Pendahuluan
Katarak
senilis adalah penyakit gangguan penglihatan yang terkait dengan umur yang
memiliki karakteristik penebalan progresif dan gradual lensa mata. Penyakit ini
merupakan salah satu penyebab terbanyak kebutaan di dunia. Hal ini patut disayangkan
karena morbiditas penglihatan yang diakibatkan katarak yang berkaitan dengan
umur dapat reversibel. Oleh sebab itu, deteksi dini, observasi ketat, dan
intervensi bedah harus dilakukan dalam manajemen katarak senilis.1
Usia adalah
faktor risiko penting untuk katarak senilis. Seiring bertambahnya usia, peluang
terjadinya katarak senilis semakin meningkat. Dalam Framingham Eye Study dari
1973-1975, jumlah total dan kasus baru katarak meningkat secara dramatis dari
23,0 kasus per 100.000 dan 3,5 kasus per 100.000, secara respektif, pada individu
berusia 45-64 tahun hingga 49,2 kasus per 100.000 dan 40,8 kasus per 100.000
pada individu berusia 85 tahun dan lebih.1
Penelitian
oleh Wilmer Eye Institute pada 2004 mencatat bahwa sekitar 20,5 juta (17,2%)
orang Amerika berusia lebih dari 40 tahun memiliki katarak dan 6,1 juta (5,1%)
berupa pseudofakia/afakia. Jumlah ini diperkirakan mengalami peningkatan hingga
30,1 juta kasus katarak dan 9,5 juta kasus dengan dengan pseudofakia/afakia
pada 2020.2
Pada berbagai
penelitian terbaru katarak diidentifikasi sebagai penyebab terbanyak gangguan
penglihatan dan kebutaan, dengan statistik berkisar antara 33,3% (Denmark)
hingga setinggi 82,6% (India). Data yang dipublikasikan memperhitungkan bahwa
1,2% dari seluruh populasi Afrika mengalami kebutaan, dengan katarak sebagai
penyebab 36% kebutaan.3,4
Faktor Risiko
Berbagai
faktor risiko yang menyebabkan terjadinya katarak senilis meliputi kondisi
lingkungan, penyakit sistemik, diet, dan usia.5
Katarak
terkait usia adalah penyakit multifaktorial dan perbedaan faktor risiko
berkaitan dengan perbedaan tipe katarak. Katarak kortikal dan subkapsular
posterior berhubungan erat dengan stress lingkungan seperti paparan ultraviolet
(UV), diabetes, dan obat-obatan. Katarak nuklear sepertinya berkaitan dengan
merokok. Alkohol telah dihubungkan dengan semua jenis katarak.6
Katarak
kortikal dihubungkan dengan adanya diabetes lebih dari 5 tahun dan peningkatan
kadar potassium dan sodium serum. Riwayat operasi dengan anestesi umum dan
penggunaan obat sedatif dihubungkan dengan penurunan risiko katarak senilis
kortikal. Katarak subkapsular posterior dikaitkan dengan penggunaan steroid dan
diabetes, sedangkan katarak nuklear memiliki korelasi signifikan dengan
kalsitonin dan asupan susu. Katarak campuran dihubungkan dengan riwayat operasi
menggunakan anestesi umum.7
Pada sebuah
penelitian berbasis populasi dari 3471 individu yang diikuti selama 4 tahun,
ditemukan bahwa faktor risiko independen untuk insiden opasitas lensa nuklear
meliputi usia tua, merokok, dan adanya diabetes. Faktor risiko untuk opasitas
lensa kortikal meliputi usia tua dan diabetes. Gender wanita adalah faktor
risiko untuk opasitas lensa subkapsular posterior. Adanya diabetes dan usia tua
merupakan faktor risiko untuk opasitas lensa campuran.8
Katarak
senilis dihubungkan dengan berbagai penyakit sistemik meliputi kolelitiasis,
alergi, pneumonia, penyakit koroner dan insufisiensi jantung, hipotensi,
hipertensi, retardasi mental, dan diabetes.5
Hipertensi
sistemik ditemukan secara signifikan meningkatkan risiko katarak subkapsular
posterior. Hipertrigliseridemia, hiperglikemia, dan obesitas ditemukan
mempengaruhi pembentukan katarak subkapsular posterior di usia yang lebih muda.9
Patofisiologi10
Patofisiologi
dibalik katarak senilis rumit dan belum sepenuhnya dipahami. Patogenesisnya
melibatkan interaksi kompleks banyak faktor di antara proses fisiologis.
Seiring bertambahnya usia, berat lensa dan ketebalannya meningkat sedangkan
daya akomodatif lensa menurun. Lapisan-lapisan kortikal baru bertambah dalam
pola konsentrik sehingga nukleus sentral tertekan dan mengeras dalam sebuah
proses yang disebut sklerosis nuklear.
Berbagai
mekanisme berkontribusi terhadap hilangnya transparansi lensa secara progresif.
Epitel lensa dipercaya mengalami perubahan terkait usia, khususnya penurunan
densitas sel epitel lensa dan diferensiasi menyimpang sel-sel serat lensa.
Meskipun epitel lensa katarak mengalami kematian apoptotik dengan kecepatan
rendah, yang tidak cenderung menjadi penyebab penurunan signifikan densitas
sel, akumulasi kehilangan epitel skala kecil dapat berakibat berubahnya
pembentukan serat lensa dan homeostasis, bahkan menyebabkan hilangnya
transparensi lensa. Lebih jauh lagi, seiring bertambahnya umur lensa, penurunan
kecepatan dimana air dan mungkin metabolit-metabolit dengan berat molekul
rendah yang larut air dapat memasuki sel nukleus lensa melalui epitel dan
korteks terjadi dengan penurunan kecepatan transport air, nutrisi, dan
antioksidan.
Akibatnya,
kerusakan oksidatif yang progresif terhadap lensa seiring umur terjadi,
menyebabkan pembentukan katarak senilis. Berbagai penelitian menunjukkan
peningkatan produk oksidasi (contoh glutation teroksidasi) dan penurunan
vitamin-vitamin antioksidan dan enzim superoksida dismutase memainkan peran
penting pada proses oksidatif dalam kataraktogenesis.
Mekanisme
lain melibatkan konversi protein lensa sitoplasmik dengan berat molekul rendah
terlarut menjadi kumpulan-kumpulan protein terlarut dengan berat molekul
tinggi, fase tidak terlarut, dan matriks-matriks protein membran tak terlarut.
Perubahan protein yang dihasilkan menyebabkan fluktuasi kasar indeks refraksi
lensa, sinar yang berhambur, dan penurunan transparensi. Teori lain tengah
diteliti termasuk peran nutrisi dalam pembentukan katarak, khususnya
keterlibatan glukosa dan berbagai mineral serta vitamin.
Katarak senilis
dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe utama: katarak nuklear, katarak kortikal,
dan katarak subkapsular posterior. Katarak nuklear dihasilkan dari sklerosis
nuklear yang berlebih dan penguningan, dengan akibatnya pembentukan opasitas
lentikular sentral. Pada beberapa kasus, nukleus dapat menjadi sangat opak dan
coklat, yang disebut katarak nuklear brunesen. Perubahan komposisi ionik
korteks lensa dan perubahan akhir hidrasi serat lensa menghasilkan katarak
kortikal. Pembentukan opasitas granular dan seperti plak pada korteks
subkapsular posterior seringkali memperparah pembentukan katarak subkapsular
posterior.
Gejala Klinis
Pasien
dengan katarak senilis seringkali datang dengan riwayat perburukan dan gangguan
penglihatan yang progresif dan gradual. Kelainan penglihatan bervariasi,
tergantung pada tipe katarak yang terdapat pada pasien.
- Penurunan ketajaman penglihatan
Keluhan
ini adalah yang paling banyak terdapat pada pasien katarak senilis. Berbagai
tipe katarak menghasilkan pengaruh yang berbeda pada ketajaman penglihatan.
Sebagai
contoh, derajat ringan katarak subkapsular posterior dapat menyebabkan reduksi
berat ketajaman penglihatan dengan kemampuan melihat jarak dekat lebih
terpengaruh dibandingkan penglihatan jarak jauh, sepertinya akibat dari miosis
akomodatif. Akan tetapi, katarak sklerotik nuklear seringkali dihubungkan
dengan penurunan penglihatan jarak jauh dan penglihatan jarak dekat yang baik.
Katarak
kortikal secara umum tidak relevan secara klinis hingga progresi lebih lanjut ketika
jari-jari kortikal mempengaruhi aksis visual. Akan tetapi ada kasus dimana
jari-jari kortikal soliter kadang menghasilkan keterlibatan signifikan aksis
visual.
- Rasa silau
Rasa
silau adalah keluhan tersering lain yang dialami pasien katarak senilis. Keluhan
ini meliputi segala spektrum dari sebuah penurunan sensitivitas kontras dalam
lingkungan berlampu terang atau tidak adanya silau selama siang hari hingga
silau dengan adanya lampu di malam hari.
Gangguan
penglihatan ini menonjol khususnya pada katarak subkapsular posterior dan,
untuk derajat lebih ringan, dengan katarak kortikal. Keluhan ini jarang
berhubungan dengan sklerosis nuklear. Kebanyakan pasien dapat menoleransi
derajat kesilauan sedang tanpa kesulitan yang berarti, dan silau itu sendiri tidak
membutuhkan tatalaksana pembedahan.
- Pergeseran miopik
Progresi
katarak dapat seringkali meningkatkan kekuatan diopterik lensa yang
mengakibatkan myopia atau pergeseran miopik derajat ringan hingga sedang.
Sebagai akibatnya, pasien presbiopi melaporkan perbaikan pada penglihatan jarak
dekat dan kurang membutuhkan kacamata baca, yang disebut sebagai penglihatan
kedua. Namun, kejadian ini hanya sementara, dan seiring memburuknya kualitas
optik lensa, penglihatan kedua akhirnya menghilang.
Secara
khas, pergeseran miopik dan penglihatan kedua tidak tampak pada katarak
kortikal dan subkapsular posterior. Lebih lanjut lagi, pembentukan asimetrik
myopia yang diinduksi lensa dapat menghasilkan anisometropia simtomatik
signifikan yang mungkin membutuhkan tatalaksana pembedahan.
- Diplopia monokular
Perubahan
nuklear yang terkonsentrasi dalam lapisan dalam lensa, menghasilkan area
refraktil pada pusat lensa, yang seringkali dapat dilihat paling jelas dengan
refleks cahaya merah menggunakan retinoskopi atau optalmoskopi langsung.
Fenomena
tersebut dapat menyebabkan diplopia monokular yang tidak terkoreksi dengan
kacamata, prisma atau lensa kontak.
Pemeriksaan Fisik5
Pemeriksaan
mata lengkap harus dilakukan diawali dengan tajam penglihatan untuk penglihatan
jarak dekat maupun jauh. Ketika pasien mengeluhkan silau, tajam penglihatan
harus diperiksa dalam ruangan dengan lampu terang. Sensitivitas kontras juga
harus diperiksa, khususnya bila riwayat penyakit menunjuk pada sebuah masalah
yang mungkin.
Pemeriksaan
adneksa mata dan struktur intraokular dapat memberi petunjuk terhadap penyakit
pasien dan prognosis visual akhir.
Pemeriksaan
yang sangat penting adalah pemeriksaan lampu berayun untuk mendeteksi pupil
Marcus Gunn atau defek pupil aferen relatif (RAPD) yang mengindikasikan lesi
nervus optik atau keterlibatan makular yang difus. Pasien dengan RAPD dan
katarak diperkirakan memiliki prognosis visual yang sangat tidak menjanjikan
setelah ekstraksi katarak. Untuk melihat fungsi retina juga dapat dilakukan
pemeriksaan proyeksi iluminasi.
Pasien
dengan ptosis lama sejak kecil dapat memiliki ambliopia oklusi, yang dapat
mengakibatkan penurunan ketajaman penglihatan lebih parah daripada katarak.
Memeriksa masalah gerakan bola mata juga penting untuk menyingkirkan berbagai
penyebab lain dari gangguan penglihatan.
Pemeriksaan
dengan slit lamp harusnya tidak hanya
untuk mengevaluasi opasitas lensa namun struktur
okular lain (seperti konjungtiva, kornea, iris, kamera okuli anterior).
Ketebalan kornea dan kelainan opasitas kornea seperti guttata kornea, harus
diperiksa dengan teliti. Penampakan lensa harus diperhatikan secara teliti sebelum
dan setelah dilatasi pupil.
Makna
penglihatan dari katarak nuklear percikan minyak dan katarak subkapsular
posterior kecil dievaluasi paling baik dengan pupil ukuran normal untuk
menentukan jika aksis visual tidak jelas. Namun sindrom eksfoliasi lebih baik
diperiksa pada pupil yang dilatasi, menyingkap material ekspoliatif pada kapsul
lensa anterior.
Setelah
dilatasi, ukuran nukleus dan brunesensi sebagai indikator densitas katarak
dapat ditentukan untuk menjadi acuan pembedahan fakoemulsifikasi. Posisi lensa
dan integritas serat zonular juga harus diperiksa karena subluksasi lensa dapat
mengindikasikan trauma mata sebelumnya, kelainan metabolik, atau katarak
hipermatur.
Pentingnya
optalmoskopi direk dan indirek dalam mengevaluasi integritas pole posterior
harus digarisbawahi. Masalah nervus optik dan retina dapat berkontribusi dalam
gangguan penglihatan yang dialami pasien. Lebih jauh lagi, prognosis setelah
ekstraksi lensa dipengaruhi secara signifikan oleh deteksi posterior pole
patologis preoperatif (seperti edema makular, degenerasi makular terkait usia).
Berikut
merupakan hasil temuan pemeriksaan oftalmologi pada katarak senilis dengan
berbagai stadium:10
Tabel stadium
katarak senile
Penatalaksanaan11
Ekstraksi
lensa adalah terapi definitif untuk katarak senilis. Operasi ini dapat
dilakukan melalui prosedur berikut:
- Ekstraksi katarak intrakapsular (ICCE), melibatkan ekstraksi seluruh lensa, termasuk kapsul posterior; banyaknya komplikasi postoperatif akibat prosedur ini mengakibatkan prosedur ini jarang dipakai meski dapat dilakukan dengan peralatan yang lebih sederhana. Insisi limbus yang lebih besar, seringkali 160-180 derajat, dikaitkan dengan lambatnya penyembuhan, rehabilitasi penglihatan yang lama, astigmatisma signifikan, inkarserasi iris, terbukanya luka postoperatif, dan inkarserasi vitreus. Edema kornea merupakan komplikasi intraoperatif dan postoperatif segera yang sering terjadi. Kontraindikasi absolut ICCE adalah katarak pada anak-anak dan dewasa muda dan kasus dengan ruptur kapsul traumatik. Kontraindikasi relatif meliputi myopia tinggi, sindrom Marfan, katarak morgagnian, dan adanya vitreus pada COA.
- Ekstraksi katarak ekstrakapsular (ECCE), melibatkan pelepasan nukleus lensa melalui pembukaan di kapsul anterior, dengan mempertahankan integritas kapsul posterior. Keuntungan ECCE diantaranya:
-
insisi yang lebih kecil, dan karenanya lebih
sedikit trauma pada endotel kornea;
-
komplikasi jangka pendek dan panjang dari
perlekatan vitreus terhadap kornea, iris, dan insisi diminimalisir atau
dieliminir;
-
penempatan IOL secara anatomis lebih baik karena
kapsul posterior yang utuh;
-
kapsul posterior yang intak juga menurunkan
mobilitas iris dan vitreus yang terjadi dengan pergerakan sakadik, menyediakan
perlindungan yang merestriksi perubahan beberapa molekul di antara aquos dan
vitreus, dan menurunkan insidensi ablasi kornea, CME, dan edema kornea;
-
kapsul yang intak mencegah bakteri dan
mikroorganisme lain yang secara tak sengaja memasuki ruang anterior selama
operasi, mendapat akses ke rongga vitreus posterior dan menyebabkan
endoftalmitis;
-
implantasi IOL sekunder, operasi filtrasi,
transplantasi kornea, dan penyembuhan luka dapat dilakukan lebih mudah dengan
derajat keamanan yang tinggi dengan utuhnya kapsul posterior.
- Fakoemulsifikasi, juga melibatkan ekstraksi lensa melalui pembukaan kapsul anterior; jarum ultrasonik digunakan untuk memecah nukleus katarak menjadi fragmen-fragmen; substrat lensa kemudian diaspirasi melalui tempat masuk jarum dengan suatu proses yang disebut fakoemulsifikasi. Prosedur ini membutuhkan mesin dan instrumentasi yang lebih canggih daripada ECCE standar yang melakukan pelepasan lensa secara manual.
Implantasi
lensa intraokular (IOL) digunakan dalam kombinasinya dengan setiap teknik
tersebut di atas, walaupun ECCE dan fakoemulsifikasi memberikan penempatan IOL
yang lebih baik daripada ICCE.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ocampo jr VV, Foster CS, Allinson RW, Law KS,
Rowsey JJ, Brown LL, et al. Senile cataract overview. Medscape [serial online]
2014 Feb [cited 29 May 2013]. Available from: URL:
http://www.emedicine.medscape.com
2.
Congdon N, Vingerling JR, Klein BE, West S,
Friedman DS, Kempen J, et al. Prevalence of cataract and pseudophakia/aphakia
among adults in the United States. Arch Ophthalmol. 2004;122(4):487-94.
3.
Buch H, Vinding T, Nielsen NV. Prevalence and
causes of visual impairment according to World Health Organization and United
States criteria in an aged, urban Scandinavian population: the Copenhagen City
Eye Study . Ophthalmology. 2001;108(12):2347-57.
4.
Murthy GV, Vashist P, John N, Pokharel G,
Ellwein LB. Prevalence and causes of visual impairment and blindness in older
adults in an area of India with a high cataract surgical rate. Ophthalmic
Epidemiol. 2010;17(4):185-95.
5.
Ocampo jr VV, Foster CS, Allinson RW, Law KS,
Rowsey JJ, Brown LL, et al. Senile cataract clinical presentation. Medscape [serial
online] 2014 Feb [cited 29 May 2013]. Available from: URL:
http://www.emedicine.medscape.com
6.
West SK, Valmadrid CT. Epidemiology of risk
factors for age-related cataract. Surv Ophthalmol. 1995;39(4):323-34.
7.
Miglior S, Marigh PE, Musicco M, Balestreri C,
Nicolosi A, Orzalesi N. Risk factors for cortical, nuclear, posterior
subcapsular and mixed cataract: a case-control study. Ophthalmic Epidemiol.
1994;1(2):93-105.
8.
Richter GM, Choudhury F, Torres M, Azen SP,
Varma R. Risk factors for incident cortical, nuclear, posterior subcapsular,
and mixed lens opacities: the Los Angeles Latino eye study. Ophthalmology. 2012;119(10):2040-7.
9.
Johns KJ, Feder RS, Rosenfeld SI, et al. Lens
and cataract. In: American Academy of Ophthalmology Basic and Clinical Science
Course. Vol. 11. 1999-2000
10.
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.
11.
Ocampo jr VV, Foster CS, Allinson RW, Law KS,
Rowsey JJ, Brown LL, et al. Senile cataract treatment and management. Medscape
[serial online] 2014 Feb [cited 29 May 2013]. Available from: URL:
http://www.emedicine.medscape.com
0 komentar:
Posting Komentar