Sepertinya saya sudah lama tidak menulis artikel yang bermutu menurut versi saya sendiri. Entah kenapa. Saat ini saya sedang menggandrungi tulisan-tulisan berbobot namun tak hanya itu, juga yang disertai diksi-diksi menawan di setiap untai kalimatnya. Saya menyukai tulisan Husain Matla hingga Divan Semesta. Namun anehnya ketika saya mencoba menulis supaya mampu sehebat mereka saya merasa kesulitan sendiri.
Lantas saya berpikir. Apakah niat saya untuk menulis dengan diksi yang indah itu, memang agar benar-benar mudah dipahami orang lain, menarik perhatian mereka hingga transfer ide yang saya lakukan berhasil? Tentu kita sangat tidak ingin menjadi seperti yang dikatakan oleh Fauzil Adhim, “Hari ini, ketika hampir seluruh hajat kita dikuasai oleh Yahudi, masihkah engkau sibuk bergenit-genit menulis hanya untuk mendapat tepuk tangan?”
Kalau mendompleng analoginya Dwi Condro Triono, tulisan itu -seperti halnya retorika- seperti senjata pemusnah massal, yang terdiri dari pelontar roket dan bahan peledaknya. Sehebat-hebatnya pelontar roket, bahkan hingga beribu kilometer ia mampu mengantarkan peledak, akan sia-sia jika peledak dalam roket itu kualitasnya hanya seperti petasan. Yah, paling banter juga bikin nenek-nenek jantungan pingsan. Tulisan seindah apapun diksinya, bagaimanapun nyastra-nya, kalau ide yang disampaikan bukan ide yang revolusioner, cuma bakal jadi dongeng penghibur di kala senggang. Atau seperti petasan yang diledakkan teman-teman kecil saya dulu di mushala ketika tarawihan, kurang asem yah, tapi menghibur sekali bagi mereka!
Diksi memang penting, tapi ide lebih penting. Saya pikir berada pada level ‘bisa menulis’ kemudian anda mempropagandakan ide Islam ideologis lewat tulisan anda akan lebih benar dan baik daripada berada di level ‘hebat menulis’ namun anda tak mau menyampaikan ide yang berkualitas. Tentu, ‘hebat menulis ideologis’ adalah level yang lebih tinggi lagi. Di tengah jumudnya minat baca masyarakat kita, yang lebih menyenangi tulisan berkaliber ‘manga’ dan sastra cinta akan sangat bermanfaat jika kita bisa di level itu.
Dan bagi penulis muslim yang ingin terus mengasah kualitas tulisannya, ada sebuah saran yang mungkin akan bermanfaat. Saya mendapatkannya dari seorang wartawan senior salah satu media massa terbesar di provinsi. Beliau menyarankan agar para jurnalis membiasakan membaca karya sastra semacam novel. Saya kira untuk apa. Beliau bilang agar otak kanan jurnalis terasah sehingga mampu menghasilkan tulisan yang tidak monoton. Saya pikir ada benarnya, sebab dengan terbiasa bukankah kita akan bisa? Saya akan berusaha mempraktekkannya.
Tips lagi dari saya, bagi kamu yang sangat ingin menulis tapi belum berhasil, maka langkah yang sangat tepat adalah memulainya. Tulislah apa yang kamu pikirkan, hal yang membuatmu termotivasi, kejadian menarik di sekitarmu dan sebagainya. Klasik banget yah. Tapi bukankah benar, bagaimana kamu akan berhasil jika kamu sendiri belum memulainya! Tak usahlah menunggu si abang bernama ‘inspirasi’ itu. Inspirasi itu selalu ada. Bahkan saya menulis artikel ini, terinspirasi dari tidak adanya inspirasi yang datang! Inspirasinya, mungkin adalah besarnya keinginan untuk menulis karena rasanya gelisah kalau tidak menulis. Semoga kamu paham.
Oh ya, saya bukanlah seorang penulis yang telah berhasil menelurkan sebuah karya best seller sebagaimana Andrea Hirata. Boro-boro best seller, nulis satu buku saja belum selesai. Saya hanya penulis serabutan (istilah yang seenaknya saya sematkan kepada diri sendiri). Tapi biar begitu saya tetap tidak mengurungkan niat saya untuk mengubah dunia dengan segala upaya yang bisa dilakukan, termasuk tulisan. Tentunya bersama kalian juga yang terus bersemangat karena pemahaman Islam sebagai diin pembebasan ini.
Ideologi Islam akan segera tegak kembali dengan berdirinya lagi Khilafah, insya Allah takkan lama lagi. Para ideolognya mesti berupaya terus menyebarluaskan ide revolusionernya salah satunya melalui artikel-artikel berkualitas, tulisan yang dikirim ke media massa maupun yang dimuat di media yang mereka bikin sendiri, dengan terus mengasah kemampuan satu ini dan tidak melupakan aspek penting lainnya dalam upaya revolusi. Dan supaya tulisan ini tak berakhir dengan hampa, saya tutup dengan kalimat ini saja sampai disini.
0 komentar:
Posting Komentar