Ia buka pagar dan serta merta dilangkahkan kakinya keluar. Saat itu matahari tengah tinggi-tingginya dan begitu percaya diri menampakkan wajahnya, tak ada awan yang menutupi keangkuhannya barang sedikit saja. Tapi Bejo tetap berjalan. Bejo tak takut dengan matahari. Sebab matahari bukan tuhan. Ibrahim as telah menunjukkannya, sejarah itu tersimpan dalam lembaran-lembaran yang dimuliakan.
Seruan kebesaran ar-Rahman berkumandang beberapa menit sebelum itu. Bejo hanya mencoba memenuhi panggilan mulia. Ajakan untuk mendirikan shalat serta meraih kemenangan.
Dalam perjalanannya Bejo sempat saja berkontemplasi. Mengapa orang yang sering ke masjid saat ini identik dengan orang alim dan ahli ibadah? Setidaknya itu persepsi kebanyakan orang sekarang. Padahal itu aneh. Bukankah orang yang ke masjid, mencoba mendekatkan diri kepada Rabbnya sebenarnya orang yang paling takut akan banyaknya dosa yang dimilikinya? Maka ia melobi Allah swt, agar proposal permintaan penghapusan dosa dan permohonan izin bertemu dengan-Nya di surga dapat diterima. Bejo kira orang yang jarang dan enggan ke masjid untuk beribadah sebenarnya dialah yang hebat. Karena mungkin dirinya merasa sudah bergelimang pahala sehingga berpikir tak perlu lagi berepot-repot menambah pundi-pundi amalnya. Entahlah, banyak faktor dan tak bisa disimpulkan begitu saja kan.
Beberapa saat kemudian masjid itu telah berdiri gagah dihadapan Bejo. Tentu bukan masjid yang mendatangi Bejo dengan sendirinya. Sebab ia tak bisa berjalan. Artinya Bejo sudah sampai ke tempat yang ingin dituju. Masa begitu saja kau tidak tahu.
Dan ada hal yang aneh lagi. Di halaman masjid itu tertanam tiang tinggi yang diujungnya terpasang selembar kain berwarna dua. Berkibar-kibar bendera itu disapa angin. Oh ya ini Agustus. Tapi tetap saja aneh. Masjid identik dengan Islam. Bendera identik dengan nasionalisme. Dan nasionalisme identik dengan terceraiberainya umat Islam. Aneh bukan? Dan lagi, apakah memasang benda itu bisa mendatangkan pahala?
Bejo ingat tak pernah terpancang kain itu di halaman rumahnya hingga kini, setelah beberapa hari lewat tanggal yang katanya hari kemerdekaan itu. “Syukurlah keluargaku di rumah tidak terlalu nasionalis. Begitu juga aku, apalagi.” Pikir Bejo.
Dan tak mau ambil pusing lebih lanjut Bejo mengambil air wudhu. Sehabis shalat berjamaah Bejo melaksanakan shalat sunnah ba'diyah dzuhur. Pada sujud terakhir ia berdoa, semoga rakyat Indonesia sadar dari rusaknya paham nasionalisme, sadar bahwa kemerdekaan yang dirayakan seringkali dengan ritual kerupuk dan karung itu hanyalah mitos saat ini, dan sadar untuk kembali kepada syari’at Allah serta memperjuangkan ideologi Islam sebagai ideologi pembebasan. Ideologi yang memerdekakan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia, menuju penyembahan kepada Gusti ALLAH semata.
Pages
Menikmati Upaya Revolusi Sebagaimana Menyeruput Secangkir Kopi
Jumat, 26 Agustus 2011
Aneh
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
8/26/2011 09:25:00 AM
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Jumat, 12 Agustus 2011
Akankah Kita Menang
Di akhir bulan mulia ini apakah kemenangan yang ingin kita raih sementara tatkala menahan lapar dan dahaga demi tujuan mulia lisan kita masihberkata yang sia-sia dan dusta, melahap daging saudara kita dengan sengaja, dan berbagai umpatan serta makian pun tak luput terucap begitu saja?
Apakah kemenangan yang ingin kita capai, tatkala kita abai terhadap esensi puasa sebagai media
pelatih mengendalikan hawa nafsu, sebab di sore-sore harinya kita hamburkan uang kita di pasar Ramadhan, hingga kita tak sadar bahwasanya kita malah membeli dan memakan lebih banyak daripada saat bulan-bulan lainnya?
Sungguh-sungguhkah mengidamkan kemenangan, sementara dimana-mana diselenggarakan buka bersama yang menghabiskan banyak anggaran dan akhirnya banyak makanan yang tak terhabiskan.. sedangkan masih banyak mereka yang kelaparan dan harus merasakan berpuasa lebih dari 24 jam? Di mana maksud puasa sebagai sarana agar kita merasakan apa kaum kurang beruntung rasakan? Mengapa bukan mereka saja yang diajak untuk berbuka puasa bersama?
Apakah kemenangan yang ingin kita capai, tatkala kita abai terhadap esensi puasa sebagai media
pelatih mengendalikan hawa nafsu, sebab di sore-sore harinya kita hamburkan uang kita di pasar Ramadhan, hingga kita tak sadar bahwasanya kita malah membeli dan memakan lebih banyak daripada saat bulan-bulan lainnya?
Sungguh-sungguhkah mengidamkan kemenangan, sementara dimana-mana diselenggarakan buka bersama yang menghabiskan banyak anggaran dan akhirnya banyak makanan yang tak terhabiskan.. sedangkan masih banyak mereka yang kelaparan dan harus merasakan berpuasa lebih dari 24 jam? Di mana maksud puasa sebagai sarana agar kita merasakan apa kaum kurang beruntung rasakan? Mengapa bukan mereka saja yang diajak untuk berbuka puasa bersama?
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
8/12/2011 06:22:00 PM
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Kamis, 11 Agustus 2011
Maknyoss
Berawal dari malam tadi, ketika bada tarawihan sohib gue, yang dengan sangat romantisnya ditakdirkan sekontrakan dengan gue selama ini, nelpon karena ada satu hal yang pengen dia minta dari gue. Yang jelas yang dia minta bukan pertanggungjawaban karena gua telah menghamili kucing di kontrakan. Karena setahu gue tuh kucing bukan punya dia jadi buat apa dia meminta gue bertanggung jawab atas sesuatu yang bukan miliknya. Lagipula buat apa gue menghamili kucing orang kayak gak ada kerjaan aja.
Sohib gue yang sekarang berada di Amuntai itu, minta tolong buat nganterin barangnya buat dititipin di satpam kampus, karena ada orang yang bakalan ngambil tuh barang nantinya. Okeh, tapi tolong diingatkan ane ya kalo lupa, gitu kata gue. Sip nanti pas sahur ane telpon lagi buat ngingetin, sahutnya. Maka gue yang sejak beberapa hari lalu ditinggal sendiri di kontrakan karena teman-teman sekontrakan pada pulkam, santai aja dan mulai nyusun rencana buat nanti sahur. Habis tadarusan gue bersiap pulang en salah satu saudara setadarussan nyeletuk, eh gak nginap di sini kah, yang artinya ngajakin gue 'i'tikaf' kayak malam-malam sebelumnya. Gak om, malam ini ane di rumah aja deh, jawab gue. Gue pikir walau gue gak tidur di masjid en sendirian aja di kontrakan, gue tetap bakal bisa bangun sahur (emang niat gue nginap di masjid selama ini cuma supaya bisa dibangunin sahur? O betapa mulianya). Karena rencananya temen gue yang terpisah puluhan kilometer itu yang bakal ngebangunin gue lewat telpon (owh co cuiit). Lagian gue masih ada job yang musti diselesaikan dengan cara berduaan dengan ‘isteri pertama’ gue, si lepi (panggilan sayang buat laptop gue).
Ternyata pas udah di rumah entah kenapa ngantuk gue makin menjadi. Setelah buka laptop sekitar 1 jam akhirnya gue pun tertidur pulas dengan si lepi di sebelah gue. Sebelumnya gue pasang alarm buat jaga-jaga bangun sahur, disamping keyakinan gue tadi bakal dibangunin lewat telpon. Namun apa dinyana, o sayang disayang, karena alarm dari hape gue tidak berhasil membangunkan gue pukul 4 subuh dan.. temen gue pun nyatanya gak ada nelpon-nelpon. Pas gue bangun, maknyoss…! Ternyata sudah jam 5 lewat 15 menitan! Artinya hampir azan subuh bo.
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
8/11/2011 06:54:00 AM
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
.
Jumlah yang Nyangkut
Corong Revolusi
Ekspresikanlah
Para Guru
Kutipan dari Langit
Hitungan Mundur
Detak-detik
Kicau
Diberdayakan oleh Blogger.
Follower
Mengenai Saya
- Adit Ahmad
- Hanya manusia biasa dengan misi pembebasan. Ingin mencoba berkontribusi untuk revolusi yang insya Allah pasti terjadi nanti. Masih dalam tahap belajar tentu, mencoba terus berkarya dalam segala keterbatasan.