Penyakit
Hirschsprung merupakan kelainan perkembangan sistem saraf usus dengan
karakteristik ketiadaan sel-sel ganglion pada kolon distal sehingga menyebabkan
obstruksi fungsional.1 Pada tahun 1888 Hirschsprung melaporkan dua
kasus bayi meninggal dengan perut yang menggembung karena kolon yang sangat
melebar dan penuh massa feses. Penyakit ini disebut megakolon kongenital dan
merupakan kelainan yang tersering dijumpai sebagai penyebab obstruksi pada
neonatus. Pada penyakit ini pleksus mienterik tidak ada, sehingga bagian usus
yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Setelah penemuan kelainan histologik
ini barulah muncul teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini.2
Walaupun
kondisi ini telah dideskripsikan oleh Ruysch pada tahun 1691 dan dipopulerkan oleh
Hirschprung pada tahun 1888, patofisiologi penyakit ini belum terlalu jelas
hingga pertengahan abad ke-20. Saat itu Whitehouse dan Kernohan mendeskripsikan
aganglionosis usus distal sebagai penyebab obstruksi pada beberapa pasien.3
Penyakit
Hirschsprung juga merupakan kelainan kongenital gastrointestinal yang cukup
sering ditemui. Studi potong lintang retrospektif dengan penelusuran rekam
medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr.Zainoel Abidin Banda Aceh sejak
bulan Januari 2010-Desember 2011 mendapatkan 79 pasien dengan kelainan
kongenital anomali gastrointestinal yang terdiri atas bayi laki-laki 74,7% dan
bayi perempuan 25,3%. Jenis penyakit kongenital anomali gastrointestinal yang
didapat adalah atresia esofagus (2,5%), atresia duodenum (1,3%), atresia
yeyunum (2,5%), penyakit Hirschsprung (29,1%), omfalokel (10,1%), gastroskisis
(6,3%), volvulus (2,5%), dan malformasi anorektal (45,6%).4
A.
Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung merupakan penyebab
obstruksi kolon pada neonatus paling banyak dan lebih sering terjadi pada
laki-laki dengan perbandingan 3,8:1. Penyebab penyakit Hirschsprung adalah
multifaktorial dan penyakit ini dapat diturunkan secara familial atau
berkembang secara spontan.5 Sekitar sepertiga dari semua obstruksi
neonatal disebabkan oleh penyakit ini.6 Angka kejadian di seluruh
dunia tidak diketahui secara pasti, meskipun penelitian internasional
melaporkan angka mulai dari sekitar 1 kasus dari 1.500 bayi yang baru lahir
sampai 1 kasus dari 7000 bayi baru lahir.7
Sekitar 3-5% saudara kandung laki-laki
dan 1% saudara kandung wanita dari anak dengan penyakit segmen pendek juga
menderita penyakit ini. Risiko akan semakin tinggi (12,4-33%) pada saudara
kandung dari anak yang menderita keterlibatan kolon total.8
Penyakit Hirschsprung juga dapat
dihubungkan dengan abnormalitas neurologis, kardiovaskular, urologis, dan
gastrointestinal. Sindrom Down (trisomi 21) adalah abnormalitas kromosomal
tersering yang berkaitan dengan penyakit ini, terhitung sekitar 10% pasien.
Kondisi lain yang telah dihubungkan dengan penyakit Hirschsprung meliputi
ketulian kongenital, hidrosefalus, divertikulum buli, divertikulum Meckel, anus
imperforate, defek septum ventrikel, agenesis renal, kriptokirdisme, sindrom
Waardenburg (defek pigmen terkait ketulian), neuroblastoma, dan penyakit Ondine
(hipoventilasi alveolar primer).8
Pada sekitar 20% kasus, diagnosis
penyakit Hirschsprung ditegakkan setelah melewati periode neonatal. Anak-anak
ini menderita konstipasi berat, yang biasanya telah diterapi dengan laksatif
dan enema. Distensi abdomen dan gagal tumbuh juga dapat muncul saat diagnosis
ditegakkan.9
B.
Etiologi dan Patogenesis
Sistem saraf
enterik (SSE) merupakan derivasi dari krista neural, struktur embrionik
sementara pada tepi dorsolateral lempeng neural yang terbentuk dari tabung
saraf. Sel-sel krista neural diinduksi menuruni sepanjang lipatan saraf,
menyusuri daerah transisi antara epitel ke mesenkim, melapisi tabung saraf dan
bermigrasi secara aktif melewati rute yang tepat untuk memberikan pertumbuhan
terhadap banyak struktur derivatif mesenkimal dan neural termasuk SSE. Krista
neural vagal yang berasal dari somit 1 sampai 7 memberi kontribusi besar pada
SSE dengan berkolonisasi pada seluruh usus. Krista trunkus rostral (somit 6 dan
7) berkolonisasi pada esofagus dan sebagian lambung dan krista neural sakral
yang berasal dari bagian posterior sampai somit 28 berkolonisasi pada usus
postumbilikal. Sel-sel krista neural vagal bermigrasi ke bagian mesenkim usus
depan (foregut) dan dengan kemampuan kunci untuk bertahan, berproliferasi
ekstensif, berdiferensiasi, dan bermigrasi baik searah rostrokaudal dan aksial,
sel-sel tersebut berkolonisasi pada keseluruhan panjang usus untuk membentuk
komplek SSE. Pada manusia, proses kolonisasi tersebut selesai pada masa gestasi
minggu ke 7,5. Pada penyakit Hirschsprung, sel-sel krista neural gagal bermigrasi
secara rostrokaudal, menyebabkan aganglionosis dari berbagai segmen usus
terminal.10
Selama
perkembangan normal, neuroblas akan ditemukan pada usus halus selama minggu
ketujuh masa gestasi dan akan mencapai kolon selama minggu keduabelas kehamilan.11
Satu etiologi yang mungkin dari penyakit Hirschprung adalah defek pada proses
migrasi neuroblas tersebut saat menyusuri jalurnya menuju usus distal. Migrasi
normal dapat terjadi dengan kegagalan neuroblas untuk bertahan, berproliferasi,
atau berdiferensiasi pada segmen distal yang tidak memiliki ganglion.
Distribusi abnormal komponen yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
neuronal pada usus yang sakit seperti fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM) dan
faktor-faktor neurotropik mungkin berperan dalam teori ini.12
Delapan genom telah dihubungkan dengan
penyakit Hirschsprung namun kebanyakan kasus tidak tergolong familial.
Penelitian saat ini terfokus pada protoonkogen RET pada kromosom 10q11.2.
Penyakit Hirschsprung yang terkait dengan gen ini memiliki hubungan dengan
neoplasia endokrin multipel tipe IIA (misalnya karsinoma medular tiroid dan
tumor adrenal).8
Gen paired-like
homeobox 2b (PHOX2B) merupakan faktor kunci yang terlibat dalam regulasi
transkripsi dari RET, gen utama untuk penyakit Hirschsprung. Gen ini mengode
faktor transkripsi yang terlibat dalam perkembangan beberapa populasi neuron
noradrenergik pada tikus. PHOX2B memainkan fungsi penting dalam perkembangan derivatif
krista neural (neural crest) dan
mutasi heterozigot menyebabkan disotonomia kompleks yang berhubungan dengan
penyakit Hirschsprung, sindrom hipoventilasi pusat kongenital dan neuroblastoma
(NB).13
Penelitian lain menunjukkan
bahwa sel-sel otot polos usus aganglionik secara elektrik tidak aktif ketika
menjalani studi elektrofisiologi. Hal ini mengindikasikan keterlibatan komponen
miogenik dalam perkembangan penyakit Hirschsprung.14 Kelainan pada
sel-sel interstisial Cajal, sel-sel pemacu yang menghubungkan saraf enterik dan
otot polos usus, juga telah dipostulasikan sebagai faktor penting.15
Pada 75% kasus penyakit
Hirschsprung didapatkan segmen aganglionik sepanjang rektum atau rektosigmoid.
Sedangkan 15% lainnya kolon yang aganglionik terletak lebih ke proksimal sejauh
fleksura hepatika, sementara pada 3% pasien tidak terdapat sel-sel ganglion
pada seluruh kolon. Pada sebagian besar kasus juga ditemukan penebalan
serabut-serabut saraf.6
Persarafan
parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang aganglionik
mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus fungsional.
Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan pelebaran
dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.6
Pada morbus
Hirschsprung segmen pendek, daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid. Keadaan
ini disebut penyakit Hirschsprung klasik. Bila daerah aganglionik meluas lebih
tinggi dari sigmoid maka disebut Hirschsprung segmen panjang. Bila
aganglionosis mengenai seluruh kolon disebut kolon aganglionik total, dan bila
mengenai seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus disebut aganglionosis
universal.2
C.
Manifestasi Klinis
Dalam sebuah penelitian terhadap 259 pasien
berturut-turut, Menezes et
al melaporkan bahwa 57% dari pasien mengalami
obstruksi usus, 30% mengalami
konstipasi, 11% mengalami
enterokolitis, dan 2% mengalami
perforasi usus.16
Obstruksi usus yang ditunjukkan melalui pemeriksaan USG prenatal jarang
terjadi, kecuali pada kasus obstruksi yang melibatkan keseluruhan kolon.17
Pada neonatus,
sekitar 94% penderita akan gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama dan
57% pada 48 jam pertama. Di samping itu penderita mengalami muntah-muntah,
distensi abdomen, diare dan beberapa mengalami perforasi apendik atau kolon.5
Muntah dapat berwarna empedu bahkan keruh dan bayi dapat kehilangan berat badan
serta mengalami dehidrasi. Diare merupakan gejala yang menonjol pada masa
neonatal dan terjadi akibat adanya obstruksi usus. Hipoproteinemia dan edema
dapat terjadi karena adanya enteropati hilang protein.6
Sekitar 10% anak dapat mengalami
diare yang
disebabkan oleh enterokolitis, yang diduga terkait
dengan stasis dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan. Hal ini
dapat berkembang menjadi perforasi
kolon, menyebabkan sepsis yang mengancam jiwa.18 Serangan konstipasi dan diare terjadi
berselang-seling dengan keadaan normal di antaranya. Episode konstipasi dan
diare dapat berkembang menjadi enterokolitis fulminan yang menyebabkan
dehidrasi berat dan syok serta kehilangan elektrolit ke dalam lumen usus, tanpa
ditemukannya basil enteropatogen. Jika tidak ditangani dengan sungguh-sungguh
keadaan tersebut cenderung berulang dan dapat berakibat fatal dalam kurun waktu
24 jam. Komplikasi ini tampaknya dipercepat oleh distensi kolon karena
banyaknya tinja dan gas.5,6
Penyakit
Hirschprung pada anak yang lebih besar menyebabkan konstipasi kronik dan
distensi abdomen. Dari riwayat penyakit diketahui adanya peningkatan kesulitan
dalam defekasi yang dimulai pada beberapa minggu pertama kehidupan. Suatu massa
tinja yang besar (fekolit) teraba di perut bagian kiri bawah. Pada colok dubur,
rektum tidak melebar dan biasanya tidak berisi tinja. Tinja yang keluar dapat
berupa butiran-butiran kecil, seperti pita, atau cair. Tinja yang besar dan
tinja seperti tanah yang disertai konstipasi fungsional tidak ditemukan. Pada
kasus-kasus ringan, tidak terjadi gangguan gizi. Sedangkan pada kasus yang
berat mungkin terdapat kehilangan jaringan subkutan dan gagal tumbuh. Anggota
gerak yang kecil, perut yang besar dan membuncit merupakan penampilan yang
khas. Keadaan ini dapat dikacaukan dengan beberapa sindrom malabsorbsi terutama
jika terdapat diare. Mungkin terdapat anemia hipokrom.6
Serangan
obstruksi usus yang hilang timbul (intermiten) karena tinja yang tertahan dapat
disertai dengan nyeri dan demam. Keadaan tersebut harus dibedakan dari
megakolon didapat seperti inersia kolon, konstipasi idiopatik kronik, obstipasi
dan sebagainya.6
Megakolon bentuk
lain yang jarang, biasanya ditemukan secara kebetulan seperti penyakit Hirschsprung
segmen sangat pendek, dengan aganglionosis terbatas pada sfingter ani internus
yang berbatasan langsung dengan saluran anus dan rektum. Pasien demikian dapat
menderita enkopresis dan jika tidak dilakukan biopsi khusus rendah, ganglion
mungkin dapat ditemukan dan pasien dianggap normal.6
Tabel 2.1. Perbandingan Antara Penyakit Hirschsprung
dan Megakolon Didapat6
Penyakit
Hirschsprung
|
Megakolon
Didapat
|
|
Riwayat
penyakit:
Dari
lahir
Enterokolitis
Perdarahan
rektum
Latihan
usus paksa (coercive bowel training)
Enkopresis
(tinja seperti tanah = fecal soiling)
Ukuran
tinja
Pemeriksaan:
Kurang
gizi
Distensi
perut & sudut subkostal yang lebar
Teraba
tinja di perut
Fisura
ani
Tekanan
anus
Tinja
di dalam ampula rekti
Enema
Barium:
Bagian
rektum yang kosong
Fekolit
di dalam ampula rektum
Keterlambatan
pengeluaran barium
Biopsi:
Sel-sel
ganglion di pleksus
|
selalu
mungkin
tidak
tidak
ada
tidak
pernah
normal,
kecil
mungkin
biasa
biasa
tidak
pernah
kuat
kosong
biasa
tidak
ada
biasa
tidak
ada
tidak
ada
|
tidak
pernah
tidak
mungkin
biasanya
ada
selalu
sangat
besar
tidak
ada
tidak
ada
sering
mungkin
kendor
(patulous)
penuh
dan padat
tidak
ada
selalu
ada
tidak
ada
ada
ada
|
Catatan:
Penyakit Hirschsprung segmen sangat pendek mempunyai gambaran klinis yang
menyerupai megakolon didapat.
Akibat kompresi
ureter beberapa pasien mengalami retensi urine, hidroureter dan hidronefrosis.
Penyakit ini sering disertai kelainan kongenital lainnya seperti sindrom Down,
mikrosefali, hernia inguinal, atresia duodenum, palatoskisis, tuli, stenosis
rektum dan anus, atresia kolon, dan lain-lain.5
Pada pemeriksaan
fisik, sekitar 83% penderita memperlihatkan distensi abdomen, saat pemeriksaan
rektum dengan jari didapatkan rektum yang kosong (bila segmen yang aganglionik
panjang), sedangkan bila segmen yang aganglionik pendek feses akan tertahan
pada rektum. Setelah pemeriksaan rektal ini secara khas diikuti oleh pelepasan
tinja dan gas secara eksplosif. Tidak ada bakteri spesifik yang ditemukan
berhubungan dengan enterokolitis yang terjadi.5
D.
Diagnosis
Manifestasi
klinis seperti di atas adalah indikasi untuk melakukan pemeriksaan radiologis,
manometri anal, biopsi rektum dan pewarnaan asetilkolinesterase. Pada
pemeriksaan radiologis anteroposterior tegak tampak ansa usus yang melebar,
sedangkan pada posisi lateral tegak tidak tampak adanya udara rektum di daerah
pra sakral atau pelvis. Pada enema barium ditemukan perubahan kaliber usus yang
mendadak di antara usus berganglion dengan yang aganglionik, kontraksi-kontraksi
“mata gergaji” tidak teratur pada segmen aganglionik, lipatan-lipatan melintang
yang sejajar pada kolon proksimal yang mengalami dilatasi, kolon proksimal
menebal, noduler dan edema (khas pada kehilangan protein enteropati), serta
kegagalan untuk mengeluarkan barium. Pada bayi, hanya sejumlah kecil bahan
kontras yang harus disuntikan secara perlahan-lahan melalui kateter kecil.
Ujung kateter diletakkan sedikit di bawah fluoroskop. Perubahan dalam ukuran
yang mendadak dan khas dapat terlewati apabila kolon bagian bawah terisi oleh
barium yang terlalu banyak. Enema barium mempunyai ketepatan diagnosis lebih
kurang 81%.5,6
Pada
bayi baru lahir dengan obstruksi usus yang disebabkan oleh megakolon, enema barium
tidak selalu memperlihatkan gambaran yang klasik dari penyakit tersebut.
Keadaan ini disebabkan oleh belum cukupnya waktu untuk menimbulkan perbedaan
ukuran antara kolon bagian proksimal yang dilatasi dengan usus bagian distal
yang aganglionik dan kosong. Gambaran radiologik bahkan tidak begitu khas
apabila seluruh kolon tidak mempunyai sel-sel ganglion, meskipun biasanya
pengeluaran barium dari kolon terlambat pada pemeriksaan radiologik 24 jam.6
Manometri
anorektal mendeteksi refleks relaksasi sfingter internal setelah distensi lumen
rektal. Refleks inhibisi normal ini diperkirakan tidak ada pada pasien dengan
penyakit Hirschsprung. Swenson adalah orang yang pertama kali menggunakan tes
ini. Pada tahun 1960 pemeriksaan ini diperbaiki tapi tidak disukai karena
banyaknya keterbatasan. Kondisi fisiologis yang normal diperlukan dan sedasi
juga biasanya diperlukan. Meskipun beberapa penulis menemukan tes ini cukup
berguna, hasil positif palsu telah dilaporkan hingga 62% kasus dan hasil
negatif palsu telah dilaporkan hingga sebanyak 24% kasus. Karena keterbatasan
tersebut dan reliabilitasnya dipertanyakan, manometri anorektal tidak umum
digunakan di Amerika Serikat.19
Manometri
anorektal diukur dengan distensi balon yang diletakkan di dalam ampula rektum.
Hal ini akan menunjukkan kenaikan tekanan sfingter ani internus yang luar biasa
dibanding orang normal. Metode ini dapat mendeteksi kira-kira 90-95% pasien
dengan aganglionosis, namun kurang akurat pada bayi prematur.5,6
Untuk
memastikan diagnosis dilakukan biopsi rektum dengan cara sedotan atau tusukan (punch). Tidak adanya sel-sel ganglion
pada pleksus mienterikus (pleksus Auerbach) dan submukosa (pleksus Meissner)
merupakan diagnosis pasti megakolon. Karena penurunan jumlah sel ganglion
secara normal juga ditemukan pada rektum yang lebih distal dan saluran anus
maka sebaiknya biopsi dilakukan tidak lebih dekat dari 2 cm di atas garis
pektinatus.5,6
Belakangan
ini pengecatan histokimia isapan rektum atau biopsi forsep untuk
asetilkolinesterase lebih dapat dipercaya untuk mengonfirmasi penyakit megakolon
kongenital. Pada pengecatan ini didapatkan 2 pola yaitu pola A bila
pengecatannya prominen pada serat saraf di lamina propria dan muskularis mukosa
dan pola B memperlihatkan pengecatan terutama pada muskularis mukosa, kemudian
segera ke lamina propria yang berdekatan (terlihat pada neonatus).5,6
Baru-baru
ini, imunohistokimia dengan kalretinin juga telah digunakan untuk pemeriksaan
histologis usus aganglionik dan studi awal telah menunjukkan bahwa cara ini
mungkin lebih akurat daripada pewarnaan asetilkolinesterase dalam mendeteksi
aganglionosis.20
Guinard-Samuel
et al mengevaluasi nilai diagnostik imunokimia kalretinin untuk penyakit
Hirschsprung pada 131 biopsi rektal anak. Dari 131 biopsi, 130 didiagnosis
secara akurat berdasarkan pewarnaan kalretinin. Ketika tambahan 12 kasus
dianggap meragukan berdasarkan metode evaluasi standar, secara akurat kasus
tersebut didiagnosis dengan imunokimia kalretinin. Para peneliti menyimpulkan
bahwa kalretinin lebih unggul daripada pewarnaan asetilkolinesterase untuk
pemeriksaan histologi.20
E.
Tatalaksana
Bila
diagnosis pasti telah ditetapkan pada neonatus, maka terdapat indikasi
melakukan bedah laparotomi. Laparotomi terbatas lebih disukai disertai biopsi
multipel, dengan menempatkan suatu kolostomi pada kolon yang paling distal yang
mempunyai sel-sel ganglion dalam batas normal.5 Beberapa ahli bedah
melakukan suatu kolostomi melintang kanan (right
transverse colostomy) pada bayi baru
lahir tanpa biopsi ganda. Tindakan tersebut cocok untuk jenis penyakit yang
biasa dengan segmen aganglionik meluas sampai ke perbatasan rektosigmoid. Akan
tetapi apabila daerah peralihan terletak pada atau proksimal dari fleksura
lienalis maka suatu kolostomi perlu dipertimbangkan dengan menarik kolon
transversa ke bawah mencapai anus, sehingga menghindari eksisi di tengah-tengah
kolon normal. Tersedia beberapa alat stoma bayi yang sekali pakai untuk
mempermudah perawatan bayi dengan kolostomi. Penanganan non operatif
dengan irigasi kolon berulang sampai mencapai ukuran yang mencukupi tidak
dibenarkan, karena risiko enterokolitis yang dapat menyebabkan kematian.6
Bedah
definitif dilakukan bila bayi berusia 6-12 bulan dengan berat badan kurang
lebih 20 pond. Dilakukan pembedahan pull
through menggunakan prosedur
Swenson, Duhamel, Soave, atau Boley. Tindakan ini pada intinya berupa eksisi
segmen aganglionik dan menarik usus yang mengandung sel-sel ganglion ke bawah
melewati rektum, kemudian menghubungkannya ke kanalis anus dengan jarak sekitar
2,5 cm dari garis pektinatus. Terapi medikamentosa bertujuan untuk
memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit terutama bila terjadi enterokolitis.5
Pendekatan
bedah klasik terdiri dari prosedur bertahap multipel. Ini termasuk kolostomi
pada masa neonatus, diikuti dengan operasi pull-through
definitif setelah berat badan anak lebih dari 10 kg. Ada tiga pilihan yang
layak untuk prosedur pull-through
definitif yang saat ini digunakan. Meskipun ahli bedah secara individu dapat
memilih satu prosedur di atas yang lain, penelitian telah menunjukkan bahwa
hasil setiap jenis operasi serupa. Untuk setiap prosedur ini, prinsip-prinsip
pengobatan meliputi konfirmasi lokasi zona transisi antara ganglionik dan usus
aganglionik, reseksi segmen aganglionik usus, dan melakukan anastomosis usus
yang berganglion baik dengan anus atau mukosa rektum (Gambar 2.1).9
Baru-baru ini telah ditunjukkan bahwa prosedur pull-through
primer dapat dilakukan dengan aman, bahkan pada masa neonatus. Pendekatan ini
mengikuti prinsip-prinsip terapi yang sama sebagaimana prosedur ini
biasa dilakukan dan menyelamatkan pasien dari
prosedur bedah tambahan. Banyak ahli bedah melakukan pembedahan intra-abdominal
menggunakan laparoskop. Pendekatan ini sangat berguna pada masa neonatus,
karena hal ini memberikan visualisasi pelvis
yang
sangat baik. Pada anak-anak dengan distensi kolon signifikan, penting untuk melakukan dekompresi menggunakan tabung rektal jika satu tahap pull-through
yang akan dilakukan. Pada anak yang lebih tua
dengan distensi yang ekstrim dan hipertrofi
kolon,
mungkin lebih baik dilakukan kolostomi untuk
memungkinkan usus didekompresi sebelum melakukan
prosedur pull-through. Namun, harus
ditekankan bahwa tidak ada batas usia atas untuk melakukan pull-through primer.9
Dari ketiga prosedur pull-through yang dilakukan untuk penyakit Hirschsprung, yang pertama ditemukan adalah prosedur Swenson original. Pada operasi ini, rektum aganglionik dibedah dalam pelvis dan dilepas turun ke anus. Usus berganglion kemudian dianastomosis ke anus melalui pendekatan
perineum. Pada prosedur Duhamel, diseksi luar rektum terbatas pada ruang
retrorektal dan usus ganglionik
dianastomosis secara posterior tepat di
atas anus. Dinding anterior dari usus ganglionik dan dinding posterior rektum
aganglionik dianastomosis menggunakan stapler.
Meskipun kedua prosedur ini sangat efektif, keduanya
dibatasi oleh kemungkinan rusaknya saraf parasimpatis yang berdekatan dengan rektum. Untuk menghindari masalah
potensial ini, prosedur Soave melibatkan
diseksi sepenuhnya dalam rektum. Mukosa rektum dilucuti dari lapisan berotot dan usus
ganglionik dibawa melalui lapisan ini dan dianastomosis
ke anus. Operasi ini dapat dilakukan sepenuhnya dari bawah. Pada semua kasus, sangat penting untuk menentukan tingkat di
mana usus ganglionik ada. Kebanyakan
ahli bedah percaya bahwa anastomosis harus dilakukan minimal 5 cm dari titik di
mana sel-sel ganglion dimulai. Hal ini dilakukan
untuk
menghindari melakukan pull-through di
zona transisi yang berhubungan dengan tingginya insiden komplikasi akibat
pengosongan yang tidak memadai dari segmen pull-through.
Sepertiga dari jumlah pasien yang menjalani pull-through
zona transisi akan memerlukan operasi ulang.9
Pendekatan
laparoskopik dalam tatalaksana operasi penyakit Hirschsprung pertama kali
dideskripsikan oleh Georgeson.21 Zona transisi diidentifikasi
terlebih dahulu menggunakan laparoskop, diikuti oleh mobilisasi rektum di bawah
refleksi peritoneum. Selanjutnya dilakukan diseksi mukosa transanal yang diikuti
oleh prolaps rektum melewati anus dan anastomosis. Hasil fungsional tampaknya
equivalen dengan teknik operasi terbuka berdasarkan hasil jangka pendek.21
Pull-through transanal tanpa diseksi abdomen terbuka juga telah
dideskripsikan. Prosedur keseluruhannya dilakukan dari bawah, hampir mirip
dengan rektosigmoidektomi perineal. Zona transisi diidentifikasi dan
anastomosis dilakukan. Sebagaimana pendekatan laparoskopik, hasilnya hampir
sama dengan pendekatan operasi terbuka satu tahap dan keuntungannya adalah
analgesia minimal serta pendeknya masa rawat inap di rumah sakit.22
Dekompresi
nasogastrik, cairan intravena, antibiotik, dan kumbah kolon juga dapat
diperlukan pada pasien postoperatif yang mengalami komplikasi enterokolitis.
Sodium kromoglikat, penstabil sel mast dilaporkan memiliki keuntungan pada
pasien seperti ini.23 Irigasi kolon rutin dan terapi antibiotik
profilaksis dikatakan dapat menurunkan risiko enterokolitis.24
Kemungkinan
transplantasi sel stem ke dalam usus aganglionik dan reaktivasi sel stem dorman
dalam usus untuk meregenerasi sistem saraf enterik sedang diteliti. Penelitian
terbaru menunjukkan bahwa sel multipoten yang sama dengan derivasi sel krista
neural asli yang menyusun sistem saraf enterik (SSE) terdapat di dalam traktus
gastrointestinal tidak hanya selama masa perkembangan janin tapi juga pada
kehidupan postnatal awal. Isolasi dan pemanfaatan sel tersebut mampu membentuk
sistem saraf enterik jika ditransplantasikan ke dalam usus yang aganglionik,
yang kemungkinan memberikan kemampuan kuratif untuk penyakit Hirschsprung.10
Salah
satu sumber sel stem SSE telah diidentifikasi pada tikus di masa embrionik dan
postnatal pada usia 2 minggu. Pada penelitian tersebut, usus dipisahkan dan
dikultur secara in vitro dalam kondisi yang didesain untuk mendukung
pertumbuhan sel-sel prekursor krista neural. Setelah beberapa hari agregasi
berbentuk bola dari sel-sel tersebut, yang diistilahkan sebagai
neurosphere-like bodies (NLB), ditemukan dalam kultur.10
NLB
mengandung sel-sel progenitor yang berproliferasi dengan kemampuan seperti sel
stem, yaitu klonogenitas, multipotensialitas dan pembaharuan diri. Lebih lanjut
lagi, ketika NLB ditanam di dalam usus tikus aganglionik pada masa embrio awal,
sel-sel derivasi NLB donor mampu berkolonisasi di usus dan berdiferensiasi
menjadi fenotip enterik yang cocok pada lokasi yang sesuai. Lebih penting lagi,
penelitian menunjukkan bahwa sel stem
SSE dapat secara mirip diisolasi dari bagian ganglionik usus mirip Hirschsprung
dari seekor model tikus Hirschsprung, yaitu mutasi miRet51. Pada mutan tersebut
hanya isoform Ret51 yang diekspresikan pada hewan yang memiliki fenotip
Hirschsprung dengan aganglionosis kolon distal dan presentasi awal dengan
obstruksi intestinal.10
Walaupun
kemampuan diferensiasi selular dari sel-sel “Hirschsprung” tersebut telah
menunjukkan ketidaknormalan dalam hal potensi perkembangannya, penelitian
terbaru mengonfirmasi kemungkinan penyelamatan sel-sel tersebut secara
fungsional dan genetik. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan biologis sel
progenitor SSE/sel stem atau bahkan lingkungan dari usus resipien dapat
dimanipulasi, sehingga mungkin memiliki implikasi yang sangat besar untuk
inisiasi pretransplantasi sel stem SSE sebagaimana pengondisian lingkungan agar
dapat menerimanya di dalam usus resipien yang aganglionik. Poin kuncinya adalah
bahwa usus aganglionik target merupakan usus postnatal dan pasca pembentukan
SSE, serta patogenesis kegagalan pembentukan SSE adalah akibat terjadinya
kerusakan dalam lingkungan mesenkimal (contoh mutasi endotelin-3 pada
Hiraschsprung).10
Walaupun
semua penelitian pendahuluan menunjukkan bahwa transplantasi sel stem SSE, baik
alogenik maupun autolog, memiliki potensi untuk terapi Hirschsprung, lapangan
penelitian perlu menunjukkan bahwa temuan tersebut dapat direkapitulasi
menggunakan sel-sel stem SSE yang diderivasi dari usus manusia. Dalam hal ini
data yang ada menjanjikan. Percobaan terbaru
menunjukkan bahwa sel stem SSE yang mengandung NLB dapat dikembangkan
dari usus manusia postnatal menggunakan spesimen reseksi usus tebal penuh.
Penting untuk dicatat bahwa sel-sel tersebut dapat dikembangkan dari usus
dengan baik selama periode neonatal, termasuk bagian ganglionik dari usus
Hirschsprung. Sel stem SSE yang mengandung NLB mampu berkolonisasi pada usus
resipien yang aganglionik untuk membentuk SSE yang baru. Namun meski mampu
menghasilkan konsep untuk derivasi dan penggunaan sel stem SSE, penelitian
tersebut gagal untuk menyimpulkan isu kunci untuk mengatasi rintangan dalam
mengimplementasikan secara praktis terapi sel stem SSE pada penyakit
Hirschsprung.10
Salah
satu masalah tersebut adalah kemungkinan yang meragukan bahwa reseksi tebal
penuh usus yang diperoleh sewaktu operasi dapat memenuhi kebutuhan untuk
mengulang penanaman jaringan usus demi menumbuhkan sel stem SSE. Penelitian
terbaru menemukan bahwa biopsi mukosa usus yang didapat dari prosedur endoskopi
rutin dapat digunakan sebagai sumber sel-sel stem terapeutik. Tidak hanya itu,
NLB juga mampu ditumbuhkan dalam kultur yang mengandung sel-sel yang
berproliferasi yang mampu untuk memperbaharui diri dan mengembangkan sejumlah
besar klon sel berisikan komponen SSE. Ketika ditransplantasikan dalam bagian
jaringan usus aganglionik, termasuk usus manusia penderita penyakit
Hirschsprung secara in vitro, sel-sel derivasi NLB dari mukosa usus manusia
mampu berkolonisasi pada usus resipien dengan baik dan membentuk fenotip
neuronal yang terdapat pada SSE matur dan fungsional. Saat ini sedang diteliti
kemampuan fungsional (integritas dan kontraktilitas selular) usus yang telah
ditransplantasikan sel stem tersebut.10
F.
Komplikasi dan Prognosis
Sekitar 20% bayi dengan
penyakit Hirschsprung akan memiliki satu atau lebih kelainan yang melibatkan sistem neurologis, kardiovaskuler, urologis,
atau pencernaan.25
Megakolon aganglionik yang tidak diobati pada bayi dapat
menyebabkan tingkat kematian sebesar
80%. Angka kematian operatif untuk
salah satu prosedur intervensi sangat
rendah. Pada kasus-kasus penyakit Hirschsprung yang
telah ditangani, angka kematian mungkin setinggi 30% sebagai akibat dari enterokolitis.26
Hasil penanganan
penyakit Hirschsprung umumnya memuaskan dengan sebagian besar pasien mencapai
kontinensia. Karena sebagian besar kasus didiagnosis dan ditangani pada masa
neonatus, kontinensia segera pasca bedah tidak mungkin dinilai. Dengan
bertambahnya waktu kebanyakan anak berkembang ke arah kontinensia. Loperamide
sangat berguna dalam penanganan diare.6
Pada sebagian
besar penderita, tindakan pembedahan dapat menahan pengeluaran tinja. Penderita
dapat mengalami inkontinensia yang terputus-putus disertai diare selama
beberapa tahun. Dengan kolostomi dini, mortalitas akibat enterokolitis sebesar
sekitar 4% dibanding 33% jika kolostomi dilakukan setelah terjadi
enterokolitis. Prosedur Soave mengakibatkan striktur anal dan enterokolitis
lebih sering daripada prosedur Boley, dengan angka mortalitas yang sama yaitu
sebesar 3,2%.5
Komplikasi utama dari semua
prosedur meliputi enterokolitis pasca operasi, konstipasi dan striktur anastomosis. Seperti disebutkan, hasil
jangka panjang dengan tiga prosedur sebanding dan umumnya sangat baik di tangan
ahli bedah berpengalaman. Ketiga prosedur
juga dapat diadaptasi untuk aganglionosis kolon
total, ketika ileum digunakan untuk segmen pull-through.9
Komplikasi lain yang mungkin dari operasi termasuk kebocoran anastomosis
(5%), striktur anastomosis (5-10%), obstruksi usus (5%), abses pelvis (5%), dan
infeksi luka (10%). Komplikasi jangka panjang selain
enterokolitis meliputi gejala
obstruktif, inkontinensia, konstipasi kronis, dan kematian, kebanyakan terjadi
pada pasien penyakit
segmen panjang. Meskipun banyak pasien akan mengalami
satu atau lebih masalah tersebut setelah operasi, studi tindak lanjut jangka
panjang telah menunjukkan bahwa lebih 90% dari kebanyakan anak-anak mengalami
perbaikan yang signifikan dan relatif akan membaik.26 Pasien dengan sindrom lain yang terkait dan pasien dengan penyakit segmen panjang
memiliki prognosis yang lebih buruk.23
PENUTUP
Penyakit
Hirschsprung atau megakolon kongenital merupakan kelainan kongenital saluran
pencernaan yang cukup sering ditemui pada bayi baru lahir. Penyakit ini
memiliki karakteristik tidak adanya sel-sel ganglion pada kolon sehingga usus
tidak dapat berkontraksi dan proses defekasi terganggu, menyebabkan distensi
kolon proksimal akibat tinja yang tertimbun, membentuk megakolon. Insidensi
lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan
perbandingan 3,8:1. Patogenesis penyakit Hirschsprung melibatkan faktor genetik
yang mengatur proses migrasi sel-sel krista neural ke usus selama proses
perkembangan janin. Manifestasi klinis yang dapat muncul berupa tidak adanya
pengeluaran mekonium dalam 24-48 jam pertama masa kehidupan, konstipasi, diare,
distensi abdomen dan perforasi yang dapat menyebabkan sepsis hingga kematian.
Selain itu dapat juga ditemukan gejala penyakit traktus urinarius akibat
obstruksi dan gagal tumbuh pada anak yang lebih besar.
Diagnosis didapatkan dari gejala klinis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang seperti foto polos abdomen, enema barium,
manometri anal, dan biopsi rektal. Diagnosis pasti diperoleh dari tidak adanya
sel-sel ganglion pada pemeriksaan histologist biopsi rektal. Tatalaksana
meliputi pembedahan kolostomi, pembedahan
definitif dengan berbagai variasi prosedur, terapi konservatif dan yang
terbaru adalah penanaman sel stem pada usus aganglionik yang saat ini masih
terus diteliti dan dikembangkan. Prognosis pada kasus yang tertangani dengan
pembedahan definitif secara umum baik. Beberapa komplikasi dapat ditemukan,
keparahannya dapat tergantung dari seberapa panjang segmen usus yang terlibat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Heanue
TA, Pachnis V. Enteric nervous system development and Hirschsprung's disease:
advances in genetic and stem cell studies. Nat Rev Neurosci 2007;8(6):466-79.
2. Hamami
AH, Pleter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. Penyakit Hirschsprung.
Dalam: Sjamsuhidajat R, de Jong W, Ed. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Jakarta:
EGC, 2005. h. 670-71.
3. Whitehouse
FR, Kernohan JW. The myenteric plexus in congenital megacolon. Arch Int Med
1948;82:75.
4. Darussalam
D. Hubungan kelainan kongenital anomali gastrointestinal pada neonatus dan
kematian.Sari Pediatri 2013;14(6):341-4
5. Suraatmaja
S. Kapita selekta gastroenterologi anak. Jakarta: CV Sagung Seto, 2007. h. 250-1.
6. Sunoto.
Megakolon kongenital (penyakit Hirschsprung). Dalam: Markum AH, Ismael S,
Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan
anak jilid I. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 1991. h. 443-6.
7. Meza-Valencia
BE, de Lorimier AJ, Person DA. Hirschsprung disease in the U.S. associated
Pacific Islands: more common than expected. Hawaii Med J 2005;64(4):96-8, 100-1.
8. Kessman
J. Hirschsprung disease: diagnosis and management. Am Fam Physician
2006;74:1319-22
9. Newman K, Hackam DJ, Ford HR. Pediatric surgery. Dalam:
Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, Ed. Ebook
Schwartz
principles of surgery eighth edition. New York: McGraw-Hill, 2007.
10. Thapar
N. New frontiers in the treatment of hirschsprung disease. JPGN
2009;48:S92–S94.
11. Okamoto
EU. Embryogenesis of intramural ganglia of the gut and its relation to
Hirschsprung's disease. J Pediatr Surg 1967;2:437-43.
12. Langer
JC, Betti PA, Blennerhassett MG. Smooth muscle from aganglionic bowel in
Hirschsprung's disease impairs neuronal development in vitro. Cell Tissue Res
1994;276(1):181-6.
13.
Fernandez RM, Mathieu Y, Luzon-Toro B,
Nunez-Torres R, Gonzales-Meneses A, Antinolo G, et al. Contributions of PHOX2B
in the pathogenesis of Hirschsprung disease. PLoS One 2013;8(1):e54043 1-6.
14. Ryan
ET, Ecker JL, Christakis NA, et al. Hirschsprung's disease: associated
abnormalities and demography. J Pediatr Surg 1992;27(1):76-81.
15. Ward
SM, Sanders KM. Physiology and pathophysiology of the interstitial cell of
Cajal: from bench to bedside. I. Functional development and plasticity of
interstitial cells of Cajal networks. Am J Physiol Gastrointest Liver Physiol
2001;281(3):G602-11.
16. Menezes
M, Corbally M, Puri P. Long-term results of bowel function after treatment for
Hirschsprung's disease: a 29-year review. Pediatr Surg Int 2006;22(12):987-90.
17. Belin
B, Corteville JE, Langer JC. How accurate is prenatal sonography for the
diagnosis of imperforate anus and Hirschsprung's disease? Pediatr Surg Int
1995;10:30-2.
18. Teitelbaum
DH, Caniano DA, Qualman SJ. The pathophysiology of Hirschsprung's-associated
enterocolitis: importance of histologic correlates. J Pediatr Surg 1989;24(12):1271-7.
19. Pensabene
L, Youssef NN, Griffiths JM, et al. Colonic manometry in children with
defecatory disorders. Role in diagnosis and management. Am J Gastroenterol
2003;98(5):1052-7.
20. Guinard-Samuel
V, Bonnard A, De Lagausie P, et al. Calretinin immunohistochemistry: a simple
and efficient tool to diagnose Hirschsprung disease. Mod Pathol 2009;22(10):1379-84.
21. Georgeson
KE, Cohen RD, Hebra A, et al. Primary laparoscopic-assisted endorectal colon
pull-through for Hirschsprung's disease: a new gold standard. Ann Surg 1999;229(5):678-82;
discussion 682-3.
22. De
la Torre L, Ortega A. Transanal versus open endorectal pull-through for
Hirschsprung's disease. J Pediatr Surg 2000;35(11):1630-2.
23. Rintala
RJ, Lindahl H. Sodium cromoglycate in the management of chronic or recurrent
enterocolitis in patients with Hirschsprung's disease. J Pediatr Surg
2001;36(7):1032-5.
24. Marty
TL, Seo T, Sullivan JJ, et al. Rectal irrigations for the prevention of
postoperative enterocolitis in Hirschsprung's disease. J Pediatr Surg
1995;30(5):652-4.
25. Ryan
ET, Ecker JL, Christakis NA, et al. Hirschsprung's disease: associated
abnormalities and demography. J Pediatr Surg 1992;27(1):76-81.
26. Yanchar
NL, Soucy P. Long-term outcome after Hirschsprung's disease: patients'
perspectives. J
Pediatr Surg 1999;34(7):1152-60.
0 komentar:
Posting Komentar