Siang itu, selepas kuliah, entah apa yang sedang Bejo pikirkan
dan rasakan, ia sudah lupa persis. Yang jelas seperti rutinitas
sebelumnya ia memacu motor bebeknya yang canggih itu, melewati jalan
Unlam memintas pulang menuju kontrakan.
Di tengah jalan,
Bejo berpapasan dengan seorang senior di organisasi pergerakan kampus.
Sebenarnya Bejo hampir tidak sempat mengenalinya, tapi sepintas Bejo
melihatnya dan berupaya menyapanya. Dan dalam momen yang hanya beberapa
detik itu, ketika mereka saling bertatapan, dengan reflex seperti halnya
Iker Casillas memblok pinalti Sugeng Wahyudi (pemain Barito
Putera-red), sodara Bejo tersebut mengembangkan sebuah senyuman.
Efek
senyuman yang ikhlas mungkin seperti efek umpan balik positif sistem
endokrin. Ketika Anda dengan ikhlas menyunggingkan senyuman kepada
saudara anda, maka saudara anda akan tersugesti untuk harus membalasnya
dengan tulus pula. Lalu kau yang melihat balasan yang indah dari
saudaramu tersebut akan merasa semakin bahagia dan bermultiplikasilah
semangat untuk menjalani hari itu.
Dan benarlah, sabda
seseorang yang kita cintai lebih dari diri kita sendiri, bahwasanya
jangan meremehkan sedikitpun tentang makruf meskipun hanya menjumpai
kawan dengan berwajah ceria, atau tersenyum. Hadits riwayat Muslim.
***
Di
waktu yang lain.. Bejo melakoni perjalanan dinaungi terik matahari
siang yang khas panasnya, dengan latar jalan protokol Banjarmasin yang
seperti biasa dipenuhi kendaraan berseliweran. Laju motor yang dipacu
Bejo harus tunduk terhenti oleh lampu lalu lintas yang menyatakan merah
dengan tegas. Ah, berhenti di tengah terik begini memang cukup menyiksa.
Apalagi debu berterbangan di atas jalan aspal yang tandus. Di samping
Bejo seorang pria berkumis yang juga mengendarai motor menghisap
dalam-dalam rokok yang terselip di bibirnya. Lalu menghembuskan asap
‘berhala’ lima senti itu lewat hidung dan mulutnya. Tentu ini membuat
Bejo semakin keki.
Adalah di depannya seorang bocah
perempuan yang menyapu kaca mobil dengan kemoceng tanpa diminta. Tak
jauh dari situ ada pula anak laki-laki yang mendendangkan lagu disertai
musik perkusi dari temannya yang terlihat lebih tua. Satu lagi, bocah
yang bermahkotakan topi hitam usang, yang paruhnya dibalik ke belakang,
sedang menawarkan kepada pengguna jalan koran.
“Koran,
om?” tawarnya kepada Bejo, menyadarkan dari lamunannya sekilas. Bocah
itu tersenyum. Dan tanpa sadar sebelum menjawab, senyum Bejo pun refleks
mengembang.
“Oh ya, boleh. **** post ada?”
“Oke,
ini om” bocah itu menyerahkan koran yang Bejo inginkan. Sementara itu
Bejo berpikir, bukankah waktu saat ini seharusnya adalah jam sekolah?
Waktu di mana bocah ini mestinya berada di dalam kelas, bercengkerama
dengan teman sebangkunya sembari menunggu sang guru masuk ke dalam
kelas.
“Kamu gak sekolah dek?” tanya Bejo, terlontar hampir tanpa sadar setelah menaksir kiranya ini bocah sudah berada di bangku SMP.
“Gak
om, gak ada waktu lagi buat mikirin yang kayak gituan. Ibu saya juga
maunya sih nyuruh sekolah. Tapi saya kasian sama ibu. Yah, mending nyari
duit aja.” sang bocah bertutur, dengan senyumnya yang masih belum
luntur. Terbersit sebuah perasaan di benak Bejo. Ia rogoh selembar uang
di saku bajunya sembari berkata, “oo, gitu.” Tepat ketika lampu lalu
lintas berwarna hijau, Bejo serahkan uang tadi ke sang bocah. Uang yang
juga berwarna hijau.
“Tunggu bentar om kembaliannya,”
bocah itu membuka resleting tas pinggangnya. “Gak usah repot-repot, itu
anggap aja hadiah,” Bejo tersenyum, ia sempat memandang sekilas ekspresi
keheranan sang bocah, sebelum memacu maju lagi motornya.
Di
jalan, pikiran bejo kembali menerawang. Melihat nasib bocah loper koran
tadi juga teman-teman senasibnya yang lain, yang mestinya sedang
menerima pengajaran dari guru di sekolah, hatinya miris. “Anak sekecil
itu, berkelahi dengan waktu,” sepenggal lirik dari Iwan Fals hadir dalam
kepalanya. Bejo lalu teringat dengan berita pagi tadi yang dibacanya di
internet. Lagi-lagi kasus korupsi, terampoklah uang negara puluhan
milyar. Dan terbayang wajah tersangka koruptor kasus lain, di mana ia
hanya senyum-senyum saja ketika mendengar vonis pengadilan hanya
beberapa tahun menghukumnya penjara.
Membandingkan
koruptor itu dengan bocah-bocah lusuh di jalanan tadi, Bejo menganggap
para bocah itu jauh lebih mulia. Mereka berpanas-panas ria, dalam
kondisi kesusahan mereka tak mau hina dengan mengemis, meminta-minta.
Apalagi mencuri.
Kegeraman Bejo tak berhenti sampai di
situ. Ia menyadari bahwasanya berbagai kerusakan di negeri ini dan
belahan dunia lain terjadi tak lepas akibat ulah tangan manusia itu
sendiri. Dan ini erat kaitannya dengan tak diterapkannya hukum-hukum
Allah SWT yang termaktub dalam ayat-ayat suci. Bukankah sudah
dijanjikan, jika penduduk negeri beriman dan bertaqwa pasti akan Dia
limpahkan berkah dari langit dan bumi? Dan saat fakta bisa dilihat saat
ini, “wa laa kin kadzdzabuu” sebagaimana firman Allah, namun mereka
mendustakan ayat-ayat Kami.
Dunia saat ini dicengkeram
oleh hegemoni kapitalisme. Dengan topengnya demokrasi yang berasal dari
induk yang sama, sekularisme. Sebagaimana kebencian penduduk AS sendiri,
yang mengungkapkannya dalam gerakan “Occupy Wall Street”, Bejo pun
menganggap kapitalisme ini mesti dihabisi. Menjelang akhir
perjalanannya, Bejo menguatkan tekadnya untuk terus bersama mereka yang
lain, dalam upaya perlawanan terhadap sistem yang dianggap
“menyejahterakan 1% penduduk dan menyengsarakan 99% lainnya.”
Bejo juga teringat bahwa berbagai fakta menunjukkan masyarakat dunia menginginkan perubahan. Belum lagi hasil analisis National Intellegence Council (NIC) di Amerika bahwa tahun 2020 terdapat beberapa kemungkinan konstelasi politik di dunia ini. Salah satunya kembali tegaknya a new caliphate, Khilafah Islam yang akan menyatukan kembali kaum muslim. Dibarengi perasaan optimis, Bejo tersenyum.
***
Sementara
itu di Syria, salah satu dari bagian bumi Syam. Seorang pria memanggul
senjata berpamitan kepada keluarganya, dan berkata kepada seorang
saudaranya. “Tolong jaga anakku, aku pergi berjuang untuk kebebasan
mereka,” Pria itu tersenyum. Ia pun berbalik setelah mengucapkan salam,
pergi meninggalkan rumah.
Beberapa hari kemudian, sang
pria pulang ke rumah. Namun dalam keadaan tak bernyawa sudah. Anak
laki-lakinya menatap jasad sang ayah dengan pandangan yang nanar.
Kekejaman rezim Bashar al Assad, yang menjajah dan membunuhi sendiri
rakyatnya masih berlanjut. Berlanjut pula perlawanan kaum muslim yang
berperang demi mendapat kemuliaan memasuki syurga tanpa mengalami hisab.
Entah sampai kapan.
Di antara mereka yang insya Allah
telah syahid itu, terpancar senyum. Jasad itu, terbujur kaku dalam
keadaan tersenyum. Dan ketika melihat foto yang mengabadikan hal
tersebut, aku pun turut tersenyum.
Pages
Menikmati Upaya Revolusi Sebagaimana Menyeruput Secangkir Kopi
Senin, 20 Agustus 2012
Senyuman
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
8/20/2012 01:06:00 PM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
.
Jumlah yang Nyangkut
Corong Revolusi
Ekspresikanlah
Para Guru
Kutipan dari Langit
Hitungan Mundur
Detak-detik
Kicau
Diberdayakan oleh Blogger.
Follower
Mengenai Saya
- Adit Ahmad
- Hanya manusia biasa dengan misi pembebasan. Ingin mencoba berkontribusi untuk revolusi yang insya Allah pasti terjadi nanti. Masih dalam tahap belajar tentu, mencoba terus berkarya dalam segala keterbatasan.
0 komentar:
Posting Komentar