Malam itu, seorang pasien membuyarkan kantukku. Seorang anak yang tampak begitu pucat, diantarkan oleh serombongan keluarganya. Dari keadaannya aku tahu tingkat keparahan penyakitnya, namun dari gurat wajahnya aku paham akan derajat ketabahannya.
“Kata dokter ortopedi, sekitar satu tahun lalu, ia divonis menderita kanker tulang.” Bapaknya memberitahuku. “Dan kakinya harus diamputasi, tapi ia tidak mau.” Osteosarkoma, sepertinya adalah keganasan yangmenggerogoti tulang pahanya. Amputasi tentu saja adalah upaya terbaik untuk menyelamatkan nyawanya, kaki palsu mungkin dapat membantu nanti. Tapi keputusan adalah hak prerogatif pasien. Anak itu berumur 15 tahun. Aku paham bagaimana perasaannya tentang masa depannya.
Saat itu di hadapanku terbaring seorang anak yang kankernya semakin parah, benjolan yang diameternya hampir setengah meter menggerogoti pahanya, bernanah dan berdarah-darah. Anak itu tampak sesak, saturasi oksigennya turun, ia tampak kepayahan.
“Sepertinya sel kankernya sudah menyebar ke paru-paru,” ucapku lirih kepada bapaknya. Sang ayah menghela nafas, dan berujar “Kami sudah siap dok untuk kemungkinan terburuk. Hanya saja, sebenarnya keinginan anak itu untuk bertahan hidup, rasa optimisnya sangat besar..” Beliau lalu menceritakan tentang kegigihan sang anak yang lebih memilih kemoterapi, namun karena keterbatasan biaya dilanjutkan dengan obat-obatan herbal, demi mendapat kesembuhan.
Aku menghampiri anak itu yang tampak terengah-engah, dan bertanya –yang lebih kepada pertanyaan retoris, “pahanya sakit, dek?” Aku sedikit terkejut saat ia menjawab, “Nggak, ini sama aja seperti kaki yang sebelumnya, cuma terasa lebih berat aja karena ada benjolan ini.” Aku terdiam sejenak, lalu melanjutkan anamnesis singkat. Setelah aku beranjak aku melihat adik perempuannya –mungkin sekitar 10 tahunan- menghampirinya, mengajaknya bercengkerama. Sang kakak tersenyum, seakan-akan ia tak pernah merasa sakit, seakan ia ingin meyakinkan adiknya bahwa ia baik-baik saja.
Sebagai tenaga medis mungkin kita bisa menganggap sikap mengabaikan saran dokter untuk pengobatan rasional adalah semacam sikap yang bodoh. Apalagi jika pasien lebih memilih terapi alternatif yang kata kita masih belum jelas evident base nya.
Namun aku lebih menganggap keputusan anak ini lebih merupakan keberanian ketimbang kebodohan. Pilihan yang diambilnya, se-irasional apapun menurut seorang dokter, tetaplah pilihan seorang pasien dan kita harus menghormatinya.
Namun aku lebih menganggap keputusan anak ini lebih merupakan keberanian ketimbang kebodohan. Pilihan yang diambilnya, se-irasional apapun menurut seorang dokter, tetaplah pilihan seorang pasien dan kita harus menghormatinya.
Malam itu aku telah menaruh hormat pada seorang pasien, satu hari sebelum hari ulang tahunnya. Usianya memang belum cukup untuk dibilang dewasa, namun aku menganggapnya sebagai pria sejati, sebab ia telah berani mengambil keputusan penting dalam hidupnya, dan menghadapi semua risiko pilihannya itu dengan mental baja.
0 komentar:
Posting Komentar