skip to main |
skip to sidebar
Menjelang malam tahun baru ini saya berdoa,
“Ya Allah, kami percaya hujan itu rahmat bagi kami. Maka turunkanlah malam ini dengan lebat, demi kebaikan kami semua.”
Tiba-tiba di ruang pikiran saya seorang bapak separuh baya menyela,
“Kamu gak adil! Apa yang kamu doakan itu belum tentu baik untuk semua
orang. Bagi saya yang penjual terompet yang mengais rezeki dari malam
ini, hujan lebat bukanlah sesuatu yang baik. Bagaimana saya bisa dapat
duit? Buat makan saya dan anak istri saya, juga biaya sekolah anak saya?
Hah?”
“Sabar Pak. Saya mengerti perasaan bapak. Memang hidup
kita zaman sekarang susah. Tapi bapak muslim kan? Bagi kita orang
beriman, kita percaya bahwa rezeki mutlak di tangan Allah.. eh biar enak
ngobrolnya gimana ya...”
Saya clingak-clinguk sebentar, di ruang pikiran saya di sebelah sana terdapat warung kopi. Saya lalu berujar,
“Pak, mari kita ke warung sebelah sana dulu. Saya bayarin kok.”
Bapak itu mengangguk saja meski ekspresinya masih terlihat kurang
berkenan. Di warung lalu saya memesan 2 cangkir kopi hangat, dan
mempersilakan bapak tadi mengambil penganan yang ada di warung tersebut
jika mau. Kopi sudah datang. Saya mulai menyeruputnya duluan,
“srrruuuuutt, cegukk, aaah. Maknyos euy. Eh ngomongin apa kita tadi?
Oya. Ehm bapak, tahukah bapak? Bahwa budaya merayakan tahun baru itu
bukan budaya yang diajarkan oleh Islam. Bahkan ini sejarahnya merupakan
perayaan orang-orang kafir romawi dalam rangka memuja dewa mereka. Nah
kita orang Islam dilarang ngerayain kayak beginian. Memperingatinya sama
aja dengan meniru kebiasaan orang kafir. ”
“Lo tapi kan sudah
jadi kebiasaan ini tiap tahun? Lagi pula bukankah banyak orang yang
tumpah ruah merayakannya?” bapak menyela setelah tadi menghabiskan
kopinya dalam sekali teguk.
“Begini pak, biar saya selesaikan
dulu penjelasan saya. Sesuatu yang menjadi kebiasaan bagi kita belum
tentu merupakan hal yang benar pak. Seandainya kebiasaan menjadi standar
kebenaran, bagaimana jika suatu saat korupsi dianggap suatu yang
sah-sah saja dilakukan? Bukankah korupsi saat ini sudah mulai menjadi
suatu kebiasaan?”
Saya melanjutkan. “Dan banyaknya orang yang
melakukan hal itu juga bukanlah standar kebenaran. Misalkan ada suatu
kampung yang terdiri dari puluhan preman dan seorang ulama, memutuskan
apakah perjudian di sana harus ditutup atau tidak. Maka diambil suara
terbanyak, dan para preman yang ingin perjudian tetap dibuka menang.
Sehingga bisakah kita menyimpulkan perjudian itu hal yang dibenarkan?
Tentu tidak kan bapak?”
“Tapi ini kan hal yang bermanfaat?
Dengan merayakan tahun baru orang jadi berintrospeksi diri dan berniat
menjadi lebih baik di tahun depan. dan lihatlah, banyak yang mendapatkan
penghasilan dari sini. Para entertainer, penyanyi nasional hingga
dangdut lokal, penjual kembang api, pedagang terompet seperti saya dan
ratusan bahkan mungkin ribuan lainnya?”
“Hmm, wih... bapak cerdas juga ya?”
“ya eyalah! gua gitu loh!”
Menghela nafas sebentar, lalu saya melanjutkan “Baik pak, dalam Islam
bukankah kita diajarkan untuk melakukan introspeksi? Bahkan setiap saat,
tak cuma dalam hitungan tahun. Tadi saya baca koran pak, katanya kondom
habis terjual di malam tahun baru ini, dan faktanya memang kemaksiatan
banyak terjadi pada momen beginian. Jadi banyak juga mudharatnya!
Pergaulan bebas, kebobrokan moral, rusaknya tatanan sosial bisa menjadi
akibatnya.
“Kita harus memahami juga bahwa sesuatu tak bisa
dikatakan benar hanya berdasarkan nilai manfaatnya. Seandainya manfaat
menjadi standar kebenaran, maka kacaulah dunia ini pak. Misalkan ada
satu keluarga yang kesusahan dari segi materi, sehingga si suami selaku
kepala keluarga lalu memerintahkan istrinya untuk maaf, menjadi PSK demi
menambah penghasilan keluarga mereka. Dari segi manfaat, bukankah itu
luar biasa? Tanpa modal yang berarti, kecuali kenekatan dan seperangkat
alat kosmetik seadanya. Penghasilan dari itu akan mampu mencukupi untuk
makan, bahkan membiayai sekolah anak-anak mereka. Tapi apakah itu bisa
dianggap sesuatu yang benar pak?”
“Iya sih, tapiii... ya gimana
kita ini dek, kalau gak gini jadi susah hidup. Nyari yang haram aja
ribet apalagi yang halal. Eh dek saya nambah lagi kopinya yah!”
“Eh
silakan pak pesan lagi. Nah sebenarnya halal dan haram itulah yang harus
jadi tolak ukur kita melakukan suatu perbuatan, apakah itu benar atau
salah. Ya beginilah pak, di zaman sekarang dimana agama dipisahkan dari
kehidupan, segalanya jadi susah, apalagi berusaha buat taat sama aturan
Allah. Tapi ingat pak, kita ini dimasukkan ke surga atau dilempar ke
neraka bukan berdasarkan kaya miskinnya kita. Tapi berdasarkan banyaknya
pahala sama dosa kita.
“Pak, hidup ini cuma sementara,
lagian sangat sebentar jika dibandingkan akhirat yang kekal abadi.
Kesusahan kita di dunia, karena berusaha taat sama Allah, mestinya tak
membuat ketaatan kita luntur. Dengan taat, biar bapak miskin, bapak
tetap mulia di hadapan Allah toh? Bukankah Allah juga berjanji
barangsiapa yang bertakwa kepadanya akan diberikan jalan keluar lalu
dikasih rezeki dari arah yang gak disangka-sangka? ”
“Iya yah.
Wah seandainya semua orang berpikiran kayak adek ini, pasti dunia ini
bakal damai dan tentram. Saya jadi kepengen punya mantu kayak adek. Mau
gak kamu?”
“Emang anak bapak siapa, cakep gak? Wih jadi salah tingkah nih”
“Anak saya cuma satu, umurnya kurang lebih kayak adek juga. Namanya Joko Susilo.”
“Apa?! Waduh, emangnya saya ini maho? Jijay eyke mah!”
“Hehe, iya juga yah. Eh tapi gimana nih banyak rekan-rekan saya yang
lain gak tau kalo gak boleh ikut jualan yang ngedukung perayaan tahun
baru nih!”
“Itulah, seandainya aturan Islam diterapkan, dengan
menjalani pendidikan berlandas aqidah, maka bapak-bapak akan berpikir
lagi untuk berjualan memanfaatkan momen perayaan yang gak sesuai Islam.
Faktor ekonomi pastinya berperan di sini juga kan pak. Karena banyak
yang gak sejahtera akhirnya nyari materi yang jadi fokus utamanya. Kalau
aturan ekonomi Islam dijalankan, bapak sama kawan-kawan gak usah
repot-repot lagi kayak gini. Lapangan pekerjaan di sector yang haram
pasti bakal dihapuskan! Lapangan kerja yang halal dimaksimalkan. Sumber
daya alam dikembalikan kekayaannya ama rakyat! Kebutuhan-kebutuhan pokok
seperti sekolah ama kesehatan bisa gratis, kayak dulu waktu masih ada
Kholifah.”
“Keren ih! Trus kapan lagi ada Kholifah?”
“Kapan-kapan pak, hehe. Insya Allah bentar lagi. Tapi kalo bapak mau
serius insya Allah di balik kesempitan ada aja kesempatan pak.
Temen-temen saya buktinya ada aja yang bisnis halalnya sukses. Udah dulu
ya pak. Kayaknya bentar lagi mau ujan beneran nih. Lagipula saya takut
kejebak macet, yah soalnya masih banyak yang gak paham masalah tahun
baruan ini. Nih saya kasih nomor saya aja, nanti kita kontak-kontakkan
lagi. Ok pak?”
“Oke sip!”
“Assalamu’alaykum”
“Wa’alaykumussalam.”
Dalam ruang pikiran, saya melangkahkan kaki menuju motor saya yang diparkir di sebelah sana. Tiba-tiba,
“Woy mas, bayar dulu kopinya!” pemilik warung berseru.
“O iya, eh dompet saya mana nih? Waduh kayaknya ketinggalan. Ngutang dulu paakk!”
4 komentar:
Bolehkah ikutan ngopi juga, Bro?
silakan, dengan senang hati lan! dan bakal lebih menyenangkan klo kamu yg bayarin :D
kapan-kapan , mau mampir bareng kluarga ku brooow...?
saya merindukannya, bertukar pikiran di warung kopi bersama seorang seniman :)
Posting Komentar