“Mau kemana?”
“Ada yang dicari, Ma,”
Jawaban singkat itu walau mungkin tak menjawab secara gamblang pertanyaan beliau, tetap menjadi penutup dialog singkat kami dan setelahnya saya pun memacu motor menuju tempat yang saya ingin mencari sesuatu di sana. Lantas, apa yang dicari? Sederhana, sedikit ketenangan yang lebih. Yang itu sepertinya bisa saya dapat, seperti sebelumnya, dengan menyaksikan sebagian dari keindahan alam. Menghirup udara sejuk di daerah yang sejauh mata memandang kebanyakan dihiasi warna hijau.
Akhir kuliah semester genap kedua selama menjadi mahasiswa telah saya lalui dengan perasaan yang campur aduk. Antara lega sebab libur panjang telah tiba, dan menyesal karena usaha semester ini dirasa belum maksimal sehingga hasil yang didapat pun tidak memuaskan. Bahkan sangat. Tapi penyesalan berlarut takkan menghasilkan solusi. Lebih baik memikirkan apa yang bisa kita lakukan untuk menebusnya, dan itu telah saya mulai. Di saat otak mulai kelelahan menyimpan serta menganalisa informasi, saya memutuskan untuk pergi.
Saya bertolak menuju tempat, yang sekitar 3 atau 4 tahun lalu, sempat beberapa kali rutin saya kunjungi. Bukan saja karena keindahan alamnya, namun di kompleks perumahan baru itu seorang sahabat, sekaligus tetangga saya, orang tuanya baru saja membeli sebuah rumah untuk disewakan. Saya dan beberapa teman akrab di komplek kami sering diajak ke sana sebelum rumah itu berpenghuni. Satu kali kami memancing dan menangguk ikan di kali belakang rumah, bermain air dan berenang di sungai kecil, hingga sedikit bertualang di pematang sawah dan mendapat ubi kayu yang besar-besar. Nostalgia masa lalu cukup menambah ketentraman hati saya ternyata.
Tempat itu setelah beberapa tahun sudah cukup banyak mengalami perubahan, rumah-rumah yang dulunya kosong sudah banyak yang menghuni walau sebagian besar pemandangan asri yang dulu masih tetap ada. Perubahan lebih banyak sepertinya malah ada pada kami, pelaku kenangan tersebut. Saya sendiri secara pemikiran telah banyak mengalami perubahan yang cukup drastis, yang sedikit banyaknya juga berimbas terhadap pola sikap. Sepertinya kadar kegantengan saya saja yang masih tak berubah (wueeekkk..). Teman-teman saya yang dulunya dekat, sekarang sudah sibuk dengan urusannya masing-masing. Kami jadi jarang bertemu terutama dalam 2 tahun ini, meski jarak tempat tinggal kami sebenarnya sangat dekat (masih satu komplek). Walaupun bertemu paling hanya pas berpapasan di jalan, lalu menepikan diri berbincang sebentar termasuk menanyakan kabar. Teman saya yang 4 tahun lalu masih culun, sekarang keadaannya cukup berbeda jauh.
Yah, perubahan memang suatu keniscayaan. Bahkan peradaban saja seiring dengan waktu selalu mengalami perubahan. Pun individu. Namun kita mampu memilih, apakah kita yang mengendalikan perubahan tersebut agar mampu mendorong kita sendiri ke arah yang benar, atau kita yang pasrah saja dilindas roda perubahan yang bergulir entah itu ke arah yang lebih baik atau buruk. Sayangnya teman saya yang dulu culun itu yang kedua. Game online dan pergaulan telah membuatnya berbeda.
***
Omong-omong tentang perubahan, saya sudah antipati terhadap televisi di rumah, yang selama menjadi pendamping saya waktu liburan ini, selalu memuntahkan berita-berita membosankan mengenai potret kerusakan negeri. Yang sedang panas, seperti koruptor yang kabur ke luar negeri dan sedang menjadi buruan Interpol. Bendahara partai penguasa saat ini itu, anehnya tak pernah berhasil diringkus lembaga sekaliber Interpol, namun mampu memberikan ‘konferensi pers’ yang disiarkan secara live di Indonesia, yang isinya menghujat rekan-rekan satu partainya dan KPK.
Mau dibilang bagaimanapun, kesimpulannya bangsa ini sudah rusak. Rasanya kebenaran yang pasti susah untuk didapat. Satu pihak menuding koruptor salah dan harus ditangkap, lalu si koruptor balik menuding lembaga Negara penegak hukum sendiri pun juga tidak lagi bersih, karena ikut serta berkecimpung di lumpur busuk korupsi. Presiden kehilangan wibawa karena dinilai mengurus partainya sendiri saja tidak becus, bahkan terkuras energinya di sana sementara pengurusan rakyat menjadi terbengkalai. Ini kasus yang terbaru, yang lama-lama bagaimana? Mafia pajak, mafia hukum, kasus Century dan lainnya? Oh pantaslah rakyat negeri ini skeptis dan ingin adanya perubahan, kebangkitan. Sebagian dari mereka keinginannya mungkin sudah memuncak ke ubun-ubun, termasuk juga saya.
Ada seorang sobat yang mengirim sms informasi bahwa akan diselenggarakan acara seminar bedah buku berjudul “Banalitas Nasionalisme”. Buku yang ditulis oleh seorang dosen Unlam. Acaranya sendiri diadakan di aula kantor media massa terbesar di Kalsel. Gratis dan terbuka untuk umum. Dan karena waktunya pas, saya jadi bisa ikut serta.
Sesampainya di sana, saya dan dua orang teman yang juga ikut diberikan buku yang akan dibahas itu secara cuma-cuma oleh panitia. Kami duduk di belakang karena acara sudah dimulai dan kami sedikit terlambat. Di panggung ada Kapolda Kalsel, Pimred media massa ‘tuan rumah’, dan sang penulis buku. Mereka bergantian memaparkan berbagai hal sesuai topik diskusi, dipandu seorang moderator. Dan ketika tiba sesi Tanya jawab, saya mencoba mengambil kesempatan mengemukakan pandangan saya terhadap nasionalisme.
Sebenarnya banyak yang ingin saya sampaikan. Namun entah kenapa seperti biasa, gagasan itu tereduksi pas keluar dari mulut. Sepertinya saya memang orang yang susah menyampaikan bahasa batin melalui lisan. Yang saya sampaikan di forum, intinya mengapa nasionalisme hanya tumbuh subur di lahan emosionalitas? Seperti ketika ada penjajah fisik di hadapan, hingga saat euphoria piala AFF, baru orang ramai bicara nasionalisme. Setelah itu adem ayem saja. Apakah paham dan ikatan yang sifatnya temporal dan emosional ini, mampu membawa bangsa kita yang tengah rusak menuju kebangkitan?
Saya ingin mengarahkan sebenarnya, kepada satu kesimpulan. Nasionalisme bukan paham yang layak untuk dijadikan landasan kebangkitan. Jadi percayalah, walau teriak-teriak nasionalisme dan memperjuangkannya sampai urat leher putus pun, bangsa kita tetap tak bakal bangkit. Kerusakan bangsa ini sebenarnya sistemik. Oleh karena itu dibutuhkan solusi yang bersifat sistemik juga. Yang bersifat ideologis, yaitu mendasar dan menyeluruh. Nasionalisme mah, bisa apa? Nasionalisme itu lagipula bukan ideologi, definisinya saja bermacam-macam, membuat orang bingung.
Coba lihat nasionalisme Indonesia. Apakah itu berangkat dari adanya kesamaan warna kulit, ras, bahasa? Tidak kan? Itulah anehnya. Orang Melayu Sumatra yang serumpun dengan Melayu dari Malaysia tidak merasa seperti saudara, walau bahasa, warna kulit bahkan agama mereka sama. Tapi mereka merasa lebih bersaudara dengan orang Papua yang dari tampilan fisik saja berbeda jauh, apalagi bahasa dan budayanya. Nasionalisme Indonesia berangkat dari kesamaan nasib, katanya. Karena sama-sama pernah dijajah Belanda. Aneh, sekali lagi.
Banalitas Nasionalisme berarti kedangkalan dalam memahami nasionalisme. Apakah itu masalah utama penyebab keterpurukan bangsa ini? Bukan itu duduk persoalannya. Mengapa terjadi kebanalan ketika memahami nasionalisme? Jawabnya karena nasionalisme itu sendiri adalah ide yang banal!
Lagipula dalam sejarah tak ada istilahnya suatu kaum bisa bangkit karena nasionalisme. Yang ada, kebangkitan selalu dimotori oleh ideologi. Amerika bangkit dengan ideologi kapitalisme-sekularismenya. Uni Soviet dulu berjaya dengan Sosialisme-Komunismenya. Dan orang Arab jahiliyyah mampu berubah menjadi pemimpin peradaban selama belasan abad karena ideologi Islam yang diajarkan melalui lisan seorang Muhammad SAW. Nasionalisme malahan adalah racun, yang telah memecah belah menjadi potongan-potongan kecil negeri kaum muslim yang sebelumnya selama berabad-abad mampu berada dalam satu kesatuan.
Makanya, kalau memang ingin berubah, ingin bangkit, ya harus pakai ideologi. Ideologi yang jelaslah yang dibutuhkan. Dan tentu ideologi yang benar di antara semua ideologi. Saat di forum saya belum berhasil menyampaikan gagasan yang sampai pada kesimpulan ini. Sayang sekali. Dua orang sobat yang punya satu pemikiran juga mengangkat tangan di sesi diskusi yang kedua. Namun tidak ditanggapi moderator karena ada beberapa orang peserta diskusi yang angkat tangan duluan. Sekali lagi sayang. Beberapa saat setelah itu kami meninggalkan acara yang masih berlangsung sebab ada agenda yang lain tengah menunggu.
***
Tulisan ini, disamping ditulis untuk berbagai kepentingan utama juga merupakan pemenuhan bagi kepentingan lain, yaitu untuk memenuhi tugas dari Hippocampus yang dibebankan kepada saya dan teman-teman lain yang tergabung di dalamnya. Hippocampus itu organisasi jurnalistik fakultas, bukan perkumpulan orang maho. Tugasnya adalah menuliskan pengalaman maho kami, maaf bukan itu, maksudnya pengalaman liburan yang sudah dilalui. Libur dua bulan jelas bukan waktu yang singkat. Rasanya saya akan mampu melakukan tamasya fisik dan pikiran lagi, di berbagai kesempatan lainnya. Cerita yang bisa dibagikan pun, tentu akan lebih banyak. Insya Allah.
0 komentar:
Posting Komentar