Matahari baru beranjak dari timur. Hitam berangsur menjadi
biru kelabu untuk kemudian putih. Ia menyusuri jalan. Menyeksama keadaan.
Bunga-bunga dicerabut dengan paksaan. Kelopaknya berhamburan. Bukit-bukit
berlubang. Hijau dulu tinggi menjulang. Sekarang hilang ditebang secara
serampangan. Anak-anak menjadi pengamen jalanan. Yang lain kelaparan. Jutaan
terbunuh tertembus timah tajam. Pertarungan tak seimbang. Berdalih dengan
berbagai alasan. Selalu ada meski tak logis untuk dipikirkan.
Ia tak peduli. Terus menyusuri jalan. Pemandangan kembali
berulang. Semakin menjadi-jadi tanpa kompromi. Bergulir melindas siapa saja
yang tak mampu bertahan. Ini hukum rimba. Tapi ini manusia. Inikah kehidupan?
Dimana Tuhan?
Ia ditarik ke dalam sebuah ruang diskusi. Berbagai logika
keapatisan dilucuti. Badai terjadi di otak. Ini bukan doktrin yang memaksanya
untuk memberontak. Tersenyum. Inilah jawaban.Tak terbatas pada segelintir
kalangan. Kesadaran. Perubahan hakiki. Revolusi.
Ia merasa baru kali ini bebas. Semua belenggu telah
terlepas. Termasuk jerat-jerat rutinitas. Tak peduli dalam genggaman terasa
panas. Bahkan berimplikasi keringat dan nanti darah, mengucur deras. Namun kali
ini bebas. Dan ingin menjadi pembebas.
Matahari kembali pulang ke barat. Seakan tak bertanggung
jawab menjadikan langit jingga untuk kemudian hitam. Segelas kopi dihidangkan.
Menemani untuk kembali menyeksama keadaan. Malam itu menyiksa. Ia berpikir apa
yang diusahakannya selama ini sia-sia. Semua tak sesuai dengan bayangan
idealnya. Tak ada yang peduli dengan itu. Pun gerombolan yang tumpah ruah di
jalan, berseliweran meramaikan malam. Menyaksikan mereka ia menjadi kasihan.
Sebentuk makhluk bernama sahabat mengingatkannya. Untuk tahu
ia melakukan sesuatu sejatinya demi apa. Di titik itu ia kembali menemukan
ketenangan. Bahwa ia harus terus tersenyum dan melawan. Bahwa akhir itu kelak
akan lebih baik dibanding awal, jika manusia mengetahui.
0 komentar:
Posting Komentar