Anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa
orangtuanya ke rumah sakit dengan keluhan utama keringat dingin dan demam
tinggi tiap hari selama 4 hari. Orangtuanya mengatakan ketika demam turun,
pasien menjadi basah karena keringat dan merasa kehausan. Orangtuanya juga
melaporkan adanya diare, mual, dan sakit perut. Saat pemeriksaan pasien
didapatkan pasien mengalami letargi dan susah bangun. Kejang umum terjadi saat
di unit gawat darurat.
Keluarga pasien berimigrasi ke Amerika
Serikat dari Afrika Barat 3 minggu sebelum onset penyakit sekarang.
PEMERIKSAAN
FISIK
-Suhu 40⁰ C, denyut nadi 140/menit, nafas
28/menit, tekanan darah 82/40 mmHg
-Kurus, paling tidak masih responsif
terhadap perintah verbal. Pupil reaktif dan leher lunglai. Konjungtiva pucat
dan pemeriksaan abdomen menunjukkan adanya hepatosplenomegali.
PEMERIKSAAN
LABORATORIUM
Darah
Hematokrit: 18%
Leukosit: 16,3/µL
Diferensial: PMN 50%, Bands 20%,
limfosit 15%
Platelet: 42.000/µL
IMAGING
CT scan normal
CARA
DIAGNOSIS
Daftar penyebab penyakit yang mungkin
dari kasus (diagnosis diferensial) dapat dilihat pada table di bawah.
Pendekatan investigasional untuk diagnosis mikrobiologis spesifik dapat
dilakukan.
-Pungsi
lumbal dan pemeriksaan CSF untuk menyingkirkan meningitis bacterial.
-Kultur
darah untuk mendeteksi bakteri dalam darah.
-Apusan
tebal dan tipis untuk parasit dalam darah.
-Pada diagnosis yang gagal, pemeriksaan
serologis spesifik virus dilakukan untuk infeksi yang terdaftar.
Tabel
Diagnosis Diferensial dan Kesimpulan (Pertimbangan) Rasional
|
Trypanosomiasis
Afrika (penyakit tidur)
Meningitis
aseptik
Babesiosis
Meningitis
bakterial
Demam
berdarah
Leptospirosis
Malaria
Demam
typhoid
Pertimbangan rasional:
Diagnosis
harus dicari dengan teliti pada pasien yang menunjukkan gejala neurologis
berat dan demam. Selalu penting untuk menyingkirkan meningitis bakterial di
awal. Epidemiologi penting bagi pasien untuk menentukan riwayat yang mungkin
terpapar di area endemik untuk infeksi yang bervariasi. Demam tifoid dan
infeksi parasit harus dipertimbangkan. Banyak infeksi di atas yang secara
geografis terbatas, jadi riwayat perjalanan jauh sangat penting. Babesiosis
ditemukan di timur utara dan Amerika barat tengah atas dan leptospirosis
terkait dengan paparan hewan. Demam berdarah, malaria, dan tripanosomiasis
endemik di Afrika, dan dua infeksi terakhir khususnya menyebabkan demam
periodik.
|
RANGKAIAN
PEMERIKSAAN
Pasien diizinkan dan diwajibkan untuk
memakai ventilasi mekanik untuk mencegah kegagalan respirasi. Pungsi lumbal
dilakukan dan hasilnya normal. Kultur darah diambil dan hasilnya negatif untuk
pathogen dalam darah. Berdasarkan riwayat perjalanan jauh yang diberikan,
apusan darah tebal dan tipis dilakukan dan menghasilkan diagnosis.
ETIOLOGI
Plasmodium
falciparum (malaria)
PROFIL
MIKROBIOLOGIS
Plasmodia merupakan agen protozoa. Empat
spesies Plasmodium yang infektif
terhadap manusia adalah P. falciparum, P.
vivax, P. malariae, dan P. malariae. Hanya
P. falciparum yang mengancam nyawa.
Karakteristik morfologis yang terpenting
dari plasmodium termasuk di dalam empat stadium perkembangan berikut:
1. Cincin. Stadium
perkembangan awal dari parasit eritrositik aseksual, sering tersusun sebagai
bentuk cincin di sekitar vakuola sentral.
2.
Trofozoit.
Pada
stadium perkembangan selanjutnya, parasit telah kehilangan bentuk cincin dan
mulai mengumpulkan pigmen. Trofozoit P.vivax berbentuk ameboid, dan
eritrosit terinfeksi yang membesar mengandung sejumlah “titik Schuffner”.
3.
Schizont.
Pada
stadium selanjutnya, parasit mulai terbagi menjadi merozoit-merozoit dan
karakteristiknya adalah adanya banyaknya titik-titik kromatin yang
bersebelahan.
4.
Gametosit.
Stadium
eritrositik seksual (betina adalah makrogametosit dan jantan adalah
mikrogametosit).
Diagnosis laboratorium dibuat dari
adanya parasit di dalam sel darah merah. Tipe apusan yang didapat adalah
1. Film tebal. Sel
darah merah lisis, dan sel darah putih, platelet, dan parasit terlihat. Metode
ini tidak membedakan antara Plasmodium dengan
Babesia.
2. Film tipis. Dengan
metode ini, tampilan morfologis Nampak untuk membedakan antara Plasmodium dari Babesia dan untuk identifikasi spesies definitive.
Faktor-faktor berikut
yang berguna dalam menentukan spesies parasit:
1. Jumlah
parasit di dalam eritrosit.
2. Karakteristik
morfologis dari parasit (contoh, bentuk gametosit bulan sabit pada P.
falcifarum biasanya terdapat
pada malaria berat.
3. Derajat
parasitemia (jumlah eritrosit yang terinfeksi pada apusan darah tepi):
dikatakan berat jika lebih besar dari atau sama dengan 10% (pada P.
falciparum [biasanya terlihat pada malaria berat])
Pemeriksaan
mikroskopis kadang-kadang gagal untuk pembedaan antar spesies dalam kasus yang
karakteristik morfologisnya mirip (khususunya P. vivax dan P. ovale),
begitu juga pada kasus yang morfologi parasitnya berubah karena terapi obat
atau pengambilan sampel yang tidak tepat. Pada beberapa kasus, spesies Plasmodium dapat ditentukan dengan
penggunaan tes diagnostic molecular,
EPIDEMIOLOGI
Malaria masih menjadi masalah global,
dengan perkiraan 300 sampai 500 juta kasus terjadi tahunan. Empat puluh satu
persen dari populasi dunia hidup di tempa dimana malaria ditularkan. Batasan
geografis tercatat dengan adanya vector nyamuk Anopheles. Diperkirakan 3 juta orang mati karena malaria tiap
tahun. P. vivax dan P. falciparum terhitung lebih dari 95%
kasus dari semua kasus yang dilaporkan. P.
malaria tercatat 4% kasus, dan P.
ovale sangat jarang. Infeksi P.
falciparum lebih berat dan lebih mengancam jiwa dan perlu terapi yang lebih
agresif.
Anak-anak dan orang tua memiliki resiko
kecil. Kulit hitam kurang terinfeksi dibanding kulit putih. Ketidakadaan gen
Duffy (antigen sel darah merah) pada populasi Afrika Barat membuat insidensi
kecil untuk malaria vivax. Sifat sel sabit juga memberikan perlindungan dari
malaria karena sel darah merah pada sel sabit tidak cocok untuk pertumbuhan
organism malaria. Insiden yang lebih tinggi pada sel sabit ditemukan pada
populasi dimana kasus malaria endemik.
PATOGENESIS
Selama mengonsumsi darah, Anopheles betina yang terinfeksi Plasmodium menyuntikkan sporozoit ke
dalam tubuh host (manusia), memulai siklus replikasi yang kompleks. Sporozoit
menginfeksi sel hepar (stadium aseksual) dan matur menjadi skizon, yang berubah
menjadi merozoit yang lalu dilepaskan dari hepar ke dalam sel darah merah dan
melekat di sana melalui sisi pengikat yang spesifik pada sel darah merah (grup
antigen darah Duffy untuk P.vivax dan
antigen glikoforin untuk P.falciparum).
Di dalam eritrosit, merozoit mengonsumsi hemoglobin dan protein lain, lalu
matang menjadi trofozoit. Trofozoit mengalami pembelahan nukleus (tanpa
pembelahan sel) menjadi parasit berinti 16-32 (skizon) di dalam sebuah sel
darah merah. Akhirnya sel darah merah ruptur dan skizon terjepit membentuk
merozoit baru, yang menginfeksi sel darah merah baru, dan siklus eritrositik
terulang. Pada poin yang sama, parasit (mikro dan makrogametosit) dapat di isap
kembali oleh nyamuk vektor, dimana mereka mengalami siklus seksual dalam usus
tengah nyamuk untuk membentuk sporozoit yang bisa dilepaskan sekali lagi ke
dalam tubuh host manusia.
Gambaran klinis malaria tergantung usia
dan status imun pasien dan juga spesies parasit (contoh, P.falciparum paling virulen). Satu jenis parasit menjadi dominan
dan menyebabkan sifat yang sinkron pada gejala klinis malaria. Replikasi
protozoa sejenis ini di dalam sel
menginduksi sitolisis sel darah merah, menimbulkan pelepasan berbagai produk
toksik metabolik ke dalam aliran darah sebanyak sel darah merah yang ruptur
pada waktu yang bersamaan (host mengalami gejala mirip flu).
Anemia terjadi akibat dari lisis sel
darah merah terinfeksi, penekanan hematopoiesis, dan peningkatan destruksi sel
darah merah oleh limfe. Lama lama infeksi malaria menyebabkan trombositopenia.
Hepatosplenomegali mengacu pada masuknya infeksi ke sel host.
Plasmodium
falciparum menginfeksi semua sel darah merah (muda,
usia pertengahan, atau tua) dan tingkat parasitemianya lebih tinggi daripada
spesies Plasmodium yang lain. Karena
merozoit yang diproduksi lebih banyak, sel darah merah yang didestruksi lebih
banyak, dan sedikit Oksigen untuk jaringan tubuh menjadi masalah. Parasit
mendapat energi dari glukosa, dan mereka memetabolismenya 70 kali lebih cepat
daripada yang dilakukan sel darah merah, dengan cara demikian menyebabkan
hipoglikemia dan asidosis laktat.
Stadium hepatik dominan (persisten) dari
P. vivax dan P. ovale dapat persisten di liver seseorang yang terinfeksi, muncul
pada waktu berikutnya yang lama dan memerlukan terapi obat tambahan untuk
mencegah malaria relaps. Respon imunologis terhadap malaria susah diperkirakan
dan mungkin melibatkan baik imunitas diperantarai antibodi maupun imunitas
diperantarai sel. Periode waktu lama dari eksposur cukup bagi imunitas untuk semakin
mengurangi infeksi pada orang yang berada di area endemis yang tinggi.
TERAPI
Terapi bervariasi berdasarkan spesies
yang menginfeksi, area geografis tempat infeksi terjadi, dan tingkat keparahan
penyakit. Ada tiga ‘r’ masalah-masalah yang berkaitan dengan manajemen terapi
malaria, yaitu
1. In recrudescence,
jumlah terkontrol dari parasit tersisa di dalam aliran darah (tersembunyi pada
sel darah merah) karena respon imun yang inadekuat atau terapi malaria yang
tidak kuat. Parasit dapat mengalami reaktivasi pada keadaan trauma fisik atau
imunosupresi.
2. In relapse,
sporozoit yang dorman di hati dan terreaktivasi. Sporozoit dorman disebut
sebagai hipnozoit.
3. In resistance,
obat anti malaria yang tidak efektif.
Klorokuin masaih
merupakan pilihan obat jika pasien diinfeksi oleh strain rentan dari spesies Plasmodium. Terapi oral klorokuin untuk
strain sensitif dari P. falciparum, P.
vivax, P. malariae, dan P. ovale adekuat
di lokasi geografis yang sensitif obat. Organisme intrahepatik seperti
hipnozoit vivax/ovale tidak
diberantas dengan klorokuin, tapi dengan primakuin (yang harus digunakan untuk
mencegah relaps). Untuk strain yang resisten terhadap klorokuin (biasanya P. falciparum), obat-obat seperti
meflokuin, Malarone (kombinasi dari atovaquone dan proguanil), quinine (atau
kuinidin intravena), atau derivat artemisinin, bisa digunakan untuk
keberhasilan terapi. Doksisiklin atau klindamisin bisa dikombinasikan dengan
obat-obat untuk P. falciparum. Dalam
kasus-kasus malaria falciparum yang berat, transfusi pergantian darah
direkomendasikan untuk mengurangi tingkat parasitemia dengan cepat.
Catatan Morbiditas dan mortalitas karena P. falciparum lebih besar daripada
infeksi Plasmodium lain karena
parasitemianya yang tinggi dan kemampuannya dalam melakukan sitoadherensi. Saat
sebuah sel darah merah terinfeksi P.
falciparum, kenop protein dihasilkan pada permukaan eritrosit. Sel darah
merah yang melengket ini lalu berikatan dengan lapisan sel endotel pada
mikrovaskular otak, ginjal, paru, dan organ lain. Lalu terjadi agregasi atau rosetting
dengan sel darah merah yang tidak terinfeksi, sebuah proses yang disebut
sekuestrasi, dan konsekuensinya terjadi sumbatan pada kapiler-kapiler
mikrovaskular di SSP dan ginjal, menyebabkan malaria serebral (keadaan fatal)
dan gagal ginjal.
PROGNOSIS
Pasien yang
diterapi dengan kuinidin intravena dan tansfusi penggantian darah karena level
parasitemia yang tinggi (>10%). Secara bertahap sembuh, setelah istirahat
yang panjang di rumah sakit dan rehabilitasi.
PENCEGAHAN
Kunci untuk
tindakan preventif adalah menghindari kontak dengan nyamuk di area endemik.
Penggunaan kelambu saat malam dan semprotan penangkal nyamuk berisi DEET cukup
membantu. Kemoprofilaksis biasanya direkomendasikan untuk pelancong agar
mengurangi resiko. Klorokuin efektif walaupun di banyak tempat yang merupakan
endemik malaria P. falciparum resisten
terhadap obat ini. Pada tempat-tempat ini, meflokuin biasanya direkomendasikan,
walaupun doksisiklin dan atovakuin/proguanil juga efektif. Sayangnya vaksin
masih tidak tersedia walaupun banyak penelitian kerja sudah dilakukan di tempat
ini.
( Ini hasil tugas translate jurnal mikrobiologi, sayangnya saya lupa judul jurnalnya dan kapan ini diterbitkan. Semoga tetap bermanfaat :) )
0 komentar:
Posting Komentar