Kita tentu tahu
Bilal bin Rabbah ra. Salah satu tokoh dalam sejarah Islam yang
mengukirkan namanya dengan tinta emas, meski awal sejarah hidupnya
adalah orang yang papah, tak dihargai, budak yang diperjualbeli dan
mungkin tak dipandang sebelah mata. Lalu dengan Islam, nama Bilal bin
Rabbah ra menjadi mulia, bahkan menjadi rujukan amal-amal shalih yang
kita lakukan saat ini.
Kita juga ingat sosok Abu Dzar al Ghiffary ra, seorang manusia yang mencari kebenaran dengan seluruh hidupnya. Menebus kebenaran dengan nyawa. Membela kebenaran dengan seluruh keberanian jiwanya. Dua manusia mulia yang pernah dilahirkan oleh sejarah Islam, hasil dari tarbiyah Rasulullah saw.
Suatu ketika, keduanya pernah berselisih pendapat. Entah karena didorong rasa apa, Abu Dzar ra sampai mengucapkan kata-kata yang sangat menyinggung Bilal bin Rabbah ra. “Hai, anak orang hitam!” kata Abu Dzar ra pada Bilal bin Rabbah ra.
Sahabat Bilal sangat sedih, dan mengadukan hal ini pada Rasulullah saw, sang pemimpin yang adil dan penuh kasih sayang. Setelah mendengar pengaduan sahabatnya Bilal, Rasulullah memanggil dan mengajak Abu Dzar berbicara.
Singkat cerita, setelah obrolan bersama Rasulullah tersebut, Abu Dzar menyadari betul ada sifat dan perilaku jahiliyah yang masih tertinggal dan dilakukannya. Abu Dzar merasa, seharusnya tak terjadi hal yang demikian, apalagi pada sahabat sendiri yang telah dimuliakan oleh Islam dan memuliakan Islam.
Dengan sungguh-sungguh, kemudian Abu Dzar mencari Bilal bin Rabbah. Ketika menemui Bilal bin Rabbah, Abu Dzar duduk dengan penuh takzim di depannya. Kemudian Abu Dzar meminta maaf, ia tempelkan sebelah pipinya ke tanah dan berkata, ”Wahai Bilal, injaklah pipiku dengan kakimu.”
SubhanaLlah!
Sejarah di atas -yang saya kutip dari tulisan ust.Herry Nurdi- menggambarkan kepada kita seserius apa generasi manusia terbaik dalam meminta maaf. Kita semua adalah manusia. Kita adalah makhluk yang terbatas, meski seoptimal apa pun meminimalisir kesalahan akan ada batasan tertentu di mana kita melakukan kekhilafan. Saya, sering alpa dan lupa. Dan ketika itu terjadi maka mestinya perasaan bersalah menyeruak ke permukaan dan permintaan maaf mestinya saya lakukan meski tak jarang itu mungkin tak bisa langsung menebus semua kesalahan kepada pihak yang bersangkutan.
Acapkali kata maaf diganti dengan kata sori. Padahal kata sori itu seakan hambar dan tidak berarti, apalagi jika sekadar diucapkan begitu saja dengan intonasi datar tanpa ekspresi. Atau juga, kata maaf biasa diubah dengan afwan. Namun seiring banyaknya kesalahan kata itu makin mudah dan ringan terlontarkan.
Adakalanya kesalahan meskipun kecil cukup rajin dilakukan, sehingga kata maaf, sori atau afwan pun semakin sering ditebarkan namun seakan menjadi rutinitas yang menjemukan. Kenyataan bahwa manusia makhluk yang tak sempurna seharusnya tak selalu menjadi pembenaran kala kesalahan-kesalahan (yang sering kita anggap) kecil berkali-kali diperbuat, sementara kita untuk berintrospeksi dan memperbaikinya seakan tak berminat kuat. Bukankah aneh jika datang memenuhi janji sering terlambat, mengembalikan barang pinjaman selalu telat bahkan menyalahi akad dengan alasan dibuat-buat? Bagaimana jika yang bersangkutan menganggap kesalahan tersebut adalah hal yang sangat mengesalkan?
Dan sering juga akal sehat dikalahkan oleh naluri ke’aku’an. Suatu kesalahan yang telah jelas menimbulkan kerugian kadang masih saja membuat kita gengsi untuk melakukan pengakuan. Perseteruan, kesalahpahaman yang sering terjadi akibat minim komunikasi biasa melibatkan perasaan membekas yang susah hilang. Dan Nabi Muhammad SAW sudah mengabarkan kepada kita, bahwa orang yang pertama kali menjalin tali silaturrahmi setelah sekian lama diputuskan akan mendapat limpahan pahala yang tentu sangat menggembirakan bagi orang beriman. Tinggal apakah iman mampu dikalahkan oleh gengsi, atau gengsi yang terpinggirkan oleh iman.
Komponen yang vital dalam permintaan maaf, mengutip dari Ustadz Herry Nurdi ada dua macam. Pertama, tentang rasa bersalah dan niat untuk memperbaiki keadaan. Kedua, ikhlas membuka pintu maaf dan memperbaiki keadaan.
Momentum terbaik dalam meminta maaf tentu bukan hanya ketika hari raya datang atau perpisahan menjelang. Maaf seyogyanya muncul langsung setelah sadar telah melakukan kesalahan. Sekali lagi, saya sering alpa dan lupa. Bisa saja ketika saya berbuat seenaknya tanpa sadar sebenarnya telah melukai perasaan anda. Atau bahkan lupa dalam meminta maaf padahal kekhilafan telah nyata ada. Maka ingatkanlah saya, bahwa telah ada salah dan saya harus serius memperbaikinya.
Dalam kesempatan ini, mungkin kita tak mampu bertemu langsung. Namun biarkan tulisan ini mewakilinya dan semoga tak mengurangi esensinya. Atas segala ketidakprofesionalan, ucapan yang sering menyakitkan perasaan, sikap yang suka menyebalkan dan perbuatan yang tak sepantasnya dilakukan, juga ini tulisan yang disana sini banyak kekurangan, saya memohon agar anda semua mau memaafkan. I’m so deeply sorry. Afwan jiddan. Ulun minta rela lawan buhan pian. Bilapun ada yang belum bisa tuntas hanya dengan sekedar ucapan, hubungi saya dan semoga bisa diselesaikan dengan suasana persaudaraan.
Kita juga ingat sosok Abu Dzar al Ghiffary ra, seorang manusia yang mencari kebenaran dengan seluruh hidupnya. Menebus kebenaran dengan nyawa. Membela kebenaran dengan seluruh keberanian jiwanya. Dua manusia mulia yang pernah dilahirkan oleh sejarah Islam, hasil dari tarbiyah Rasulullah saw.
Suatu ketika, keduanya pernah berselisih pendapat. Entah karena didorong rasa apa, Abu Dzar ra sampai mengucapkan kata-kata yang sangat menyinggung Bilal bin Rabbah ra. “Hai, anak orang hitam!” kata Abu Dzar ra pada Bilal bin Rabbah ra.
Sahabat Bilal sangat sedih, dan mengadukan hal ini pada Rasulullah saw, sang pemimpin yang adil dan penuh kasih sayang. Setelah mendengar pengaduan sahabatnya Bilal, Rasulullah memanggil dan mengajak Abu Dzar berbicara.
Singkat cerita, setelah obrolan bersama Rasulullah tersebut, Abu Dzar menyadari betul ada sifat dan perilaku jahiliyah yang masih tertinggal dan dilakukannya. Abu Dzar merasa, seharusnya tak terjadi hal yang demikian, apalagi pada sahabat sendiri yang telah dimuliakan oleh Islam dan memuliakan Islam.
Dengan sungguh-sungguh, kemudian Abu Dzar mencari Bilal bin Rabbah. Ketika menemui Bilal bin Rabbah, Abu Dzar duduk dengan penuh takzim di depannya. Kemudian Abu Dzar meminta maaf, ia tempelkan sebelah pipinya ke tanah dan berkata, ”Wahai Bilal, injaklah pipiku dengan kakimu.”
SubhanaLlah!
Sejarah di atas -yang saya kutip dari tulisan ust.Herry Nurdi- menggambarkan kepada kita seserius apa generasi manusia terbaik dalam meminta maaf. Kita semua adalah manusia. Kita adalah makhluk yang terbatas, meski seoptimal apa pun meminimalisir kesalahan akan ada batasan tertentu di mana kita melakukan kekhilafan. Saya, sering alpa dan lupa. Dan ketika itu terjadi maka mestinya perasaan bersalah menyeruak ke permukaan dan permintaan maaf mestinya saya lakukan meski tak jarang itu mungkin tak bisa langsung menebus semua kesalahan kepada pihak yang bersangkutan.
Acapkali kata maaf diganti dengan kata sori. Padahal kata sori itu seakan hambar dan tidak berarti, apalagi jika sekadar diucapkan begitu saja dengan intonasi datar tanpa ekspresi. Atau juga, kata maaf biasa diubah dengan afwan. Namun seiring banyaknya kesalahan kata itu makin mudah dan ringan terlontarkan.
Adakalanya kesalahan meskipun kecil cukup rajin dilakukan, sehingga kata maaf, sori atau afwan pun semakin sering ditebarkan namun seakan menjadi rutinitas yang menjemukan. Kenyataan bahwa manusia makhluk yang tak sempurna seharusnya tak selalu menjadi pembenaran kala kesalahan-kesalahan (yang sering kita anggap) kecil berkali-kali diperbuat, sementara kita untuk berintrospeksi dan memperbaikinya seakan tak berminat kuat. Bukankah aneh jika datang memenuhi janji sering terlambat, mengembalikan barang pinjaman selalu telat bahkan menyalahi akad dengan alasan dibuat-buat? Bagaimana jika yang bersangkutan menganggap kesalahan tersebut adalah hal yang sangat mengesalkan?
Dan sering juga akal sehat dikalahkan oleh naluri ke’aku’an. Suatu kesalahan yang telah jelas menimbulkan kerugian kadang masih saja membuat kita gengsi untuk melakukan pengakuan. Perseteruan, kesalahpahaman yang sering terjadi akibat minim komunikasi biasa melibatkan perasaan membekas yang susah hilang. Dan Nabi Muhammad SAW sudah mengabarkan kepada kita, bahwa orang yang pertama kali menjalin tali silaturrahmi setelah sekian lama diputuskan akan mendapat limpahan pahala yang tentu sangat menggembirakan bagi orang beriman. Tinggal apakah iman mampu dikalahkan oleh gengsi, atau gengsi yang terpinggirkan oleh iman.
Komponen yang vital dalam permintaan maaf, mengutip dari Ustadz Herry Nurdi ada dua macam. Pertama, tentang rasa bersalah dan niat untuk memperbaiki keadaan. Kedua, ikhlas membuka pintu maaf dan memperbaiki keadaan.
Momentum terbaik dalam meminta maaf tentu bukan hanya ketika hari raya datang atau perpisahan menjelang. Maaf seyogyanya muncul langsung setelah sadar telah melakukan kesalahan. Sekali lagi, saya sering alpa dan lupa. Bisa saja ketika saya berbuat seenaknya tanpa sadar sebenarnya telah melukai perasaan anda. Atau bahkan lupa dalam meminta maaf padahal kekhilafan telah nyata ada. Maka ingatkanlah saya, bahwa telah ada salah dan saya harus serius memperbaikinya.
Dalam kesempatan ini, mungkin kita tak mampu bertemu langsung. Namun biarkan tulisan ini mewakilinya dan semoga tak mengurangi esensinya. Atas segala ketidakprofesionalan, ucapan yang sering menyakitkan perasaan, sikap yang suka menyebalkan dan perbuatan yang tak sepantasnya dilakukan, juga ini tulisan yang disana sini banyak kekurangan, saya memohon agar anda semua mau memaafkan. I’m so deeply sorry. Afwan jiddan. Ulun minta rela lawan buhan pian. Bilapun ada yang belum bisa tuntas hanya dengan sekedar ucapan, hubungi saya dan semoga bisa diselesaikan dengan suasana persaudaraan.
0 komentar:
Posting Komentar