Teman,
adalah kekecewaan yang berkecamuk di dalam dadaku,
ketika kamu meluncurkan seperangkat kalimat ini ke telingaku: “Untuk apa
sih kamu melawan? Apa sih yang kamu harapkan dari
pergerakan-pergerakanmu itu? Sudahlah, lebih baik kamu memikirkan
hidupmu dan keluargamu. Pikirkanlah masa depanmu. Berfikir tentang
'makan apa kita nanti?' lebih baik ketimbang berpikir tentang
rencana-rencana perlawananmu, yang menurutku hanyalah sebuah perbuatan
yang membuang-buang waktu. Rasional-lah sedikit. Bekerjalah dengan giat
dan carilah uang untuk membuatmu survive dalam menjalani kehidupan ini.
Jangan melawan melulu. Mau sampai kapan kamu menjadi pemberontak seperti
itu?”.
Teman,
saat itu aku memang hanya membisu.
Sebenarnya aku bisa saja langsung menghardikmu atau membakar mulutmu
dengan korek api yang bersemayam di dalam saku jaketku. Sebab, jujur
saja, aku sakit hati akan perkataanmu itu. Tapi aku tidak akan
melakukannya. Meskipun kebencian mampu menimbulkan energi untuk
menghancurkan, tapi aku masih memiliki perasaan untuk bisa memaafkanmu.
Perasaanku lah yang selalu menuntutku untuk bisa memaklumimu. Ya, semua
perkataanmu tentu bukan berasal dari dalam dirimu semata, melainkan juga
ada campur tangan dari sesuatu yang berada di luar dirimu. Kenyataan
hidup yang lumayan brengsek ini telah membentuk pemikiranmu menjadi
seperti itu. Adalah bodoh jika aku hanya menyalahkanmu.
Teman,
Tak
ada sesuatu hal yang percuma dan sia-sia, begitu pula dengan
pergerakanku. Ketika kamu menyuruhku untuk bersikap rasional, aku
bertanya dalam hati: Apakah dengan aku melakukan perlawanan, aku berhak
untuk dianggap tidak rasional?. Sebenarnya, salah satu alasan aku dalam
melakukan perlawanan ini adalah karena aku juga memikirkan hidupku dan
keluargaku. Aku melakukan pergerakan ini karena aku juga memikirkan masa
depanku. Sistem kapitalisme ini telah membuat segalanya menjadi
mencret. Banyak orang yang menjadi korban. Sudah banyak orang yang
tertindas dan termarjinalkan. Banyak orang yang tadinya begitu semangat
dalam melakukan perlawanan, namun langsung menjadi lembek dan kompromis
ketika di gampar oleh yang namanya
kenyataan. Tapi aku tidak
seperti itu. Justru karena kenyataanlah yang membuat aku semakin cadas
dalam melakukan perlawanan ini. Semakin mencret kenyataan menyapa,
semakin kuat alasanku untuk tidak pernah berhenti melawan. Kamu
menyuruhku untuk bekerja dan mencari uang untuk membuatku survive dalam
menjalani hidup ini. Kenyataan saat ini memang menuntut kita untuk
selalu mencari uang. Uang menjadi begitu penting. Uang memang penting,
tapi bukan segala-galanya. Uang memang bukan segalagalanya, tapi
penting. Aku akui itu dengan segenap kesadaranku, bahwa aku memang
membutuhkan uang. Itu tidak aku pungkiri. Itu sebabnya aku bekerja. Tapi
semua problematika kehidupan yang di ciptakan oleh kapitalisme ini
tidak akan pernah selesai jika kita hanya bekerja, bekerja, dan hanya
bekerja. Kita juga harus melakukan sebuah perlawanan demi sebuah
perubahan. Kita harus tetap terus melawan terhadap segala bentuk
kemapanan kapitalisme yang sudah semakin mengglobal.
Teman,
mungkin
kamu masih tidak akan pernah mau memahami jalan pikiranku. Tapi, asal
kamu tahu, aku melakukan perlawanan ini juga karena aku memikirkan
agamaku, hidupku, keluargaku, dan juga masa depanku.
Salam,
rex
Pages
Menikmati Upaya Revolusi Sebagaimana Menyeruput Secangkir Kopi
Sabtu, 28 April 2012
Surat untuk Teman
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
4/28/2012 11:30:00 PM
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
.
Jumlah yang Nyangkut
Corong Revolusi
Ekspresikanlah
Para Guru
Kutipan dari Langit
Hitungan Mundur
Detak-detik
Kicau
Diberdayakan oleh Blogger.
Follower
Mengenai Saya
- Adit Ahmad
- Hanya manusia biasa dengan misi pembebasan. Ingin mencoba berkontribusi untuk revolusi yang insya Allah pasti terjadi nanti. Masih dalam tahap belajar tentu, mencoba terus berkarya dalam segala keterbatasan.
0 komentar:
Posting Komentar