skip to main |
skip to sidebar
Dunia
beberapa hari ini dikejutkan seseorang yang dianggap memparodikan tokoh
antagonis dalam cerita fiksi kepahlawanan. Ia tampil atraktif di atas
panggung kriminalitas mengerikan alam nyata. Siapa yang tak tahu dengan
Joker? Salah satu musuh utama pahlawan Gotham, Batman itu kali ini tak
hanya beraksi dalam komik ataupun layar lebar. James Eagan Holmes, 24
tahun, menciptakan kecekaman luar biasa ketika melakukan pembantaian
sadis di tengah pemutaran perdana film terbaru sang manusia kelelawar,
di Kota Aurora, Colorado, Amerika Serikat.
Entah demi mencari
sensasi atau apa, Holmes mengecat merah rambutnya ketika melakukan aksi
penembakan sadis itu. Para penonton di bioskop yang sedang larut dalam
pemutaran film berjudul Batman, The Dark Knight Rises, tak akan pernah
menyangka hal ini. Holmes yang mengenakan topeng gas air mata, helm dan
jaket hitam anti peluru melemparkan dua kaleng gas ke arah kursi
penonton lantas membabibuta secara acak merentetkan tembakan ke arah
penonton. 12 orang tewas dan 58 lainnya terluka, termasuk yang terluka
adalah 3 orang warga negara Indonesia.
Di Amerika kegilaan
semacam ini bukan yang terjadi kali pertama. Sebelumnya di 2007 seorang
mahasiswa kesetanan mengeksekusi mati 32 nyawa juga dengan senjata api.
Maka kita berpikir, tekanan macam apa yang membuat orang sedemikian gila
hingga semudah itu manusia menghabisi nyawa orang lain? Dan dimana
mereka mendapatkan sarana semacam senapan serbu AR-15, Remington atau
pistol Glock kaliber 40?
Banyak hal di dunia yang bisa
menyebabkan seseorang menjadi gila apalagi bila orang tersebut tak punya
pegangan yang jelas dalam hidupnya. Tapi akan lebih gila bila kita
menyediakan orang yang hilang akal sarana dan media untuk pembantaian.
Masalah yang terjadi di AS terkait ini adalah begitu mudahnya akses
untuk mendapatkan senjata api. Bayangkan saja, kebijakan di beberapa
negara bagian di AS membuat toko senjata di sana tidak mewajibkan
pembelinya mengisi formulir dan mengurus registrasi kepemilikan. Ada
juga bank di Detroit yang menghadiahkan para nasabahnya yang baru
membuka rekening dengan seperangkat senapan dan pelurunya. Tanpa meminta
restu orang tua anak berusia 12 tahun pun konon sudah bisa membeli
sepucuk pistol.
Michael Shure, seorang pegiat anti senjata di
AS menuding pabrik senjata api banyak mengintervensi parlemen saat
menyusun UU senjata api. “Tak bisa dipungkiri, Asosiasi Senjata Nasional
(N-RA) bentukan pabrik senjata selalu melobi parlemen agar
undang-undang mengakomodasi hak warga negara untuk melindungi diri,”
ujarnya. Dalih hak warga melindungi diri yang diatur undang-undang itu
memudahkan akses masyarakat mendapat senjata, dan di seluruh AS saat ini
diperkirakan telah beredar 200 juta senapan dan pistol. Hasilnya? Data
menunjukkan lebih 29 ribu warga tewas tiap tahun karena kekerasan
senjata api, dan 2825 di antaranya adalah anak-anak.
Kita bisa
melihat kacaunya regulasi di negeri sales demokrasi ini. Demokrasi yang
katanya sistem dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat tak sesuai dengan
nyatanya. Rakyat yang mana? Ini seperti hukum rimba yang segala
keputusan diserahkan sepenuhnya kepada warga rimba, namun tetap saja
yang berkuasa adalah rakyat rimba yang kuat semacam singa. Segelintir
rakyat yang memiliki modal banyak -para kapitalis- adalah singa di rimba
demokrasi. Fakta tak dapat dipungkiri, mereka mampu mempengaruhi dewan legislatif untuk menelurkan berbagai kebijakan yang menguntungkan mereka
namun menciptakan kesengsaraan dan kekacauan di tengah masyarakat..
Demokrasi yang lahir dari semangat sekularisme banyak bertanggungjawab
akan lahirnya banyak orang gila di muka bumi akibat dijauhkannya wahyu
dari Allah dalam membimbing manusia menjalani hidup. Demokrasi sejatinya
adalah hal utopis, namun dipaksakan dan menciptakan kebebasan
berperilaku hampir tanpa batas yang mengerikan. Apa yang bisa kita
lakukan adalah tak perlu menunggu sesosok pahlawan bertopeng kelelawar,
berjubah lebar ataupun bercawat di luar untuk berusaha memberantas induk
kejahatan yakni demokrasi ini.
0 komentar:
Posting Komentar