Ketika sesuatu tak berfungsi dan tak berjalan sebagaimana kehendak kita, biasanya kita akan merasa tidak puas dan akan bergerak, melakukan hal yang berguna untuk mengubahnya kembali pada keadaan normal lagi. Tak percaya? Bayangkan seandainya kamu tak bisa kentut seharian saja, karena ada sumbatan di daerah ujung anusmu, bagaimana rasanya? Tentu itu bukan keadaan yang normal bukan? Kamu pasti sangat tersiksa, merasa gelisah bahkan tak bisa tidur memikirkan bagaimana caranya supaya fungsi kentutmu normal kembali. Sampai-sampai kamu kehilangan akal sehatmu, mengambil pisau dapur kemudian mencoloknya ke bagian ‘sana’, dan berteriak ‘auwawawaaw!’. Awalnya pasti sakit, terjadi bleeding dan sebagainya namun ketika sumbatan tadi berhasil dilubangi sehingga ada celah di sana yang membuatmu bisa kentut normal lagi, kamu bakalan merasa sangat lega. Aaahhh…!
Nah kawan, sebenarnya begitu juga keadaan kita sekarang di kehidupan nyata ini. Apakah kondisi kita sekarang sudah ideal bagi kita? Merasa nyamankah kita dengan realita yang ada? Kalau kita mau mengubur egoisme dan mau bersikap objektif terhadap fakta yang ada, tentu kita merasa bahwa kondisi kehidupan kita, manusia maksudnya, tengah berada di tingkat abnormalitas yang parah. Kecuali tadi, jika ada yang merasa bukan manusia, tapi primata lain atau bahkan anoa, maka ia akan merasa biasa-biasa saja.
Dengan menggunakan otak dan nurani, kita dapat berpikir dan merasa: bahwa jika katanya angka kemiskinan menurun namun kita menyaksikan banyak masyarakat menderita kelaparan, pasti ada suatu kelainan; bahwa jika kriminalitas makin menjadi-jadi, lalu hukum begitu mudahnya dipermainkan sehingga penjahat semacam Gayus dibiarkan enjoy nonton pertandingan tenis di Bali, ini merupakan kesalahan; bahwa jika pejabat wakil rakyat menghamburkan uang Negara untuk studi banding ke luar negeri dengan tujuan belajar etika sementara rakyatnya sangat menderita karena bencana tengah melanda, itu adalah sesuatu yang mengganggu; bahwa jika ada kepala Negara yang menyambut dengan penuh hormat presiden Negara pembantai saudaranya sementara penanggulangan korban Mentawai dan Merapi belum tuntas, itu benar-benar sangat tidak wajar.
Terlebih lagi bagi yang berikrarkan dua kalimat syahadat, mengimani bahwa tiada sesembahan selain Allah dan Muhammad itu rasul-Nya. Keadaan sekarang sungguh sangat menyiksa. Karena keadaan sekarang betul-betul tidak sesuai dengan aturan yang telah digariskan Sang Pencipta. Sistem hidup berpatok pada materi, tak sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yang tertera di adz-Dzariyat ayat 56. Al-Maidah ayat 44, 45 dan 47 diindahkan, manusia lebih senang coba-coba membuat aturan hidup dengan pemikiran mereka yang relatif. Maka kekacauanlah jadinya, ketika yang diciptakan merasa lebih tahu tentang aturan hidupnya ketimbang Yang Menciptakan. Lucu sekaligus menjengkelkan kan, ketika robot yang kita bikin tak mau menaati aturan yang sudah kita rancang.
Oke, sedikit intermezzo, uji keimanan buat kita: percaya adanya Tuhan? Yakin? Kan Dia gak kelihatan, gak bisa diraba dan diterawang? Oh, kamu punya buktinya ya kalau Tuhan itu ada. Lalu Tuhan mana yang benar? Allah? Yakin loe?! Tahu dari mana? Hah, al-Qur’an? Emang al-Qur’an itu bener? Coba buktikan! Lah, masih ngotot kalo al-Qur’an itu bener. Emang loe percaya kalo semua isi al-Qur’an itu bener dari Allah, Tuhan loe itu? Kalo loe bener-bener yakin 100%, loe percaya gak kalo di dalam Qur’an Allah nyuruh motong tangan pencuri, ngerajam penzina yang udah nikah, gak boleh makan riba dan lain sebagainya? Loe mau gak nerapin aturan Qur’an sama turunannya secara keseluruhan? Gak bisa? Apa? Karena Negara kita Negara HAM dan demokrasi? Loh, emangnya HAM sama demokrasi bikinan siapa? Itu cuman akal-akalannya manusia kan? Emang bagus aturan yang mana, aturannya Tuhan atau aturan bikinannya manusia sendiri? Loh, loh, loh, dasar gak konsisten lo hahahahaha!
Bagaimana, sudah gelisah ingin melakukan perubahan? Atau malah makin bingung?? Ya udah biarin ajah kebingungan loe ituh, hahay. Ruang ini terlalu terbatas untuk membahas aqidah sebagai pondasi keislaman kita, kawan. Lebih baik kita bahas dalam kesempatan lain, seperti diskusi melalui war_on_idea@yahoo.co.id.
Lebih baik kamu sepakat saja untuk melakukan perubahan. Karena selain tuntutan fakta ini juga merupakan tuntutan keimanan. Lalu perubahan seperti apa? Tentunya perubahan yang diridhai oleh-Nya, dengan kembali menerapkan aturan-Nya secara sistemik. Yakin 100% kan sama aturan-Nya Allah? Kan aturan ini sudah sempurna, buka lagi al-Maidah ayat 3, eh tapi itu pun kalau kamu percaya sama al-Qur’an.
Oya, perlu diingatkan sekali lagi, perubahan ini haruslah bersifat mendasar dan sistemik (menyeluruh), inilah yang namanya revolusi. Nah, sudah kenal kan sama om revolusi? Ingat, bukan reformasi loh. Meski revolusi dan reformasi sama-sama menuntut perubahan dengan cepat, reformasi sifatnya tidak mendasar dan tidak menyeluruh. Contohnya, reformasi 1998 yang hanya mengganti pemimpin saja, namun sistem/aturan dasar pemerintahannya tetap tidak diubah, yaitu masih mengesampingkan aturan-Nya Allah dan mempertahankan demokrasi-sekularisme. Makanya kondisi bangsa ini tetap amburadul kan.
Ingat, dalam dunia kedokteran kita diajarkan untuk mengobati penyakit dengan mengatasi etiologinya. Bukan cuma mengobati gejalanya saja. Contohnya seperti penyakit tak bisa kentut tadi. Kalau cuma sumbatannya dilubangi dengan pisau dapur saja, tidak akan menyelesaikan masalah secara tuntas walaupun awalnya bikin lega. Cari tahu dulu apa sumbatannya, bisa jadi itu adalah tumor ganas yang akan selalu tumbuh dengan tak terkendali. Sehingga dilubangi berapa kali pun tetap akan menyumbat juga nantinya. Penanganan paling tepat ya dengan operasi mengangkat tumornya secara keseluruhan.
Nah, lalu revolusinya seperti apa? Haruskah seperti revolusi Bastille yang mengawali Reinassancenya masyarakat Eropa atau revolusi Bolchevik yang menuntut kesetaraan di Rusia? Lah kembali ke aturan-Nya tadi dong. Kan Rasulullah sudah pernah mencontohkan kalau beliau pernah merevolusi masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat yang saking dahsyatnya sampai kemudian menaklukkan Romawi dan Persia. Revolusi yang diajarkan jelas bukan revolusi dengan kekerasan. Tapi dengan pemikiran, tantangan intelektual.
Bicara masalah revolusi tentu takkan habis cuma sampai di sini juga. Lagipula sungguh sayang kan kalau informasi mengenai revolusi yang begitu menggiurkan ini kita nikmati dengan sekali santap sekaligus. Jangan tergesa-gesa, pelan-pelan saja, perlu proses dan seni tersendiri kok untuk memahami revolusi sampai kamu sendiri tergila-gila dengannya. Mengutip kata-kata Divan Semesta, revolusi itu tergolong sesuatu yang seksi, menggairahkan bagi orang-orang yang mengenalnya. Jangan juga jadi lupa diri, ya. Tujuan kita kan cuma satu.
(Setelah baca ini coba dengarkan S.O.S nya Bondan Prakoso feat kawan2nya yang imut-imut, hayati liriknya, dijamin rasanya pasti beda)
Pages
Menikmati Upaya Revolusi Sebagaimana Menyeruput Secangkir Kopi
Kamis, 18 November 2010
Mengenal Revolusi (Superficial)
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
11/18/2010 03:05:00 PM
1 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Not Important
Jengah kurasa..
Sudah beberapa jam sejak kuputuskan melek di depan laptop untuk memulai editing buletin fakultas yang diamanahkan padaku.. Tapi rasanya seperti sia-sia. Aku hanya menyelesaikan cover depan yang kuanggap hasilnya buruk. Dan juga menulis kata pengantar yang menurutku asal-asalan.
Entah sudah berapa kali repeat beberapa lagu dari bondan prakoso dan linkin park terdengar dari headset yang kupasang. Lagu-lagu yang kuanggap sebagai penyemangat diri dalam perjuangan menegakkan revolusi yang begitu panjang dan kadang melelahkan.
Huff.. Betapa menyedihkannya, ketika aku mulai merasa aktivitas ini seperti rutinitas biasa saja. Perjalanan ini seperti menapaki jembatan panjang yang tak berujung dan takkan membawa hasil. Dan di saat seperti ini aku berkata kasar kepada diriku sendiri. Apakah kau sudah melupakan apa yang dijanjikan oleh-Nya?
Dan sisi lain diriku menjawab lugas: jelas tidak!!!
Lalu kenapa engkau merasa jengah?
Sejenak kurenungkan apa saja yang sudah ku korbankan untuk perjuangan ini. Ternyata belum begitu banyak yang berharga. Kemudian ku muhasabahi diri, apakah revolusi yang sering ku umbar sudah ku terapkan pada diriku sendiri? Ah, tak semuanya! Betapa banyak maksiat yang kulakukan dan perintah-Nya yang kuindahkan?
Pantas saja aku merasa hampa. Sebab aku masih terlalu jauh dari-Nya. Aku masih tak merasa bahwa Dia lebih dekat dari nadi di leherku. Ya. Sesungguhnya Dia sedari dulu sudah berada di sana, hanya saja, sekali lagi aku yang tak merasakannya...
Ya Rabb, kesalahanku, kebodohanku.. ampunilah..
'I'm swimming in the smoke
for bridges i have burned
so don't apologize,
i'm loosing what i don't deserve.
What i don't deserve..'
Sudah beberapa jam sejak kuputuskan melek di depan laptop untuk memulai editing buletin fakultas yang diamanahkan padaku.. Tapi rasanya seperti sia-sia. Aku hanya menyelesaikan cover depan yang kuanggap hasilnya buruk. Dan juga menulis kata pengantar yang menurutku asal-asalan.
Entah sudah berapa kali repeat beberapa lagu dari bondan prakoso dan linkin park terdengar dari headset yang kupasang. Lagu-lagu yang kuanggap sebagai penyemangat diri dalam perjuangan menegakkan revolusi yang begitu panjang dan kadang melelahkan.
Huff.. Betapa menyedihkannya, ketika aku mulai merasa aktivitas ini seperti rutinitas biasa saja. Perjalanan ini seperti menapaki jembatan panjang yang tak berujung dan takkan membawa hasil. Dan di saat seperti ini aku berkata kasar kepada diriku sendiri. Apakah kau sudah melupakan apa yang dijanjikan oleh-Nya?
Dan sisi lain diriku menjawab lugas: jelas tidak!!!
Lalu kenapa engkau merasa jengah?
Sejenak kurenungkan apa saja yang sudah ku korbankan untuk perjuangan ini. Ternyata belum begitu banyak yang berharga. Kemudian ku muhasabahi diri, apakah revolusi yang sering ku umbar sudah ku terapkan pada diriku sendiri? Ah, tak semuanya! Betapa banyak maksiat yang kulakukan dan perintah-Nya yang kuindahkan?
Pantas saja aku merasa hampa. Sebab aku masih terlalu jauh dari-Nya. Aku masih tak merasa bahwa Dia lebih dekat dari nadi di leherku. Ya. Sesungguhnya Dia sedari dulu sudah berada di sana, hanya saja, sekali lagi aku yang tak merasakannya...
Ya Rabb, kesalahanku, kebodohanku.. ampunilah..
'I'm swimming in the smoke
for bridges i have burned
so don't apologize,
i'm loosing what i don't deserve.
What i don't deserve..'
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
11/18/2010 03:04:00 PM
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Rabu, 03 November 2010
Berkaca pada Mbah Maridjan
Innalillahi wa inna ‘ilayhi raji’un. Gunung Merapi kembali memuntahkan isi perutnya, aliran awan panas yang juga mengalirkan air mata kesedihan atas berpulangnya nyawa-nyawa yang menjadi korban ke hadirat-Nya. Ke hadirat Allah, sang pemilik nyawa manusia dan juga yang menguasai Gunung Merapi itu sendiri. Dan di antara belasan jasad yang telah membujur kaku itu terselip sosok yang sudah tak asing lagi kita dengar. Ia disebut sebagai juru kunci Gunung Merapi, dikenal dengan nama Mbah Maridjan.
Saya rasa kematian beliau cukup istimewa. Tidak, ini tidak menyangkut status beliau sebagai juru kunci Merapi karena saya yakin seyakin-yakinnya Sang Juru Kunci sebenarnya yang menentukan tumpahnya isi perut Merapi maupun yang mampu meredam amarah gunung tersebut hanyalah Allah Yang Maha Kuasa. Mbah Maridjan, seperti halnya kita adalah manusia biasa yang suatu saat nanti pasti akan mati juga, seperti apapun cara kematiannya. Yang istimewa menurut saya adalah keberanian dan idealisme yang kakek ini mampu pertahankan hingga akhir hayatnya.
Ya, idealisme dan keberanian. Kakek mana yang mau bertahan di lingkungan gunung berapi yang sudah jelas tanda-tanda aktivitas vulkaniknya akan segera meletus? Kita ingat di berita-berita disebutkan ketika petugas mengungsikan warga sekitar lalu menyarankan Mbah Maridjan ikut beranjak mengamankan diri dari sana, si Mbah malah menolak dan berkata, “Saya masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat ini?”
Wallahu’alam, apa yang dimaksud beliau dengan ‘mengurus tempat ini’. Tidak tahu apakah benar beliau bertahan di sana demi melaksanakan ritual-ritual seperti kata berbagai media. Namun yang jelas, berdasarkan penuturan teman saya di jejaring sosial yang pernah berinteraksi langsung dengan kehidupan warga di lereng Merapi sejak 2006, Mbah Maridjan adalah sosok yang taat beribadah bahkan amalan sunnahnya sangat baik. Anak perempuan beliau juga seorang da’iyah yang berjuang menghilangkan berbagai kesyirikan di kalangan masyarakat sana. Sayangnya hal ini rasanya malah tidak pernah diekspos oleh media. Teman saya itu berpendapat, Mbah Maridjan hanyalah korban dari kemusyrikan penguasa setempat, yang mempertahankan tradisi juru kunci Merapi hingga sekarang.
Sikap Mbah Maridjan di akhir hayatnya jelas menunjukkan rasa tanggung jawab beliau yang begitu besar atas ‘tugas & predikat’ yang disematkan kepada beliau. Beliau tahu bisa jadi yang dikatakan petugas benar, bahwa Merapi sudah siap meletus dan tentu ini akan berbahaya untuk keselamatan dirinya yang bersikeras untuk tinggal. Namun beliau paham beliau sendiri pemegang tanggungjawab ini, dan kalau bukan dirinya, siapa lagi? Dan tentu beliau tahu, nyawalah yang akan jadi taruhannya.
Hingga, ketika ketentuan Allah telah terjadi, ditemukanlah jasad Mbah Maridjan yang tak bernyawa lagi, tertutupi debu tebal dari awan panas merapi, dan subhanallah, dalam posisi bersujud.
Dan sekarang bagaimana dengan kita? Kita yang mengaku sebagai pengemban dakwah, kita yang menganggap diri kita adalah orang yang menerima dan melaksanakan tugas mulia dari Allah dan rasul-Nya sebagai penyampai dien ini, hingga tegaknya islam di muka bumi? Bukankah tugas kita ini adalah tugas yang jelas siapa yang memerintahkannya, jelas ganjarannya namun juga jelas segala rintangan dan hambatan untuk menjalankannya? Bagaimana jika kelak halangan itu semakin sulit, sanggupkah kita berkata “Saya takkan meninggalkan jalan ini, saya masih betah tinggal di sini. Kalau saya meninggalkan da’wah ini, siapa lagi yang akan menjalankannya?” Dan bagaimana jika akhirnya kita dihadapkan pada pilihan berat yang bahkan pilihan tersebut menuntut untuk mengorbankan nyawa kita? Masih beranikah kita berteriak lantang di garis depan dan terus melawan? SIAPKAH KITA UNTUK MATI??
Padahal baru sedikit saja amanah da’wah yang kita terima kita sudah mengeluh, merasa terbebani, menganggap hal itu tidak penting dan lain sebagainya. Hingga kita pun menjadi tidak profesional dan tak sungguh-sungguh menjalankannya, dengan berbagai alasan yang sebenarnya mengada-ada.. Inikah yang namanya pengemban tugas dari langit itu? Kemana idealisme kita yang seringkali kita umbar, kemana keteguhan yang sering kita ajarkan kepada objek da’wah kita? Tak malukah kita?
Dan karena hikmah itu ada di mana saja, dan tiap muslim diperintahkan mengambil hikmah yang berceceran itu, ada patutnya kita meniru satu hal pada almarhum sang ‘juru kunci’. Siapa tahu, dalam satu hal ini, kita jauh tidak lebih baik dibandingkan beliau. Wallahu’alam..
(lebih ditujukan untuk diri sendiri!)
Saya rasa kematian beliau cukup istimewa. Tidak, ini tidak menyangkut status beliau sebagai juru kunci Merapi karena saya yakin seyakin-yakinnya Sang Juru Kunci sebenarnya yang menentukan tumpahnya isi perut Merapi maupun yang mampu meredam amarah gunung tersebut hanyalah Allah Yang Maha Kuasa. Mbah Maridjan, seperti halnya kita adalah manusia biasa yang suatu saat nanti pasti akan mati juga, seperti apapun cara kematiannya. Yang istimewa menurut saya adalah keberanian dan idealisme yang kakek ini mampu pertahankan hingga akhir hayatnya.
Ya, idealisme dan keberanian. Kakek mana yang mau bertahan di lingkungan gunung berapi yang sudah jelas tanda-tanda aktivitas vulkaniknya akan segera meletus? Kita ingat di berita-berita disebutkan ketika petugas mengungsikan warga sekitar lalu menyarankan Mbah Maridjan ikut beranjak mengamankan diri dari sana, si Mbah malah menolak dan berkata, “Saya masih kerasan dan betah tinggal di sini. Kalau ditinggal nanti siapa yang mengurus tempat ini?”
Wallahu’alam, apa yang dimaksud beliau dengan ‘mengurus tempat ini’. Tidak tahu apakah benar beliau bertahan di sana demi melaksanakan ritual-ritual seperti kata berbagai media. Namun yang jelas, berdasarkan penuturan teman saya di jejaring sosial yang pernah berinteraksi langsung dengan kehidupan warga di lereng Merapi sejak 2006, Mbah Maridjan adalah sosok yang taat beribadah bahkan amalan sunnahnya sangat baik. Anak perempuan beliau juga seorang da’iyah yang berjuang menghilangkan berbagai kesyirikan di kalangan masyarakat sana. Sayangnya hal ini rasanya malah tidak pernah diekspos oleh media. Teman saya itu berpendapat, Mbah Maridjan hanyalah korban dari kemusyrikan penguasa setempat, yang mempertahankan tradisi juru kunci Merapi hingga sekarang.
Sikap Mbah Maridjan di akhir hayatnya jelas menunjukkan rasa tanggung jawab beliau yang begitu besar atas ‘tugas & predikat’ yang disematkan kepada beliau. Beliau tahu bisa jadi yang dikatakan petugas benar, bahwa Merapi sudah siap meletus dan tentu ini akan berbahaya untuk keselamatan dirinya yang bersikeras untuk tinggal. Namun beliau paham beliau sendiri pemegang tanggungjawab ini, dan kalau bukan dirinya, siapa lagi? Dan tentu beliau tahu, nyawalah yang akan jadi taruhannya.
Hingga, ketika ketentuan Allah telah terjadi, ditemukanlah jasad Mbah Maridjan yang tak bernyawa lagi, tertutupi debu tebal dari awan panas merapi, dan subhanallah, dalam posisi bersujud.
Dan sekarang bagaimana dengan kita? Kita yang mengaku sebagai pengemban dakwah, kita yang menganggap diri kita adalah orang yang menerima dan melaksanakan tugas mulia dari Allah dan rasul-Nya sebagai penyampai dien ini, hingga tegaknya islam di muka bumi? Bukankah tugas kita ini adalah tugas yang jelas siapa yang memerintahkannya, jelas ganjarannya namun juga jelas segala rintangan dan hambatan untuk menjalankannya? Bagaimana jika kelak halangan itu semakin sulit, sanggupkah kita berkata “Saya takkan meninggalkan jalan ini, saya masih betah tinggal di sini. Kalau saya meninggalkan da’wah ini, siapa lagi yang akan menjalankannya?” Dan bagaimana jika akhirnya kita dihadapkan pada pilihan berat yang bahkan pilihan tersebut menuntut untuk mengorbankan nyawa kita? Masih beranikah kita berteriak lantang di garis depan dan terus melawan? SIAPKAH KITA UNTUK MATI??
Padahal baru sedikit saja amanah da’wah yang kita terima kita sudah mengeluh, merasa terbebani, menganggap hal itu tidak penting dan lain sebagainya. Hingga kita pun menjadi tidak profesional dan tak sungguh-sungguh menjalankannya, dengan berbagai alasan yang sebenarnya mengada-ada.. Inikah yang namanya pengemban tugas dari langit itu? Kemana idealisme kita yang seringkali kita umbar, kemana keteguhan yang sering kita ajarkan kepada objek da’wah kita? Tak malukah kita?
Dan karena hikmah itu ada di mana saja, dan tiap muslim diperintahkan mengambil hikmah yang berceceran itu, ada patutnya kita meniru satu hal pada almarhum sang ‘juru kunci’. Siapa tahu, dalam satu hal ini, kita jauh tidak lebih baik dibandingkan beliau. Wallahu’alam..
(lebih ditujukan untuk diri sendiri!)
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
11/03/2010 09:29:00 PM
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Senin, 01 November 2010
Happiness
Ada sebuah pertanyaan sederhana pren, namun mungkin bagi sebagian orang ini adalah pertanyaan serius. Dimanakah letak kebahagiaan? Kayaknya ini pertanyaan yang pas disodorkan kepada orang yang merasa dirinya orang paling malang sedunia. Contohnya banyaklah, misalnya orang yang putus cintalah, gak punya duit karna udah lama gak dikirimin ortu jatah bulananlah, IPKnya yang selalu nasakom (nasib satu koma) lah, dll. Atau juga orang yang mengalami komplikasi berbagai masalah, saking banyaknya sampai-sampai dia pikir hidup itu sendiri adalah masalah yang harus diakhiri.. Wuiih, kalo udah kayak gitu rasanya mending sekalian aja panjat menara RRI sampai puncak terus lompat indah deh dari sono.
Nah sekarang kira-kira apa jawabannya yak? Ada yang bilang kebahagiaan itu ada pada harta yang berlimpah ruah sehingga kita gak lagi hidup susah en apa yang kita inginkan semuanya tinggal dibeli pake uang. Apa bener? Buktinya banyak tuh orang kaya stress yang akhirnya terpaksa tinggal di rumah sakit jiwa atau mati bunuh diri. Ada lagi yang bilang kebahagiaan itu bisa datang kalo kita meraih berbagai prestasi en penghargaan. Hmm, tapi ada juga tuh orang yang hidupnya kagak tenang karena terlalu ambisius mendapatkan prestasi tadi sehingga sedikit aja ia gagal en terjatuh ia langsung patah arang. Atau ada yang bilang kebahagiaan itu terdapat pada kegantengan secara fisik? Nggak juga tuh. Soalnya gw ngerasain sendiri kok. Orang seganteng gw juga masih tetep stress karena diburu fans gw hampir tiap hari, bwahahahah!
Yang namanya kebahagiaan, belum tentu bisa diukur dengan materi pren. Contoh, orang yang kaya raya mungkin masih gak akan berbahagia dengan kekayaannya jika ngelihat kekayaan saingan bisnisnya yang lebih melimpah. Wajarlah, yang namanya manusia bila nurutin hawa nafsunya pastilah gak kan pernah puas. Ketidakpuasan inilah yang bikin orang gelisah, maunya meraih sesuatu yang lebih tinggi dan lebih lagi. Maka meski udah berlimpah materi yang dipunyai rasa bahagia tetap gak juga mampu dirasakan. Lalu, dimanakah sebenarnya kebahagiaan itu?
Jawabannya mudah, gak usah jauh-jauh nyarinya kok. Kata ustadz, kebahagiaan itu ada dalam hati kita sendiri. Ya, hati yang senantiasa bersyukur tentunya. Bersyukur terhadap apa aja yang udah dikaruniakan Allah kepada kita. Inilah kuncinya kawan. Sudahkah kita selalu bersyukur? Atas kesehatan raga yang masih kita rasakan, kesempatan waktu yang kita manfaatkan untuk beraktivitas, rezeki yang memungkinkan kita masih mampu menuntut ilmu hingga jenjang setinggi ini. Dan banyak lagi yang lain-lain. Belum lagi berbagai kenikmatan yang sebenernya gak bisa dirasakan oleh semua orang en kita bisa merasakannya.
Gw teringat dengan pengalaman sobat gw yang adiknya pernah merengek pengen banget makan siomay. Sobat gw itu lalu menyetop gerobak siomay yang lewat depan rumahnya, lantas memesan semangkuk siomay buat adiknya. Ketika menghadapi hidangan siomay itu adeknya tersenyum sumringah, kelihatannya bahagia banget lalu berterima kasih sama si kakak.
Dan sekarang, gw bisa berbahagia bukan cuma karena kegantengan yang gw miliki (wueekk..), tapi juga karena gw punya sohib2 yang mau menerima gw apa adanya dengan segala kekurangan gw. Sungguh hal ini adalah sesuatu yang gak bisa ditukar dengan materi, sebanyak apapun. Mereka adalah orang-orang yang selalu ngingetin gw untuk selalu berada di jalan yang benar, gak sungkan buat negur gw kalo gw bikin salah atau maksiat, yang selalu sabar ngadepin tingkah laku gw yang menyebalkan. Mereka adalah inspirasi gw yang membuat hidup gw jadi lebih berwarna, merekalah yang memotivasi gw untuk terus menjadi lebih baik, merekalah yang selalu ngasih solusi ketika gw dirundung berbagai masalah, termasuk mereka jugalah yang rela ngutangin gw ketika gw kehabisan duit pas lagi kelaparan.
Yang lebih penting gw bahagia dapat sohib yang ternyata punya satu visi yang sama dengan gw. Punya mimpi yang bersama-sama pengen diwujudkan, walaupun orang banyak bilang mimpi kami itu terlalu utopis buat direalisasikan. Namun kita punya keyakinan yang sama bahwa apa yang akan kita perjuangkan ini kemenangannya adalah kepastian. Karena dijanjikan langsung oleh Pencipta kita en Rasul-Nya. Gw bahagia, gak sendirian berada di garis depan perjuangan ini!
Diposting oleh
Adit Ahmad
di
11/01/2010 01:16:00 PM
0
komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Bagikan ke X
Berbagi ke Facebook
Label:
dakwah
.
Jumlah yang Nyangkut
Corong Revolusi
Ekspresikanlah
Para Guru
Kutipan dari Langit
Hitungan Mundur
Detak-detik
Kicau
Diberdayakan oleh Blogger.
Follower
Mengenai Saya
- Adit Ahmad
- Hanya manusia biasa dengan misi pembebasan. Ingin mencoba berkontribusi untuk revolusi yang insya Allah pasti terjadi nanti. Masih dalam tahap belajar tentu, mencoba terus berkarya dalam segala keterbatasan.