yang menentukan arah hidup saya, kamu, dan kita.
Tanpa bermaksud sombong insya Allah saya sudah memiliki jawaban-jawaban dari apa yang pernah diutarakan dosen kami itu semua. Mengenai pertanyaan pertama, saya setuju saja kalau agama itu bagian dari budaya, bagian dari pemikiran manusia. Sebab agama-agama yang ada sekarang, kalau mau objektif kita bisa mengatakannya telah dicemari pemikiran manusia kalau tidak mau dikatakan memang berasal dari pemikiran manusia. Agama secara etimologis terbagi menjadi ‘a’ yang berarti tidak dan ‘gama’ yang berarti kekacauan, kerusakan. Artinya pencegah kekacauan dan kerusakan. Manusia memang sifat dasarnya menyenangi kedamaian, membenci kekacauan. Sehingga wajar saja jika manusia menciptakan agama, atau malah menciptakan Tuhan dalam pemikirannya atas nama mencegah kerusakan dan mewujudkan kedamaian.
Saya tidak sedang berusaha menjadi seorang pengikut paham Plato, bukan juga sebagai Aristotelian ketika membahas ini. Saya berpikir sebagai seorang Muslim. Saya berani meyakini bahwa Islam bukanlah agama. Jika Islam tidak sama dengan agama tentu Islam juga tak merupakan bagian dari budaya. Islam adalah ideologi. Saya meyakini ini karena jelas Islam bukan hanya merupakan ajaran yang mencegah terjadinya kerusakan di muka bumi oleh tangan-tangan manusia dengan memberikan kedamaian di hati para pemeluknya. Jauh lebih dari itu Islam adalah seperangkat pemikiran yang melahirkan sistem aturan dan metode untuk menerapkannya, yang diturunkan langsung dari Allah swt Rabb alam semesta, menyelamatkan manusia tak hanya di dunia tapi juga di kehidupan selanjutnya. Yang tak sekedar mengajarkan bagaimana menentramkan hati dan menyucikan pikiran secara individu tapi juga mengatur bagaimana supaya tatanan sosial bisa menjadi rapi dan sejahtera.
Ya, Islam adalah idiologi, bukan agama. Islam akan menjadi hanya sekedar agama jika manusia yang mengembannya berpikir bahwa Islam itu hanya sekedar agama, dan jika sudah seperti itu tak ada salahnya jika Islam agama dianggap sebagai budaya. Karena tercemari pemikiran manusia, yang membatasi Islam itu sendiri.
Dan jelas ideologi bukanlah omong kosong. Jika ideologi itu omong kosong maka takkan ada cerita tentang bagaimana peradaban yang dibangun Muhammad saw mampu menerobos benteng-benteng Romawi, menekukkan lutut pasukan Persia, hingga menaklukkan Andalusia. Takkan pernah tercatat terjadinya revolusi Bolchevik yang menjadikan Uni Soviet sempat menjadi digdaya. Takkan pernah ada sejarahnya Amerika menjadi adidaya dunia (setidaknya sampai saat ini) yang para kapitalisnya menjarah sumber daya alam dengan bahasa halus liberalisasi dan mengagresi Afghanistan dan Irak tanpa ampun. Ideologi itu ada, pemikirannya bisa terwujud dengan aturan dan metode penerapan yang nyata. Dan selama ketiga ideologi besar dunia masih memiliki orang-orang yang setia mengembannya, benturan demi benturan dengan alasan ideologi akan tetap berlangsung, hingga menyisakan satu pemenang. Maka jadilah bagian dari sejarah itu kawan.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Afwan,pengertian ideologi mnrt sdr bgmn?

Kalau mnrt an,jelas Islam adalah agama.
agama satu-satu x. agama yg universal dr segi masa,sistem,tempat. Karena islam menyeluruh dari segi masa,tatanan,dan tempat, maka islam-lah yang pantas menjadi tatanan hidup,trmasuk tatanan sosial, politik, ekonomi,militer,pendidikan,dsb.
agama bukanlah budaya, bukan hasil pemikiran. Karena islam adlh agama manusia pertama.

Mngp sampai tercemari pemikiran manusia?
Dlm Al Quran djelaskan, Alloh marah kpd org yg beriman dgn sebagian Al Quran dan ingkar terhadap sebagian yang lain (inilah kondisi umat sekarang)
Karena itu, tidak boleh memecah-mecah ajaran Islam. sekularisme sangat ditolak.

Wallahu a`lam.

Adit Ahmad mengatakan...

Ideologi adalah pemikiran mendasar yang melahirkan peraturan-peraturan untuk kehidupan.
Islam jelas adalah ideologi, karena ia memiliki 2 unsur yang merupakan kriteria ideologi, yaitu fikrah (pemikiran mendasar yang menyeluruh tentang kehidupan, yaitu aqidah Islam)dan thariqah (cara pelaksanaan aturan yang lahir dari aqidah, yaitu syariat Islam). Semuanya ada di al-Qur'an dan al-Hadits, digali dengan ijtihad ulama.

Mengapa saya tidak sepakat dengan pernyataan Islam itu agama? Agama sebenarnya kata dari bahasa Sansekerta, yang artinya tradisi. Lagipula mengganggap Islam itu agama akan 'merendahkan' derajat Islam sebagai aturan yang sempurna, menjadi selevel dengan agama-agama lain, yang tak ada konsep tentang kehidupan yang sempurna dalam ajarannya.

Lebih tepat, sepemahaman saya, menyebut Islam sebagai 'ad-diin' sebagaimana yang ada di nash, yang berarti aturan hidup. Atau mabda (ideologi) karena memang Islam telah memenuhi kriteria ideologi itu sendiri.

Posting Komentar

.