Pages

Rabu, 02 Februari 2011

Insiden Tunisia-Mesir: Gelombang Revolusi?

Revolusi telah menjadi tren akhir-akhir ini? Kebosanan rakyat terhadap rezim yang berkuasa di negerinya telah terakumulasi sedemikian rupa. Dan berbagai pergerakan massa yang diklaim sebagai revolusi, menjadi kulminasinya. Rakyat telah muak, merasa realita yang ada sangat jauh dari kondisi ideal yang mereka harapkan. Satu dua mungkin nantinya tiga atau bahkan lebih Negara di Afrika-Timur Tengah sepertinya telah dan bakalan tersapu gelombang revolusi ini.

Di Tunisia, Negara Afrika Utara yang miskin, seorang pemuda penjual sayur telah memicu riak-riak revolusi. Dia seorang sarjana yang karena tak kunjung mendapat pekerjaan, dengan jiwa besarnya tak rela menjadi pengangguran biasa lalu mulai mendorong gerobak sayur berusaha mendapati penghasilan yang mungkin tak seberapa. Namun zalimnya pemerintah di sana, sudah tak menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya, melalui kakitangannya yaitu petugas keamanan, merazia pula dengan paksa gerobak sayur si pemuda dengan alasan tak berizin. Sebagai rakyat kecil ia tak kuasa melawan, pasrah lalu kecewa berat. Ia tulis surat kepada ibunya, sebelum menyulut api kepada tubuhnya sendiri, yang mungkin tanpa ia sadari kematiannya setelah itu akan memantik pula api perlawanan rakyat yang juga sudah muak menyaksikan tingkah pongah penguasa.

Rezim Ben Ali dikenal sebagai rezim diktator yang dibeking oleh Prancis dan Amerika. Kebijakan-kebijakan represif semacam pelarangan jilbab pernah diterapkan oleh rezim ini. Korupsi merajalela di kalangan pemerintahan sementara harga pangan terus meninggi dan angka pengangguran makin meningkat. Presiden Ben Ali yang tak tahan tekanan akhirnya meletakkan jabatannya lalu kabur ke Arab Saudi.


Yang menarik, di tengah-tengah krisis suatu kelompok massa menyerukan Tunisia agar menerapkan kembali suatu sistem kehidupan yang sama sekali berbeda dengan kapitalisme. Mereka meneriakkan takbir, kata-kata semacam Khilafah adalah solusi, mewanti-wanti untuk tidak melakukan kerusakan dan menyeru di hadapan barisan tentara Tunisia: “Wahai tentara muslim, di mana Anda di Palestina? Di mana Anda di Irak? Lepaskanlah rantai penguasa yang membelenggu leher anda! Hai pasukan Muslim, kami siap bersama anda, dengan darah, jiwa, dan anak-anak kami! Hapuskan rezim yang menindas dan dukunglah pemimpin yang satu untuk semua kaum muslimin!” Namun sayang, hal seperti ini rasanya tak pernah disoroti oleh media mainstream.

Di negerinya para Fir’aun, Mesir, masyarakat tertular virus semangat perlawanan Tunisia. Demonstrasi besar-besaran juga terjadi, menuntut mundurnya Presiden Hosni Mubarak yang telah memimpin selama 30 tahun. Pergerakan massa, sebagaimana juga di Tunisia dimudahkan dengan jejaring sosial semacam facebook dan twitter yang menjadi wadah bagi para aktivis untuk bertukar informasi dan merencanakan gerakan. Rezim represif Hosni Mubarak memberlakukan jam malam bagi rakyat, menurunkan militer untuk meredam massa, dan menangkapi lebih dari 1000 orang selama 4 hari unjuk rasa. Namun masyarakat tak peduli, mereka tetap kukuh akan pendirian mereka meski selama beberapa hari korban tewas telah mencapai ratusan.

Mubarak, kakek-kakek berumur 80an itu tetap tak mau mengakomodasi kehendak rakyatnya untuk mundur dan hal ini menyebabkan kemarahan massa makin memuncak. Pada 1 Februari, sekitar satu juta lebih masyarakat memenuhi Tahrir Square untuk berunjuk rasa dengan tema yang sama. Waw, hitungan juta tentu bukan jumlah yang sedikit.

Di belahan dunia lain, kantor berita Associated Press mengungkapkan puluhan ribu warga Yaman turun ke jalan-jalan di berbagai kota. Mereka menuntut perbaikan kesejahteraan dan mendesak Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah memerintah selama 32 tahun turun. Rezim Saleh dianggap tercemar korupsi kronis, hal yang sangat mengesalkan tentunya bagi masyarakat Yaman yang merupakan Negara termiskin di Jazirah Arab.

Dan tak cukup hanya tiga Negara, Negeri lain seperti Aljazair dan Sudan dikabarkan ikut meramaikan suasana, gelombang demonstrasi menolak pemerintah diberitakan tengah berlangsung juga di sana.

Pertanyaannya sekarang apakah insiden di berbagai Negara muslim akhir-akhir ini nantinya akan benar-benar menjadi revolusi yang akan mengubah keadaan masyarakat menjadi lebih baik? Semoga saja! Kita tunggu dan saksikan saja nanti.

Lalu, bagaimana pengaruhnya di Indonesia? Akankah kita termotivasi pula untuk melakukan hal yang sama? Sepertinya menarik!

Memang rasanya kondisi kita juga tak jauh beda dengan kondisi negeri-negeri di atas tadi, misalnya sama-sama banyak masyarakat yang miskin dan korupsi yang tengah merajalela hampir di semua instansi bahkan penegak hukum sekalipun. 70 juta rakyat Indonesia diperkirakan menderita kemiskinan, dihitung dari jumlah penerima Raskin tahun lalu. Korupsi telah mengakar sedemikian kuatnya, upaya yang digembor-gemborkan pemerintah untuk memerangi masalah satu ini tak kunjung menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Bahkan satu Negara Indonesia tak sanggup mengatasi satu orang pegawai biasa di perpajakan, Gayus H. Tambunan, yang telah merugikan Negara puluhan milyar. Dan masih banyak lagi kebohongan-kebohongan yang dilakukan pemerintah, dan para tokoh lintas agama berkoar di awal tahun lalu bahwa ada total 18 kebohongan besar pemerintahan Indonesia. Sementara itu presiden kita malah ‘curhat’ mengenai gajihnya yang selama 7 tahunan ini belum juga naik. Revolusi memang sangat tepat dan menyenangkan!

Tapi sabar dulu. Yang perlu diperhatikan, sebuah gerakan perubahan akan menjadi revolusi hanya tatkala tak cuma rezim penyengsara diganti, tapi sistem pemerintahan di negeri tersebut dirombak sepenuhnya menjadi sistem yang sama sekali baru, yang diyakini oleh para pelaku revolusi sebagai solusi permasalahan. Maka yakinlah revolusi Tunisia takkan lagi berasa revolusi jika kapitalisme masih tak dienyahkan dari sana walau Ben Ali telah turun, ngacir ke luar negeri dan pemerintahan dipegang oleh orang yang baru. Tentu hal ini berlaku juga untuk yang lain.

Konsep revolusi dalam Islam yang satu-satunya ideal, yaitu revolusi Madinah dengan pelaku utamanya Muhammad SAW telah mengajarkan bagaimana perubahan mendasar bisa dilakukan tanpa menggunakan kekuatan fisik, kekerasan, demonstrasi rusuh dan semacamnya. Dan saya yakin revolusi yang mengatasnamakan ideologi Islam hanya akan terwujud dengan metode yang dicontohkan beliau SAW. ‘Revolusi’ lewat people power yang telah menyeruak akhir-akhir ini, dengan berbagai kerusakan yang diakibatkannya tentu belum bersesuaian dengan metode Rasulullah. Tapi jelas bagi kita, insiden-insiden itu merupakan bukti bahwa kepemimpinan saat ini, yang diktatorian-kapitalistik-sekular sangat memuakkan bagi masyarakat, membuat mereka sangat menginginkan perubahan. Nah, tinggal perubahannya saja yang seperti apa. Jika sistem yang diterapkan masih sistem sekular dan demokrasi masih diharapkan sebagai solusi, percayalah yang ada hanya ada pergantian rezim semata tanpa perbaikan keadaan yang nyata. Contohnya adalah negeri Indonesia tercinta kita ini yang setelah reformasi keadaannya begini-begini saja. Atau malah mungkin lebih parah? Bisa jadi!

Kita menyambung lagi pembicaraan tentang metode revolusi yang benar. Untuk bisa mencetuskan revolusi Islam yang murni, semua strata masyarakat baik yang melarat atau konglomerat, pemuda atau tua, tukang becak sampai pejabat harus diyakinkan sepenuhnya bahwa hanya Islam yang bisa menjadi solusi permasalahan. Bukan yang lain. Lagipula ini merupakan tuntutan bagi yang berakidah muslim untuk menerapkan aturan Islam secara holistik, mengembalikan tugas manusia sesungguhnya sebagai khalifatuLlah menegakkan hukum-hukum-Nya di muka bumi.

Jika opini umum telah terbentuk di tengah segenap lapisan masyarakat, yakni pentingnya penerapan Islam saat ini dan di tempat ini bagaimanapun keadaannya, maka mereka akan menuntut tegaknya sebuah Negara baru dengan sistem Islam, yang akan membebaskan negeri mereka dari himpitan ketiak para kapitalis beserta antek-anteknya. Para pemegang kekuatan dan kekuasaan yang sadar lalu akan memberikan sepenuhnya kedaulatan hukum kepada Allah swt, merombak secara kaaffah perundangan jahiliyah yang ada saat ini dan menggantinya dengan aturan berlandaskan al-Qur’an dan sunnah. Saat itulah akan berdiri sebuah Negara Khilafah Raya, Negara yang akan menjadi adidaya baru di dunia ‘persilatan’ muka semesta.

Pertanyaannya lagi, siapa yang mau dan akan mengemban amanah revolusi ini? Pekerjaan yang tentunya bukan hal mudah, untuk mewujudkannya diperlukan kerja keras dan kekonsistenan yang mutlak. Tentu saja kita tahu jawabannya yang itu bergantung pada pilihan kita semua. Apakah kita tak merasakan gejolak yang sama yang dialami masyarakat Tunisia, Mesir, dan lain-lain, dan bisa hanya duduk manis menyaksikan aksi-aksi mereka? Oh, ayolah!

0 komentar:

Posting Komentar

.